Kamis, 17 Februari 2011

Asas-Asas Hukum Perjanjian (kontrak)


Hukum perjanjian (kontrak) mengandung beberapa prinsip atau asas hukum. Menurut Paul Scholoten, prinsip hukum itu adalah sebagai berikut :[1]
“Pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum, masing-masing di rumuskan dalam aturan-aturan perundang-undang dan putusan putusan hakim, yang berkaitan dengan ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan hakim, yang bekaitan dengan ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat di pandang sebagai penjabarannya”.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa prinsip hukum bukanlah kaidah hukum yang konkret, melainkan suatu pemikiran yang fundamental yang bersifat umum atau dengan kata lain, merupakan “asbabul nuzul” dari perasaan yang konkret yang terdapat di dalam dan di belakang suatu sistem hukum. Sehingga sistem hukum ini merupakan berlandasan yang bersifat universal bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Hal ini berarti bahwa peraturan-peraturan hukum pada akhirnya bisa di kembalikan kepada prinsip-prinsip tersebut.
Berdasarkan teori, di dalam suatu hukum kontrak terdapat 5 (lima) asas yang dikenal menurut ilmu hukum perdata. Kelima asas itu antara lain adalah : asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), asas konsensualisme (concsensualism), asas kepastian hukum (pacta sunt servanda), asas itikad baik (good faith) dan asas kepribadian (personality).
Berikut ini adalah penjelasan mengenai asas-asas dimaksud :
1)      Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisa dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :
a.       membuat atau tidak membuat perjanjian;
b.      mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
c.       menentukan isis perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta
d.      menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau.[2] Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa saja yang dikehendakinya. Dalam hukum kontrak asas ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Teori leisbet fair in menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas. Karena pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi didalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Paham individualisme memberikan peluang yang luas kepada golongan kuat ekonomi untuk menguasai golongan lemah ekonomi. Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak yang kuat seperti yang diungkap dalam exploitation de homme par l’homme.
Pada akhir abad ke-19, akibat desakan paham etis dan sosialis, paham individualisme mulai pudar, terlebih-lebih sejak berakhirnya Perang Dunia II. Paham ini kemudian tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat menginginkan pihak yang lemah lebih banyak mendapat perlindungan. Oleh karena itu, kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif dikaitkan selalu dengan kepentingan umum. Pengaturan substansi kontrak tidak semata-mata dibiarkan kepada para pihak namun perlu juga diawasi. Pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum menjaga keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Melalui penerobosan hukum kontrak oleh pemerintah maka terjadi pergeseran hukum kontrak ke bidang hukum publik. Oleh karena itu, melalui intervensi pemerintah inilah terjadi pemasyarakatan (vermastchappelijking) hukum kontrak/perjanjian.
2)      Asas Konsensualisme (concensualism)
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Didalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan). Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus innominat. Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPerdata adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.

3)      Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda)
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja.
4)      Asas Itikad Baik (good faith)
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang berbunyi : “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak para pihak harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif. Berbagai putusan Hoge Raad (HR) yang erat kaitannya dengan penerapan asas itikad baik dapat diperhatikan dalam kasus-kasus posisi berikut ini.[3]
5)      Asas Kepribadian (personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Pasal 1315 KUHPerdata menegaskan : “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPerdata berbunyi : “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana diintridusir dalam Pasal 1317 KUHPerdata yang menyatakan : “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.” Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUHPerdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya. Jika dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 KUHPerdata mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPerdata untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUHPerdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPerdata memiliki ruang lingkup yang luas.


[1] J.J.H. Bruggink (alih Bahasa : Arief Sidharta), Refleksi tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 119-120.
[2] Salim H.S, op.cit, hal. 9.
[3] Ibid. hal. 11.

Sabtu, 12 Februari 2011

Teori Kemanfaatkan (Utilitarian Theory)


Utilitarianisme pertama kali dikembangkan oleh Jeremi Bentham (1748-1831). Persoalan yang di hadapi oleh Bentham pada zaman itu adalah bagaimana menilai baik Buruknya suatu kebijakan social politik, ekonomi, dan legal secara moral. Dengan kata lain bagimana menilai suatu kebijakan public yang mempunyai dampak kepada banyak orang secara moral. Berpijak dari tesis tersebut, Bentham menemukan bahwa dasar yang paling objektif adalah dengan melihat apakah suatu kebijakan atau tindakan tertentu membawa manfaat atau hasil yang berguna atau, sebaliknya kerugian bagi orang-orang  yang  terkait.[1]
Bila dikaitkan apa  yang dinyatakan Bentham pada hukum ( baca Kebijakan), maka baik buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya akibat yang dihasilkan oleh penerapan hukum itu. Suatu ketentuan hukum baru bisa di nilai baik, jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan sebesar-besarnya, dan berkurangnya penderitaan. Dan sebaliknya dinilai buruk jika penerapannya menghasilkan akibat-akibat yang tidak adil, kerugian, dan hanya memperbesar penderitaan. Sehingga tidak salah tidak ada para ahli menyatakan bahwa teori kemanfaatan ini sebagai dasar-dasar ekonomi bagi pemikiran hukum. Prinsip utama dari teori ini adalah mengenai tujuan dan evaluasi hukum. Tujuan hukum adalah kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi sebagian terbesar rakyat atau bagi seluruh rakyat, dan evaluasi hukum dilakukan berdasarkan akibat-akibat yang dihasilkan dari proses penerapan hukum. Berdasarkan orientasi itu, maka isi hukum adalah ketentuan tentang pengaturan penciptaan kesejahteraan Negara.[2]


