Kamis, 10 Mei 2012

Konsep Kontrak Politik


1.      Konsep Kontrak Politik.
Seperti yang telah di kemukakan dalam latar belakang, Idea atau gagasan tentang kontrak sosial (social contract) telah dikemukakan oleh Plato, seorang filsuf Yunani (Greek) lebih 2500 tahun yang lalu dalam tulisannya Republic. Ramai selanjutnya para pemikir besar bidang politik dan hukum yang terkemudian, menerangkan dan mengembangkan lebih lanjut konsep kontrak sosial ini, diantaranya adalah Hugo Grotius, Imanuel Kant, John Locke, Jean Jaques Rousseau dan Thomas Hobbes.
Perspektif filsafat Jean Jacques Rousseau (1588-1679) berpandangan bahwa manusia pada dasarnya adalah tidak baik dan tidak juga buruk, bukan egois dan bukan altruis. Manusia hidup dengan polos dan mencintai diri secara spontan. Kepolosan manusia itu terkoyak akibat pergumulannya di tengah masyarakat yang egoistis. Karena rebutan sebidang tanah, misalnya, manusia dengan mudah menumpahkan darah, saling berperang, dan membunuh satu sama lain. Agar kepemilikan manusia terjamin kepastiannya, dibatasi untuk tidak menjadi tak terbatas, bisa menghargai hak-hak satu sama lain, dan bisa hidup berdampingan secara damai, maka Rousseau  menggagas perlunya kontrak sosial yang menjadi aturan main bersama agar tidak ada pihak yang dirugikan.[1] Sayangnya, kontrak itu tidak begitu jelas, apakah hanya semacam niat baik atau kontrak yang harus tertulis. “hitam di atas putih”, berisi hak dan kewajiban serta konsekuensinya secara rinci atau tidak?
J.J Rousseau ketika berbicara tentang kontrak sosial (social contract), tampak mengkaitkan kondisi perlunya keikutsertaaan rakyat untuk ikut menentukan nasib dan masa depan mereka sendiri dengan para calon pemimpin dan wakilnya yang akan duduk diberbagai posisi politik. Adanya Kontrak sosial, secara kontekstual, telah melahirkan sentimen moral publik, untuk boleh menentang setiap bentuk monopoli kebenaran dan kesewenang-wenangan terhadap masyarakat atas nama kekuasaan. Kesadaran tentang otoritas warga negara tersebut, dengan sendirinya melahirkan keniscayan dan telah memicu spirit kekritisan rakyat pemilih, terhadap kesewenang-wenangan kekuasaan politik. Dalam prakteknya, telah melahirkan revolusi sosial atau revolusi politik di Perancis (1789), dengan ciri ditegakkannya keadaaan umum atas dasar hubungan “kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan”.[2]
Filsafat politik Roousseau, menurut  Sabine, cenderung mengagungkan soal perasaan moral dibandingkan cuma soal akal atau rasio. Roousseau beranggapan bahwa kebajikan-kebajikan moral, ada terdapat pada rakyat biasa, dalam bentuk yang murni yang ber-praxis diantara mereka, antara harapan dan kenyataan. Rakyat biasalah yang merupakan umat manusia, sumber kekuasaan dan legitimasi para wakil dan pemimpin. Apa yang tidak bersifat kerakyatan, kepentingan elit tertentu, sebaiknya tidak perlu diperhitungkan dan bila perlu layak dipertanyakan kepatutannya. Semua manusia adalah sama dalam semua barisan dan lapisan. Barisan atau lapisan terbesarlah yang cukup patut untuk mendapat kehormatan tertinggi untuk diperhatikan, mendahului yang tersedikit.[3]
Gagasan ini memang sudah mendapat kritik dan koreksi dari banyak pihak. Soal dampak buruk tyrani mayoritas, misalnya, dikoreksi dengan penegakan hukum dan demokrasi prosedural. Memang, faktanya belum tentu pihak yang terbanyak, itu yang terbaik dan terbenar jalannya. Walaupun begitu ada yang setuju bahwa suara rakyat terbanyak adalah suara Tuhan, yang telah mengalami proses uji coba dan perbaikan diantara orang banyak itu sendiri.[4]
Menurut Locke, sebuah negara dibangun atas dasar kesepakatan antara pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Hal ini menjadi pijakan dasar dari teori kontrak sosial. Hal ini juga dicatat oleh Sabine (1992;181) “kekuasaan demikian hanya dapat timbul dengan persetujuan, dan meskipun hanya dapat timbul dengan persetujuan, dan meskipun ini hanya dapat diberikan secara diam-diam, ia harus merupakan persetujuan dari tiap individu untuk dirinya sendiri.”
Meskipun Locke menunjuk pada watak sosial manusia serta kecenderungannya untuk mencari sekutu dengan orang lain, ia menyatakan bahwa individu masuk ke dalam masyarakat politik karena ketidakmemadaian kondisi alamiahnya bukan karena keadaan alam sendiri. Locke mengatakan bahwa manusia hidup dalam keadaan alamiah (state of nature), dimana Locke menyatakan bahwa keadaan alamiah selalu merindukan kehidupan yang alamiah sebelum terbentuknya negara. Menurutnya keadaan alamiah adalah keadaan dimana manusia hidup dalam kedamaian, kebajikan, saling melindungi, penuh kebebasan, tak ada rasa takut dan penuh kesetaraan. Manusia juga tidak akan merusak kehidupan, kesehatan dan hak-hak pemilikan manusia lainnya.
Karena manusia bebas “adalah manusia bebas, sederajat dan merdeka,” berarti bahwa tidak ada orang tanpa persetujuannya bisa dibenarkan tunduk pada otoritas politik orang lain. Untuk melengkapi tesisnya, Locke mengambil pola yang ada pada masanya dengan menggunakan piranti kontrak sosial. Orang saling setuju untuk masuk ke dalam masyarakat dan membangun lembaga politik di bawah satu pemerintahan tertinggi. Dengan perjanjian ini, orang-orang menyerahkan kekuasaan untuk menjalankan hukum alam, suatu kekuasaan yang mereka miliki secara sendiri-sendiri dalam keadaan alamiah, kepada komunitas yang baru terbentuk. (Schmandt,2002:338-339)
Beberapa sifat dari kontrak sosial Locke yang paling penting dan mendasar adalah : pertama, prinsip yang menggerakkan di balik persetujuan ini bukanlah rasa takut akan kehancuran tetapi keinginan untuk menghindari gangguan keadaan alamiah. Locke dengan tegas berpegang bahwa hak-hak dan kewajiban-kewajiban moral adalah intrinsik dan lebih dulu ada daripada hukum; pemerintah berkewajiban untuk memberi sanksi pada hukum-hukumnya terhadap apa yang secara moral dan alamiah adalah benar.
Kedua, individu tidak menyerahkan kepada komunitas tersebut hak-hak alamiahnya yang subtansial, tetapi hanya untuk melaksanakan hukum alam, bahwa tiap orang mempunyai hak menurut hukum alam atas sesuatu di mana dia telah mempergunakan tenaga untuk memperolehnya, seperti misalnya menutup dan mengerjakan tanah.
Ketiga, hak yang diserahkan oleh individu tidak diberikan kepada orang atau kelompok tertentu tetapi kepada seluruh komunitas.
Locke mengutamakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban moral sebagai esensi dari terbangunnya kontrak sosial, bahkan menempatkan lebih tinggi dari hukum. Hal ini menegaskan bahwa Locke memandang hak asasi sebagai referensi utama dalam menetapkan sebuah aturan. Kehadiran negara sebagai lembaga yang disepakati untuk melegitimasi (mengkonstitusionalkan) hukum alamiah tersebut. Meskipun konsep ini masih bersifat umum, akan tetapi konsep ini diyakini merupakan mata air inspirasi tumbuhnya sistem demokrasi di negara-negara di dunia.
Deskripsi Locke tentang perjanjian sosial (kontrak sosial) menjadi landasan yang prinsipil dan filosofis dalam melihat proses pembentukan sebuah negara. Locke bahkan menegaskan tentang pentingnya memisahkan aspek legislatif (pembuat undang-undang dan hukum) dan aspek eksekutif dan yudikatif (pelaksanaan undang-undang dan hukum) dalam sebuah sistem politik. Kedua aspek ini tidak boleh dipegang oleh satu tangan agar penyalahgunaan kekuasaan dapat dihindarkan.