[1] Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntunan dan Relevansinya, Kanisius, Yogyakarta, 1998, hal. 93-94.
[2] Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Hukum sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hal. 79-80.

Selasa, 08 Februari 2011

Teori hubungan hukum dengan politik


Philippe Nonet dan Philip Selznick, dalam law and society in transistion to word responsive law, 1978, memperkenalkan tiga karakter hukum dalam masyarakat, dengan mengaitkan hubungan hukum dengan politik, yaitu :
1)      Hukum represif, yakni hukum merupakan alat kekuasaan represif atau menindas.
2)      Hukum otonom, yakni hukum sebagai pranata yang mampu menjinakkan represi (penindasan) dan melindungi integritas sendiri.
3)      Hukum responsif, yakni hukum merupakan sarana merespon atas kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Menurut Philippe Nonet dan Philip Selznick, hukum berkembang sesuai perkembangan masyarakat  sebagaimana halnya suatu evolusi, hukum berkembang dari tipe yang kurang ideal (represif), menuju ideal (otonom) sampai tipe paling ideal (responsif). Di bawah ini diuraikan tentang batasan dan ciri-ciri dari ketiga macam tipe hukum tersebut, yaitu :[1]
(1)   Hukum represif
Dalam tipe hukum represif, hukum di pandang sebagai abdi kekuasaan yang bersifat menekan/memaksa dan merupakan perintsh ysng berdaulat (pemegang kekuasaan politik), yang memiliki kewenangan sangat leluasa tanpa batas, maka hukum dan politik/kekuasaan tidak  terpisah, sehingga hukum menjadi instrument/alat kekuasaan yang represif.
Dalam hubungan dengan kekuasaan, bentuk sistematis hukum represif memiliki ciri-ciri  sebagai berikut :
-          Institusi-institusi hukum langsung berakses kepada kekuasaan politik, hukum diidentifikasikan dengan Negara dan tunduk kepada kepentingan dengan sendiri (“rasion d etat”)
-          Kelestarian kekuasaan adalah tugas dari pengakuan hukum.
-          Badan-badan pengawasan khusus seperti polisi, menjadi pusar kekuasaan yang bebas, yang terisolasi dari konteks sosialyang moderat dan mampu melawan otoritas politik.
-          Suatu resim “hukun rangkap” melembagakan keadilan kelas, dengan mengkosolidasikan dan mengesahkan polah-polah sub –ordinasi social.
-          Perundang-undang pidana mencerminkan dominasi atas adat istiadat atau kebudayaan dan sangat menonjolkan moral yang legal (legal moralism).
(2)   Hukum Otonom
Dalam tipe hukum otonom,hukum di pandang sebagai institusi  atu pranata  yang mampu mengendalikan  represi dan melindungi integritas sendiri. Tatanan hukum berintikan “Rule of law”. Penegakan kepada aturan-aturan hukum sebagai upaya utama untuk mengawasi kekuasaan resmi dan swasta,serta terdapatnya pengadilan yang bebas dan mandiri dan tidak dimanipulasi oleh kekuasaan politik dan ekonomi yang memiliki otoritas eksklusif untuk mengadili pelanggaran hukum, baik oleh pejabat umum maupun oleh individu-individu swasta.
Dalam hubungan kekuasaan Hukum otonom dikenal dengan cirri-ciri sebagai berikut :
-          Hukum terpisah dari politik, sifatnya yang khas adalah terdapatnya sistem yang mengakui peradilan yang independen dan adanya pembagian yang jelas antara fungsi ligislatif dan yudikatif.
-          Tata hukum mendukung “model aturan-aturan”.
-          Prosedur adalah sebagai inti dari hukum atau keadilan procedural;
-          Hukum mengikat baik kepada yang memerintah maupun kepada yang di perintah;
-          Ketaatan kepada hukum adalah di mengerti sebagai kepatuhan yang ketat kepada aturan hukum positif. Kritik tehadap hukum positif  harus dilakukan melalui proses politik.
(3)   Hukum Responsif
Dalam tipe hukum responsif, hukum di pandang sebagai fasilitator atau sarana menanggapi kebutuhan dan aspirasi social. Tipe hukum responsif mengimplikasikan dua hal, yaitu :
a.       Hukum harus fungsional pragmatis, bertujuan dan rasional.