Berbeda dengan John Locke dan Jean Jaques Rousseau, Jűrgen Habermas berpandangan bahwa, Dalam pandangan klasik, politik dipahami sebagai seni memperebutkan kekuasaan. Dan kekuasaan itu sendiri dipandang sebagai “barang” yang ketersediaannya begitu terbatas sedangkan banyak konsumen membutuhkannya. Kenyataan terbatasnya ketersediaan “barang” itu menegaskan kekuasaan harus diperebutkan. Merebut kekuasaan itulah tugas partai-partai politik. Bagi Habermas, jantung dari sebuah percaturan politik bukanlah memperebutkan kekuasaan melainkan berkomunikasi dan berwacana. Dalam pengertian ini, politik demokrasi bukan lagi soal membagi kekuasaan (seperti demokrasi republikan Rousseau atau seperti John Locke dan kelompok liberalisme modern). Politik demokrasi justeru berarti berkomunikasi dan berwacana untuk menemukan apa yang sesungguhnya terkubur sebagai harta karun, yang selama ini belum ditemukan.[5]
Konsep Habermas yang demikian bakal menghantar suatu masyarakat untuk memahami secara benar arti sebuah partisipasi yang otentis. Bahwa dengan berkomunikasi dan berwacana dalam suatu ruang yang disebut Habermas sebagai “ruang publik”, ide tentang kemakmuran bersama bisa diwujudkan. Dalam hal ini suatu komunitas justeru diperkaya karena orang bisa mendalami dan merasakan nilai yang dimiliki orang lain. Di dalam suatu komunitas yang diwarnai komunikasi dan wacana yang baik, setiap anggota dituntun untuk saling memahami. Dan kesalingpahaman itu akan bergerak menuju tercipatanya solidaritas. Itulah hal yang selalu memperkaya kehidupan bersama.[6]
Bisa dibayangkan, bila terjadi suatu komunitas (apalagi komunitas politik) tidak memiliki komunikasi yang baik atau tidak memiliki anggota-anggota yang mampu membangun suatu komunikasi yang jujur. Tentu saja, bila suatu komunitas tanpa kemampuan komunikatif, cepat atau lambat akan runtuh. Suatu komunio perlu membangun komunikasi terutama komunikasi tentang kepentingan-kepentingan publik yang kerap direduksi kepada kepentingan golongan. Hal yang terakhir ini (reduksi kepentingan publik kepada golongan) bisa terjadi bila orang melihat politik sebagai usaha memperebutkan kekuasaan.
Di dalam suatu komunitas politik yang disebut sebagai Negara, politik, tak lagi dimengerti sebagai adu kekuatan. Politik berarti pertukaran komunikasi yang tujuannya adalah mencapai kesepakatan (konsensus) melalui jalan rasional. Karena mengandalkan jalan rasional dalam dunia kehidupan bersama, maka entah dalam ruang privat maupun dalam ruang publik, dalam ranah kehidupan etika maupun politik, diperlukan satu keyakinan bersama bahwa kesepakatan itu benar-benar ada. Dalam kondisi kehidupan yang demikian itu, politik tidak lain adalah tata dan cara komunikasi. Karena itu, hal-hal yang selalu dihindari adalah terjadinya orang berbohong, manipulasi, dan timbulnya kekacauan dan kesalahpahaman.
Habermas, berkaitan dengan suatu komunitas yang komunikatif, hendak menandaskan komunikasi intersubyektif. Bagi Habermas, intersubyektivitas adalah realitas yang mendahului otonomi subyek. Dalam komunitas, komunikasi intersubyektif sama sekali tidak meniadakan subyek yang otonom sebagai pelaku komunikasi. Sebab dengan menyampaikan sesuatu, sang subyek selalu mengandaikan bahwa ia sanggup membela kebenaran dari apa yang telah ia sampaikan. Itulah yang oleh Habermas disebut sebagai Universellen Geltungsanspruch (semacam tuntutan yang mengandaikan bahwa apa yang saya katakan dapat diterima secara universal), yang melekat dalam setiap tindakan, di mana orang menggunakan bahasa untuk menyampaikan pendapatnya.[7]
Habermas beranggapan bahwa dalam setiap bahasa yang kita pakai untuk berkomunikasi dalam suatu komunitas sesungguhnya sudah terkandung rasionalitas. Oleh karena rasionalitas itu maka diandaikan bahwa isi komunikasi itu bisa diterima oleh sesama anggota yang menjadi partner dalam suatu pembicaraan. Dengan kata lain, rasionalitas itulah yang melekat pada setiap tindak komunikasi. Karena realitas itu juga maka segala bentuk perbedaan pendapat dapat dihindari dengan argumen-argumen yang rasional (masuk akal) pula. Dengan demikian suatu komunitas yang komunikatif bisa tercipta untuk membangun proses menuju kesepahaman.[8]
Berbicara soal ide atau gagasan kontrak sosial dan dalam konteks penelitian ini di-rekonstruksi dalam jarak antar ruang dan waktu, yang klasik dan yang terkini, menjadi konsep akta kontrak politik atau proposal politik[9], dalam  literatur ilmu politik hal ini terkait erat dengan rangkaian pengembangan buah pemikiran John Locke, Jean Jaques Rousseau dan Jűrgen Habermas, terdahulu dan apa yang selayaknya kini ada.
Akta kontrak politik atau proposal politik adalah aplikasi lanjutan dari kontrak sosial untuk memecahkan persoalan rendahnya tingkat keterwakilan politik di Indonesia selama ini. Tanpa mekanisme kepastian hukum, yang dituangkan dalam kebijakan publik, dalam format tertulis kontrak hitam di atas putih yang berisi dan rinci, maka proses keterwakilan dan pemilihan umum pejabat eksekutif dan legislatif hanya akan menjadi kabur, formalitas dan  tidak bisa di-tanggunggugatkan terhadap para pemilih (popular/public accountibility).
Filsafat sosial yang dikembangkan Rousseau antara lain adalah individualisme sistematis, yang diadopsi dari pemikiran John Locke yaitu adanya nilai bahwa setiap kelompok sosial terdiri atas upaya pencapaian kebahagian atau kepuasan diri  dan adanya perlindungan otoritas untuk mempunyai dan menikmati hak milik setiap warga negara. Pada hakekatnya manusia tergerak untuk bekerja sama disebabkan kepentingan dan keuntungan pribadi masing-masing, yang perlu dihimpun sebagai kehendak umum bersama.
Tentang keadaan state of nature atau keadaan alami, Rousseau berbeda tegas dengan Hobbes, keadaan perang yang menurut Hobbes dialami oleh manusia secara individual sesungguhnya dialami oleh persona publik (public person) makhluk moral yang disebut kedaulatan (moral beings called soverigns). Manusia tidak bertempur sebagai individu yang terpisah dari orang lain, tetapi sebagai warga negara. Manusia tidak memiliki kecakapan moral di luar masyarakat.
Masyarakat manusia adalah suatu impian yang telah terbukti, umat manusia saja bukanlah masyarakat, sebab kesamaan belaka belum tentu melahirkan keadaaan persatuan atau harmoni yang nyata. Padahal masyarakat adalah kumpulan pribadi susila (moral beings) yang lahir dari suatu ikatan (liason) yang nyata. Suatu kesalahan berfikir  bila orang-orang mengira bahwa niat baik, akal atau rasio saja yang akan mempersatukan manusia. Rasio atau niat baik  saja tidak cukup, tapi perlu ada kontrak dan mekanisme yang mengikat antara pemilih, wakil dan pemimpinnya.
Rousseau dalam tulisannya Plan for a Constitution of Corsica mengatakan negara seharusnya menjadi satu-satunya pemilik, karena bilamana negara tidak menjamin hak-hak manusia, termasuk hak milik, maka harta kekayaan bukanlah suatu hak alamiah. Pada periode akhir hidupnya, Rousseau terlihat pesimis, ia melihat bahwa kemiskinan yang memilukan di dalam suatu kelas, berarti kelas tersebut dikorbankan untuk kemewahan kelas lain, eksploitasi ekonomi dengan sendirinya mengakibatkan despotisme politik.[10] Terhadap masyarakat yang jahat itu, Rousseau menempatkan cita-cita terbentuknya suatu masyarakat sederhana yang diagungkan, yang merupakan jalan tengah yang adil antara sikap kemalasan yang primitif dan egoisme yang beradab. Masyarakat yang ada adalah jahat dan harus disederhanakan.[11]        
Pemikiran politik Rousseau yang paling khas yang tampaknya dijadikan miliknya (karena diduga merupakan buah pikiran Diderot) adalah konsep tentang kehendak umum (general will, volonte generale) dan kemudian dikembangkannya lagi menjadi teori social contract, yaitu : bahwa suatu masyarakat mempunyai kepribadian hukum atau moi Cummun yaitu bandingan organis untuk suatu lingkungan kemasyarakatan. Kehendak umum dari kepribadian hukum itu sendiri yang kemudian meletakkan ukuran-ukuran moral (kesusilaan) yang mengikat anggota-anggotanya, karena itu suatu pemerintahan adalah tidak lebih dari pada sebuah lembaga dari kehendak umum tersebut.
Persamaan jenis manusia saja tidaklah membuat umat manusia atau individu membentuk masyarakat tetapi hanya suatu pertalian psiokolgis atau spiritual, karena itu diperlukan suatu badan hukum yaitu suatu makhluk moral yang memiliki kehendak yang terbentuk dari kehendak umum (volonte general, general will). Kehendak umum tersebut merupakan sumber hukum, condong untuk mempertahankan kelangsungan dan kesejahteraan keseluruhan dan setiap bagian, menjadi pedoman tentang apa yang benar dan apa yang salah untuk semua anggota negara baik dalam hubungannya terhadap satu sama lain maupun hubungan terhadap negara.[12]
Kecenderungan untuk membentuk masyarakat adalah tabiat yang universal. Di mana saja individu-individu mempunyai kepentingan bersama maka mereka membentuk masyarakat yang bersifat tetap atau sementara. Setiap masyarakat mempunyai kehendak umum yang mengatur tingkah laku angota-anggotanya. Selanjutnya Rousseau menempatkan sikap patriotisme sebagai kebajikan tertinggi dan sumber dari semua kebajikan lainnya. Patriotisme adalah perasaan yang halus dan bersemangat yang menjiwai cinta akan kebajikan sehingga menjadi semangat kepahlawanan yang tanpa cacat.
Manusia harus menjadi warga negara lebih dahulu sebelum ia menjadi orang, akan tetapi agar menjadi warga negara, pemerintah harus memberikan kemerdekaan di bawah jaminan hukum, menjamin kesejahteraan material dan menghilangkan ketidaksamaan yang besar dalam pembagian kekayaan negara dan harus membuat sistem pendidikan umum agar anak-anak dibiaskan untuk memandang individualitas mereka hanya dalam hubungannya dengan negara.
Menurut Rousseau juga dalam social contract-nya, yang diterbitkan pada tahun 1762, masyarakat kecil, seperti negara kota adalah contoh terbaik untuk berlakunya kehendak umum. Tentang ciri kontrak atau perjanjian umum masyarakat, dalam buku Sabine disebutkan ciri-cirinya sebagai berikut :
Pertama, kontrak tidak ada sangkut pautnya dengan hak dan kekuasaan pemerintah, sebab pemerintah hanyalah sebuah lembaga kedaulatan rakyat dan sama sekali tidak mempunyai kekuasaan sendiri, sehingga pemerintah tidak bisa menjadi subyek perjanjian.  Kontrak ini antara lain berisi kesediaan para individu warga negara untuk membayar pajak dan mematuhi hukum (kebijakan publik) yang dibuat bersama.
Jika dipahami dalam alam modern, kebersediaan individu membayar pajak mirip dengan pembeliaan saham oleh para pemegang saham suatu perusahaan terbuka. Para stakeholders itulah yang menentukan apa dan bagaimana jalannya perusahaan. Rakyat pembayar pajaklah pemegang saham terbesar suatu negara. Sehingga ia perlu didengar, ada mekanisme dan bisa menuntut haknya dengan menunjukkan slip pajak dan retribusi yang ia bayarkan, bila suatu ketika mereka berinteraksi dengan pengurus partai politik, para eksekutif dan legislatif.
Kedua,  Hak- hak dan  kebebasan  para individu tidak ada sama sekali kecuali telah menjadi anggota masyarakat. Masyarakat adalah suatu persatuan (associatioan), suatu keperibadian moral yang kolektif. Manusia secara individual mendapat keuntungan jika menjadi anggota masyarakat, dari pada mereka tinggal terpencil.
Kehendak umum adalah suatu kenyataan unik dari masyarakat yaitu terkandung didalamnya kebaikan kolektif. Masyarakat mempunyai kehendak sendiri yaitu kehendak umum (volonte generale) dan negara adalah suatu pribadi moral yang hidupnya terdapat di dalam persatuan anggota-anggotanya yaitu warga negara. Usaha negara yang terpenting adalah untuk mempertahankan diri, karena itu negara harus mempunyai kekuatan yang universal dan memaksa agar dapat mengatur agar setiap bagian sedemikian rupa menguntungkan untuk keseluruhan.  Jadi peran atau tugas negara dalam hal ini eksekutif untuk menyediakan rasa aman,  keteraturan, ketersediaan public goods dan public utilities, dan persamaan kesempatan yang adil.
Hak warga negara adalah memperoleh kemerdekaan, kesamaan dan hak milik  yang merupakan hukum alami. Manusia menjadi sederajat (equal) disebabkan oleh kebiasaan dan menurut hukum, berbeda dengan Hobbes yang berpendapat manusa sederajat karena kekuatan fisik yang pada hakekatnya sama.  Hak  yang dimiliki oleh setiap individu atas miliknya selalu tunduk kepada hak yang dimiliki oleh masyarakat atas semua.
Pemikiran Rousseau dinilai Sabine banyak mengandung paradoks, bahwa kekuasaan soverign itu, sekalipun mutlak, keramat dan tidak dapat diganggu gugat, tetapi tidak dapat melampaui batas-batas kebiasaan dan kehendak umum. Pada hakekatnya Rousseau bergerak maju mundur sekehendak hatinya antara kehendak umum, hak-hak individu dan wewenang pemerintah. 
Selanjutnya kita lihat petikan tentang konteks interpretasi pemikiran Jean Rousseau yang  lainnya untuk kemajuan manusia (Human Progress) :
“…. in France the philosopher Jean Rousseau stated in The Nature of Man his ideals on the social contract of the people in France. Rousseaus, like Locke, thought that togetherness would corporate as one. He believes that the state controls all the goods, but if you take goods from the members of society then you cannot take that good away from them. Roousseau explains if you disobey the social contract there are penalties. The people need a social commitment and if there are people that do not commit than they are to be banished. The people are banished for disobeying the laws and not providing duty for the country, and he who states a disagreement will deserve the death penalty. Religion is in the hands of the people, they can have their own views. He decides that religion is not determined by the State and the people can practice the religion of their choice. Roousseau thinks that the government should be divided into small powers a legislative, executive, and judicial groups. "They make sovereign a being of fancy, composed of separate pieces, which would be like putting a man together from several bodies." Each groups doing their jobs separately but for the same goal to make the country better as a whole. These people in power work like the peoples agents, they work to compromise between the common good and for the good of France. If the country is to go to war with another country the state needs a defense group. He explains that if you are giving money to the state they can use the money to supply troops with needs and supply weapons for combat. In doing this, the people are not obligated to fight in war if one occurs, yet if demanded need they must defend. In other words the people are paying to have a war fought for them. This is good that the people have the decision to fight in a war and the supply of money will help the country grow a better defense. The social contract shows Roousseau's ideas on how the community should be governed and how the community should change the way of life for the better”.[13]
Petikan kutipan di atas mengingatkan tentang perlunya kebersamaan dalam membangun suatu negara, keniscayaan adanya kontrak antara para pemilih, para wakil pengawas dan pemimpin terpilih, tentang suatu ketentuan apa yang akan dilakukan sebagai penalties, bila tidak satu kata dan perbuatan, antara janji saat kampanye dan cidera janji setelah berkuasa. Hal-hal yang perlu dituangkan dalam proposal politik “orang menyebutnya visi, misi, program/platform” tapi umumnya hanya formalitas belaka dan tidak rinci tentang cara operasional pencapaiannya, tanpa kerangka waktu yang jelas dan tanpa sanksi bila itu tidak dilaksanakan oleh para politisi.