b.      Tujuan adalah menetapkan standar bagi kritik terhadap apa yang berjalan ; yang  berarti tujuan sebagai norma kritik. Dengan demikian mengendalikan kebebasan administratif serta mengurangi resiko “kelemahan lembaga”.
Ciri-ciri hukum responsif :
-          Tujuan hukum berdasar kompetensi :
-          Keadilan substansi yang di cari :
-          Aturan hukum tunduk kepada prinsip/asas/doktrin dan kebijaksanaan.
-          Moralitas kerja sama (moralitas rakyat).
-          Aspirasi hukum dan politik berintegrasi.
Tipe hukum represif, hukum otonom, dan hukum responsif adalah merupakan konsepsi abstrak, yang dalam kenyataan tidak akan di temukan bentuknya yang murni, karena tiap-tiap tatanan hukum memiliki sifat campuran yang mengandung aspek dari ketiga tipe hukum tersebut. Hanya dengan pengamatan yang cermat bahwa postur dasar suatu tatanan hukum akan memperlihatkan kecendrungan yang mirip karakteristik dengan salah tipe dari hukum represif, hukum otonom, dan hukum responsif. Factor pembeda yang pokok dari ke tiga tipe hukum tersebut adalah adanya peranan “paksaan”. Di dalam hukum represif “paksaan” nampak dominan, tetapi dalam hukum otonom “paksaan” agak di kurangi, sedangkan di dalam hukum responsif “paksaan” nampak tenggelam/tidak di tonjolkan.
Dalam kaitan hubungan hukum dan politik, pada tipe hukum represif, hukum tunduk kepada politik/kekuasaan, hukum sub-ordinat dari kekuasaan, tetapi dalam hukum otonom, hukum terpisah dari dari politik/kekuasaan, sedangkan dalam hukum responsif, hukum sebagai fasilitator atau sarana menanggapi kebutuhan/aspirasi politik. Dalam menjawab pertanyaan tentang apakah hukum yang mempengaruhi politik ataukah politik yang mempengaruhi hukum, Moh. Mahfud MD. Mengajukan tiga macam jawaban alternative, yaitu :
Pertama, hukum determinan atas politik, dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum;
Kedua, politik determinan atas hukum, karena hukum merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinterkasi dan bahkan saling bersaingan;
Ketiga, politik dan hukum sebagai sub-sistem sosial berada pada posisi yang derajat determinasinya setara antara satu sama lain, karena meksipun hukum merupakan produk keputusan politik, tetapi begitu hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum.[2]
Lebih lanjut untuk menentuk kapan hukum determinan atas politik atau sebaliknya politik determinan atas hukum atau kapan kedudukan hukum dan politik sederajat, Moh. Mafud MD, mengajukan jawaban yang bersifat hipotesis sebagai berikut : “konfigurasi politik yang demokratis senantiasa melahirkan produk hukum yang berkarakter responsif, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter melahirkan produk hukum yang berkarakter kosservatif.
Karakter responsif atau konsevatif, di tandai antara lain, oleh hal-hal sebagai berikut :
(1)   Dalam pembuatannya produk hukum yang responsif menyerap aspirasi masyarakat seluas-luasnya (partispatif), sedangkan produk hukum yang konservatif lebih di dominasi lembaga-lembaga Negara terutama pihak eksekutif (sentralistik);
(2)   Cerminan isi produk hukum yang responsif adalah aspiratif, dalam arti mencerminkan mencerminkan kehendak-kehendak dan anspirasi umum masyarakat, sedangkan produk hukum yang konservatif adalah positifitik-instrumentalistik, dalam arti mencerminkan kehendak atau memberikan justifikasi bagi kehendak-kehendak dan program pemerintah;
(3)   Cakupan isi hukum yang responsif itu biasanya rinsi, mengatur hal-hal secara jelas dan cukup detail, sehingga tidak dapat ditafsir secara sepihak oleh lembaga eksekutif, sedangkan pada hukum konservatif  biasanya di muat hal-hal yang pokok-pokok dan ambigu (makna ganda), sehingga memberi peluang bagi pemerintah untuk membuat penafsiran secara sepihak melalui berbagi peraturan pelaksanaan (interpretative).


[1] Philippe Nonet dan Philip Selznick, law and society in transistion to word responsive law, Harper & Row, New York, Hagerstown, San Fransisco, London, 1978. Bab II, III dan bab IV.
[2] Moh. Mafud MD, Politik Hukum, LP3ES, Jakarta, 1995, hal. 85-90.