[1] Jean Rousseau, Loc.cit.
[2] Revolusi Perancis meletakkan landasan moral-politik bagi ditegakkannya bangunan masyarakat madani. Sejak itu kontrol sosial terhadap kekuasaan muncul menjadi gagasan penting dalam diskursus politik modern; juga banyaknya partai, organisasi massa, perkumpulan, lembaga-lembaga sosial, menjamurnya penerbitan pers dan lain-lain, yang berusaha mengimbangi kekuasaan negara di satu sisi, dan di sisi lain menegaskan keterlibatan rakyat di dalam politik.
[3] Lihat G.H. Sabine, Teori-Teori Politik (2) Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya, Bandung, Binacipta, 1981, hal. 221-241. Lihat juga Rousseau, Jean. The Social Contract, Modem History Sourcebook.. 1763.
[4] Ibid.
[5] Wisma Rafael, Filsafat Sosial Politik, Demokrasi Republikan JJ. Rousseau dan Demokrasi Deliberatif Jürgen Habermas (Sebuah perbandingan), Sunday, 27. January 2008, dalam www.google.com, diakses tanggal 2 April 2009.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Pemilu sering dianggap sebagai proses kontrak sosial dalam jangka waktu tertentu (misalnya 5 tahun). Menurut penulis itu bisa jadi betul, tapi belum tentu benar. proses kontrak sosial Pemilu cenderung semu dan prematur. Pemilih seolah memberikan “cek kosong” kepada wakil untuk  diisi apa saja. Akad Politik adalah perjanjian sosial dalam konteks supremasi hukum, aktor, ruang dan waktu, yang dilakukan antara konstituen (pemilih) terhadap calon wakil atau calon pemimpin mereka (Capres/Wapres/caleg) dalam suatu proses Pemilu. Bentuknya didahului oleh proses dialogis, pembuatan proposal program dalam bentuk tertulis hitam di atas putih.
[10] Despotisme antara lain bisa diberi makna sebagai sistem pemerintahan dengan kekuasaan tidak terbatas dan sewenang-wenang. Lihat Frans M. Parera & T. Jakob Koekerits, Masyarakat Versus Negara, Paradigma Baru Membatasi Dominasi Negara. Jakarta, Penerbit Kompas, 1999, Hal. xii.
[11] Pada awal pemikirannya menurut Sabine, Rousseau melihat suatu masyarakat terbentuk  karena adanya dorongan kecerdasan moral dalam hidup manusia, tapi pada belakangan masyarakat di mata Rousseau tidak lagi tampak begitu.  Hal ini menurut Sabine adalah suatu keragu-raguan dalam  pemikiran  Rousseau. Selain itu Rousseau sangat meng-ideal-kan negara kota, karena dapat mewujudkan nilai tertinggi. Ia memimipikan adanya negara nasional berupa negara kota yang terdiri dari  antara lain kelas pekerja yang beretos kerja dan militan (katolikisme) di seberang lereng gunung Alp. Suatu pemikiran pada zamannya untuk kembali ke alam dan menjadi masyarakat yang sederhana lagi.
[12] Sabine mengutip Vaughon, Vol. I. p. 241, terjemahan edisi bhs. Inggris oleh G.D.H. Cole, p. 253.
[13] Lihat http://www.historians.org/teaching/aahe/Kelly/Pew/Portfolio/Student%20Work/sp001-06.htm,  artikel yang mengutip Rousseau, Jean. The Social Contract, Modem History Sourcebook.. 1763.

Pemisahan dan Pembagian Harta Peninggalan


A.     Pengertian

Menurut Pinto, Pemisahan adalah mengakhiri keadaan tidak terbagi, terdiri dari dua orang atau lebih, yang mempunyai hak yang sama atas suatu benda.
Pemisahan Harta Peninggalan adalah suatu perbuatan hukum yang dilakukan para sekutu/peserta pembagian untuk bersama-sama mengakhiri keadaan tak terbagi atas sedikit-dikitnya mengenai salah satu dari benda-benda/barang-barang/urusan.
Pemisahan ini merupakan tindakan pelaksanaan dari pembagian, tetapi sebelumnya harus ada penetapan-penetapan atas hak-hak dari para sekutu/peserta pembagian.
Pemisahan harta peninggalan ini menurut Pinto, terdiri dari unsur-unsur obligatoir dan unsur-unsur hukum kebendaan. Obligatoir adalah persetujuan antara para rekan peserta pembagian yang mengandung kesepakatan tentang cara mengadakan pemisahan (siapa, barang apa yang akan diterima dan sebagainya). Persetujuan pemisahan/pembagian (obligatoir) juga merupakan kewajiban menurut undang-undang untuk memberikan jaminan dan untuk menyerahkan dokumen-dokumen harta peninggalan. Untuk melaksanakan persetujuan obligatoir tersebut para sekutu/peserta pembagian membuat persetujuan kebendaan, yang dengannya dibagikan barang-barang yang sudah ada penunjukannya dengan demikian diakhiri persatuan harta peninggalan.
Harta peninggalan yang ditinggalkan pewaris tidak boleh dalam keadaan tidak terbagi, kecuali atas kesepakatan/persetujuan dari mereka (ahli waris) itu-pun oleh undang-undang dibatasi selama 5 Tahun (Pasal 1066 KUHPerd).
Ada 2 cara dalam melakukan pemisahan, yaitu :
1.      dengan jalan damai (musyawarah), dan
2.      melalui pengadilan (putusan hakim) untuk menuntut pemisahan.
Pemisahan ini tidak hanya terhadap Harta Peninggalan (Harta peninggalan yang ditinggalkan oleh Pewaris), tetapi juga untuk pemisahan karena Perceraian (bukan cerai mati), pemisahan terhadap harta perseroan tetap menggunakan cara pemisahan menurut Buku II, Bab ke 17 KUHPerd tentang Pemisahan Harta Peninggalan dan tetap memperhatikan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta untuk Perseroan tetap memperhatikan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

B.     Sifat Pemisahan Harta Peninggalan.

Pemisahan Harta Peninggalan bersifat “translatief”, yaitu bahwa dalam pembagian warisan pemilikan atas harta yang dipisah dan dibagikan karena pewarisan dianggap beralih kepada yang mempunyai hak terhadap bagian dari harta peninggalan. Jadi pemisahan ini merupakan persetujuan obligator (yang menjadi alas hak dalam penyerahan. Akan tetapi menurut pendapat modern pemisahan bersifat deklaratif, dapat dilihat dari ajaran “declaratif de propriete” yang seketika setelah dilangsungkannya pemisahan, tiap-tiap ahli waris dianggap sebagai pemilik atas benda yang dibagikan kepadanya/mereka dan tidak perlu menunggu penyerahan tersebut. 

C.     Mereka yang Dapat Menuntut dan Turut Serta dalam Pemisahan.

Mereka yang dapat menuntut Pemisahan, diantaranya :
1.      Para ahli waris, dan
2.      Jika ada ahli waris yang meninggal sebelum terjadi pembagian/pemisahan maka yang berhak selaku pengganti dengan alas hak umum bertindak untuknya, yaitu “para ahli waris dan mitrakawin” untuk mitrakawin dengan syarat dalam persatuan harta.
3.      Pembeli (jika dia membeli hak dari ahliwaris atas harta peninggalan yang belum dibagi).
4.      Wali atau pengampu pengawas dan/atau Pengampu (curator), setelah mendapat kuasa dari Pengadilan.
Mereka yang turut serta dalam Pemisahan, diantaranya :
1.      Para ahli waris, dan
2.      Jika ada ahli waris yang meninggal sebelum terjadi pembagian/pemisahan maka yang berhak selaku pengganti dengan alas hak umum bertindak untuknya, yaitu “para ahli waris dan mitrakawin” untuk mitrakawin dengan syarat dalam persatuan harta.
3.      Pembeli (jika dia membeli hak dari ahliwaris atas harta peninggalan yang belum dibagi).
4.      Penerima Wasiat dan atau Hibah Wasiat dan Pelaksana Wasiat (tidak berwenang untuk menuntut pemisahan tapi hanya menolong/membantu melaksanakan/menyiapkan pemisahan).
5.      Kurator (Jika pihak yang berkepentingan jatuh pailit kehilangan pengurusan dan tindakan pemilikan harta kekayaan yang pailit itu).
6.      yang menerima Kuasa dan juga jika seorang atau beberapa orang dari mereka yang berkepentingan menolak atau tetap lalai untuk membantu mengadakan pemisahan harta peninggalan setelah ada putusan hakim (Pengadilan) maka yang mewakili adalah “dari Balai Harta Peninggalan” (Pasal 1071 KUHPerd).
7.      Wali atau pengampu pengawas dan/atau Pengampu (curator), mewakili mereka yang dibawa umur dan dibawa pengampuan.
D.    Obyek Pemisahan.
Klaassen Eggens Polak dalam bukunya Komar Andasasmita, Notaris III, mengatakan “Tuntutan untuk pemisahan itu harus menyangkut seluruh harta peninggalan”. Pemisahan hanya untuk suatu barang tertentu yang termasuk d Menurut Komar Andasasmita “suatu pemisahan sebagian bukan merupakan pemisahan dan pembagian”.
Bilamana suatu pemisahan harta peninggalan mencakup bermacam-macam harta peninggalan yang terdapat diberbagai daerah/wilayah Pengadilan maka pengesahan cukup di salah satu pengadilan saja, yaitu di daerah/wilayah pengadilan dimana warisan itu terbuka (Pasal 99 ayat 12 Rv).
E.     Daluwarsa.
Tuntutan hukum untuk mengadakan pemisahan harta peninggalan, daluwarsa hanya dapat diajukan oleh seorang ahliwaris atau seorang kawan waris, yang masing-masing untuk diri sendiri, selama waktu yang diperlukan untuk daluwarsa, menguasai beberapa benda yang termasuk harta peninggalan, itu-pun hanya sekedar mengenai benda-benda tersebut (Pasal 1068 KUHPerd). Tenggang waktu daluwarsa ditetapkan selama 30 tahun (Pasal 1963 KUHPerd).
F.      Perlawanan dari Kreditur.
Semua kreditur pewaris, termasuk yang menerima hibah wasiat berhak untuk mengajukan perlawanan terhadap diadakannya pemisahan harta peninggalan. Akibatnya, Akta pemisahan harta peninggalan yang dibuat setelah diajukan perlawanan demikian dan sebelum dilunasi apa yang selama perlawanan itu tiba waktunya dan dapat ditagih oleh orang yang berpiutang dan penerima hibah wasiat, adalah batal (pasal 1067 KUHPerd).
Para ahli waris yang telah bersedia menerima warisan, harus ikut memikul pembayaran utang, hibah wasiat dan beban-beban lain, seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan itu (pasal 1100 KUHPerd), dan Kewajiban membayar tersebut dipikul secara perseorangan, masing-masing menurut besarnya bagian warisannya, tanpa mengurangi hak-hak pihak kreditur terhadap seluruh harta peninggalan, selama warisan itu belum dibagi, dan tanpa mengurangi hak-hak para kreditur hipotek/hak tanggungan. (1101 KUHPerd).
Bagi kreditur ahliwaris atau ahliwaris yang berutang kepada subyek hukum (orang/badan hukum) tidak berhak untuk melakukan perlawanan terhadap pemisahan, yang bisa dilakukan sesuai kewenangan yang diatur dalam 1341 KUHPerd :
“Meskipun demikian, tiap kreditur boleh mengajukan tidak berlakunya segala tindakan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh debitur, dengan nama apa pun juga, yang merugikan kreditur, asal dibuktikan, bahwa ketika tindakan tersebut dilakukan, debitur dan orang yang dengannya atau untuknya debitur itu bertindak, mengetahui bahwa tindakan itu mengakibatkan kerugian bagi para kreditur. Hak-hak yang diperoleh pihak ketiga dengan itikad baik atas barang-barang yang menjadi obyek dari tindakan yang tidak sah, harus dihormati. Untuk mengajukan batalnya tindakan yang dengan cuma-Cuma dilakukan debitur, cukuplah kreditur menunjukkan bahwa pada waktu melakukan tindakan itu debitur mengetahui, bahwa dengan cara demikian dia merugikan para kreditur, tak peduli apakah orang yang diuntungkan juga mengetahui hal itu atau tidak”.
G.    Penolakan atau Kelalaian Untuk Mengadakan Pemisahan Harta Peninggalan.
Jika ada penolakan atau lalai dari yang berkepentingan dalam pemisahan harta peninggalan, maka pemisahan masih tetap bisa dilaksanakan yaitu dengan dengan putusan Hakim, Pengadilan Negeri berwenang memerintahkan Balai Harta Peninggalan untuk mewakili mereka yang menolak atau lalai.
H.    Bentuk Pemisahan Harta Peninggalan.
Dalam Pasal 1069 KUHPerd “Bila semua ahli waris dapat bertindak bebas terhadap harta-benda mereka dan mereka hadir, maka pemisahan harta peninggalan dapat dilaksanakan dengan cara dan dengan akta yang mereka anggap baik”.
Dengan syarat-syarat :
  1. Semua ahliwaris hadir atau berada ditempat, jika tidak hadir harus diwakili oleh kuasanya.
  2. Semua ahliwaris mempunyai kebebasan (kebebasan bertindak menurut hukum) untuk mengurus atas harta mereka, jika ada yang tidak cakap untuk bertindak maka harus diwakili oleh wali atau pengampu. Untuk mereka yang belum dewasa maka secara hukum Bapak/Ibu nya menjadi Wali kecuali dipecat dari kekuasaan orang tua atau tidak “layak me-wali” menurut putusan Hakim dan dengan putusan Hakim juga untuk menetapkan siapa yang mewali. Untuk mereka yang dibawa pengampuan harus dengan putusan/penetapan Pengadilan Negeri. (Balai Harta Peninggalan bisa bertindak sebagai Wali Pengawas maupun Pengampu Pengawas jika ada pertentangan kepentingan karena sama-sama berhak atas bagian harta peninggalan antara wali dengan anaknya atau kurator dengan kurandusnya, maka Balai Harta Peninggalan wajib menghadiri pemisahan dan pembagian).
  3. Bagi yang berkepentingan dalam keadaan pailit maka yang mewakili adalah Kurator.
I.       Akta Notaris dan Penolakan oleh BHP.
Jika semua yang berkepentingan hadir dan telah dewasa/tidak dibawa pengampuan maka pemisahan bisa dilakukan dengan akta Notaris maupun tidak dengan akta Notaris (sesuai dengan kehendak para ahliwaris). Kecuali jika terdapat anak dibawah umur/belum dewasa atau yang berada dibawah pengampuan maka pemisahan harta peninggalan harus dilakukan dihadapan seorang Notaris (dengan Akta Notaris) yang dipilih oleh para ahliwaris sendiri dan jika ada perselisihan dalam “pemilihan” tersebut maka Pengadilan Negeri berkewenangan untuk mengangkat/menunjuk Notaris, tapi harus atas permohonan dari para pihak yang berkepentingan (Pasal 1074 KUHPerd dan Pasal 690 Rv).
Terhadap tidak dilaksanakan ketentuan tersebut dan tanpa dihadiri oleh Balai Harta Peninggalan maka sanksinya adalah batalnya akta pemisahan tersebut.
Bila Balai Harta Peninggalan menolak akta pemisahan, maka balai harta peninggalan harus menyatakan alasan penolakan tersebut dalam akta yang dibuat oleh seorang notaris, kemudian notaris harus menyerahkan salinan berita acara yang dibuat kepada Pengadilan Negeri termasuk rancangan akta pemisahan yang ditandai oleh BHP maupun notaris dan dokumen tersebut diserahkan dalam sampul tertutup. Pengadilan Negeri akan memberikan putusan jika dianggap perlu mendengar dari mereka yang berkepentingan. Rancangan pemisahan yang telah disetujui oleh Pengadilan Negeri dengan ditandai/disahkan oleh Ketua dan Panitera dikembalikan kepada Notaris dan kemudian pemisahan dilangsungkan. Notaris berkewajiban untuk melekatkan dokumen-dokumen tersebut pada minuta termasuk mengenai keberatan.
Yang boleh mengajukan keberatan dan permohonan yang beralasan kepada Pengadilan Negeri itu bukan hanya para ahliwaris, melainkan juga diantara mereka yang paling bersedia.
J.      Pendaftaran Harta Peninggalan.
Pendaftaran harta peninggalan ialah tindakan mengadakan inventarisasi untuk mengetahui keadaan, perincian aktiva dan pasiva dari suatu harta peninggalan yang akan dipisah dan dibagikan. Yang dimuat dalam akta pendaftaran harta peninggalan yang diatur dalam pasal 675 Rv, yaitu :
1.    nama kecil, nama dan tempat tinggal dari orang-orang yang hadir atau yang diwakili dan wakil-wakil mereka; dari orang-orang yang tidak hadir, bila mereka diketahui dan telah dipanggil, dan dari para penaksir; (KUHPerd. 390, 981, 990, 1078; Rv. 669-70, 674.)
2.    penyebutan tentang tempat, di mana pendaftaran itu dilakukan, dan barang-barang ditemukan; (Rv. 652.)
3.    uraian singkat tentang barang-barang dengan penyebutan penilaian dari barang-barang bergerak;
4.    penyebutan tentang mata uang, demikian pula tentang keadaan dan bobot dari barang-barang emas dan perak;
5.    penyebutan tentang buku-buku catatan atau daftar-daftar, jika barang-barang itu ada.  Bila pendaftaran dilakukan di hadapan seorang notaris, maka buku-buku atau daftar-daftar tersebut oleh notaris pada halaman pertama dan terakhir diberi tanda pengesahan dan jika pendaftaran harta peninggalan itu dilakukan secara di bawah tangan, pengesahan itu dilakukan oleh salah seorang dari pihak-pihak yang bersangkutan yang ditunjuk atas kesepakatan mereka; (KUHPerd. 1881.)
6.    penyebutan alas-alas hak yang ditemukan dan juga perikatan-perikatan tertulis yang merugikan atau menguntungkan harta peninggalan (budel). (KUHPerd. 1884 dst., 1891.)
7.    penyebutan sumpah pada penutupan pendaftaran harta peninggalan atau di hadapan notaris, atau di hadapan pejabat yang ditugaskan melakukan penyegelan yang dilakukan oleh mereka yang sebelumnya menguasai barang-barang atau yang menghuni rumah di mana barang-barang itu berada, bahwa mereka tidak menggelapkan sesuatu apa pun, demikian pula tidak melihat atau mengerti ada sesuatu yang digelapkan; (KUHPerd. 386, 1912; Rv. 655-70, 672; Sv. 149; IR. 180 dst., 278.)
8.    bahwa terhadap wasiat-wasiat dan surat-surat yang tidak termasuk warisan, yang ditemukan dalam harta peninggalan itu, telah diperlakukan ketentuan-ketentuan dari pasal 656, 657 dan 658 dan penyebutan kepada siapa efek-efek dan surat-surat dari harta peninggalan itu diserahkan, baik berdasarkan undangundang maupun menurut persetujuan para pihak yang berkepentingan. (KUHPerd. 935 dst., 1007; 1874.)
Jika dalam prosesnya ada terjadinya perubahan, misalnya salah seorang ahliwaris yang sudah dewasa meninggal dengan meninggalkan dengan meninggalkan anak dibawah umur yang akan menggantikan kedudukannya, maka pasal 1071 KUHPerd ayat 1 tidak dapat diterapkan tapi yang berlaku adalah ayat 2 nya. Apabila terjadi perubahan maka pemisahan harus dimulai dengan dibuat laporan yang seteliti-telitinya (mulai dari semula sampai dengan pemisahan itu dilangsungkan) mengenai harta peninggalan tersebut menurut keadaan sebagaimana harta itu ditinggalkan pewaris. Kebenaran laporan yang dimaksud harus diperkuat dengan sumpah yang diangkat ditangan Notaris, oleh yang menguasai harta peninggalan yang belum terbagi sejak semula. Jika menolak untuk diangkat sumpah Notaris harus menyebutkan dalam akta dan menyebutkan alas an penolakan.
K.    Penjualan Benda Tak Bergerak.
Dapat diperbolehkan barang-barang tak bergerak yang termasuk harta peninggalan dijual, ini sesuai dengan yang diatur dalam pasal 1076 KUHPerd :
-         Bila para ahli waris, atau seorang atau beberapa orang dari mereka, berpendapat bahwa barang-barang tetap/tak bergerak dari harta peninggalan itu atau beberapa di antaranya harus dijual, baik untuk kepentingan harta peninggalan itu, untuk membayar utang-utang dan sebagainya, maupun untuk dapat menyelenggarakan pembagian yang baik/memudahkan pembagian, maka pengadilan negeri berwenang dapat memerintahkan penjualan tersebut.
-         Pengadilan Negeri dapat memerintahkan penjualan setelah mendengar pihak-pihak lain yang berkepentingan atau setelah memanggil mereka secukupnya atau secara sah.
-         Pengadilan Negeri dapat memerintahkan penjualan itu sesuai dengan ketentuan-ketentuan Reglemen Acara Perdata, yang terdapat dalam Bagian 6. Penjualan Barang-barang Tetap, pasal 683 sampai 688 Rv.
-         Namun bila dilakukan di muka umum (lelang), penjualan itu diharuskan dihadiri oleh para wali pengawas dan pengampu pengawas (BHP), atau setidak-tidaknya setelah mereka dipanggil secukupnya/sepatutnya/secara sah.
-         Bila salah seorang dari para ahli waris membeli suatu barang tetap/tak bergerak yang dimaksud, maka pembelian itu akan berakibat seakan-akan ia telah memperolehnya pada pemisahan harta peninggalan.

L.     Penilaian

Sebelum dilakukan penetapan dan dilaksanakan pembagian harta peninggalan yang merupakan hak para ahli waris, maka semua benda/harta (bergerak dan tidak bergerak) yang tidak terjual dan merupakan harta peninggalan, harus dinilai lebih dahulu, caranya yaitu sesuai dengan pasal 1077 KUHPerd :
-         efek-efek, surat-surat piutang dan saham-saham dalam perusahaan-perusahaan, yang dicantumkan dalam berita-berita harga yang dibuat dan diumumkan secara resmi, dinilai menurut berita-berita harga itu;
-         barang-barang bergerak lainnya dinilai menurut harga taksiran pada waktu mengadakan pemerincian harta peninggalan itu, kecuali bila seorang ahli waris atau lebih menghendaki diadakan penaksiran lebih lanjut oleh seorang ahli;
-         barang-barang tetap dinilai menurut harga yang harus ditentukan oleh tiga orang ahli.
Untuk melakukan tersebut, dalam pasal 1078 jika menggunakan jasa para ahli untuk menilai, harus memenuhi syarat :
-         para ahli diangkat oleh mereka yang berkepentingan atau oleh pengadilan Negeri di daerah hukum dimana warisan itu terbuka, jika terdapat perselisihan antara para ahli waris dalam mengangkat ahli. Pengadilan baru akan mengangkatnya setelah diajukan permohonan oleh seorang/mereka yang paling berkepentingan.
-         Semata-mata mengenai penilaian barang tak bergerak, pengadilan negeri dimaksudlah yang mengangkat para ahli dan pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya barang itu terletak.
-         Para makelar (perantara dagang tersumpah) melakukan penilaian atas sumpah yang mereka angkat pada permulaan jabatan mereka.
-         Ahli-ahli lain, sebelum melakukan penilaian, disumpah oleh kepala Pemerintahan Daerah di tempat warisan itu terbuka, atau oleh kepala daerah di tempat barang-barang itu terletak, sejauh mengenai penilaian barang-barang tetap.
-         Mengenai barang-barang tetap yang berada di luar Indonesia, jika pihak-pihak yang berkepentingan tidak memperoleh persesuaian kehendak tentang pengangkatan para ahli tersebut, maka pengadilan negeri akan mengatur cara menyelenggarakan penilaian itu.

M.  Pembagian Harta Peninggalan.

Untuk dapat mengetahui berapa jumlah yang harus dibagikan kepada mereka yang berhak atas harta peninggalan, menurut pasal 1079 KUHPerd yang perincian adalah :
-         Maka jumlah aktiva yang ada ditambah dengan pemasukan (inbreng), kemudian utang demi kepentingan para ahli waris dipotong, dan pada akhirnya sisa (saldo) diperhitungkan bagi setiap ahli waris sesuai dengan bagian masing-masing secara sebanding.
-         Setelah diatur pemasukan dan utang harta peninggalan yang harus dibayar kepada seorang ahli waris atau lebih atas dasar apapun juga, maka sisa harta peninggalan itu dan bagian dari tiap-tiap ahli waris atau pancang ditentukan.
-         dengan persetujuan bersama antara orang-orang yang berkepentingan, ditetapkan dengan pembagian, barang-barang mana jatuh pada bagian masing-masing, dan bila ada alasan, berapa besar jumlah uang yang harus dibayar untuk membuat sama rata semua bagian.
-         Bila orang-orang yang berkepentingan tidak menyetujui pembagian yang demikian itu, maka diadakan kaveling-kaveling sebanyak ahli waris atau pancang, dan penunjukan bagian masing-masing dilakukan dengan undian.
-         Pembagian lebih lanjut barang-barang yang dibagikan kepada satu pancang, dilakukan dengan cara yang sama.
-         Segala perselisihan tentang pembuatan kaveling-kaveling dan bagian-bagian lebih lanjut, atas permohonan orang-orang berkepentingan yang paling siap, diputus oleh pengadilan negeri menurut peraturan pada pasal 1075 alinea keempat.

N.    Tukar-menukar bagian.

Atas kesepakatan bersama (pasal 1080 KUHPerd) para ahli waris dapat melakukan perubahan dalam pembagian yang telah ditentukan dengan undian. Setelah undian, para ahli waris berhak untuk bertukar kaveling yang dengan undian menjadi bagian mereka, asalkan hal itu terjadi sebelum penutupan akta pemisahan harta peninggalan itu dan pertukaran itu dicantumkan di dalam akta itu. Penukaran ini mempunyai akibat yang sama seperti jika barang barang yang dipertukarkan itu diperoleh dari pembagian. Pertukaran demikian dapat juga dilakukan mengenai suatu bagian dari barang-barang yang telah dibagikan, dengan cara dan dengan akibat yang sama antara para ahli waris yang dapat bertindak bebas atas harta benda mereka.
Dengan demikian ketentuan pasal 1100 KUHPerd harus dilaksanakan yang berbunyi : “Para ahli waris yang telah bersedia menerima warisan, harus ikut memikul pembayaran utang, hibah wasiat dan beban-beban lain, seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan itu”.
O.  Surat-Surat Pembagian Harta Peninggalan.
Yang berhak atas surat-surat mengenai harta peninggalan, siapa yang berhak menyimpan dan sebagainya, diatur dalam Pasal 1081 dan 1082 KUHPerd :
-         Surat-surat dan bukti-bukti milik barang-barang yang dibagikan, harus diserahkan kepada orang  yang mendapat barang itu sebagai bagiannya. Bila surat-surat itu menyangkut barang yang dibagikan kepada lebih daripada satu orang ahli waris, maka surat-surat itu harus tetap dipegang oleh orang yang mendapat bagian terbesar dari barang itu, tetapi ia wajib memberi kesempatan kepada sesama ahli waris untuk melihat surat-surat itu, dan bila di antara mereka ada yang menginginkan, memberikan salinansalinan atau petikan-petikan atas biaya orang itu.
-         Surat-surat umum mengenai harta peninggalan harus tetap disimpan oleh orang yang ditunjuk dengan suara terbanyak para ahli waris, atau bila ada perselisihan, oleh orang yang diangkat pengadilan negeri atas permohonan mereka yang berkepentingan yang paling siap, tetapi orang itu wajib memberi kesempatan melihat surat-surat itu, dan memberikan petikan-petikan atau salinan-salinan menurut ketentuan pasal yang lalu.

Jika pembagian telah terjadi sesuai dengan pasal 1069 KUHPerd  Bila semua ahli waris dapat bertindak bebas terhadap harta-benda mereka dan mereka hadir, maka pemisahan harta peninggalan dapat dilaksanakan dengan cara dan dengan akta yang mereka anggap baik”. maka para ahli waris bebas untuk melakukan hal tersebut atas dasar kesepakatan mereka.
P.  Akibat Pemisahan dan Pembagian Harta Peninggalan.
Akibat dari pemisahan dan pembagian harta peninggalan dari dilihat dari beberapa pasal dalam KUHPerd yang ada dibawah ini :
1083. “Tiap-tiap ahli waris dianggap langsung menggantikan pewaris dalam hal memiliki barang-barang yang diperolehnya dengan pembagian atau barang-barang yang dibelinya berdasarkan pasal 1076. Dengan demikian, tiada seorang pun di antara para ahli waris dianggap pernah mempunyai hak milik atas barang-barang lain dari harta peninggalan itu. Dari ini menunjukkan bahwa tindakan hukum tersebut berkekuatan surut’. Demikian dengan hasil penukaran (1080 KUHPerd) jadi setiap ahli waris yang menerima bagian seakan-akan secara seketika mewaris dari pewaris dan tidak melihat mulai terbuka warisan dengan pembagian. 
1084. “Para ahli waris berkewajiban, masing-masing menurut besarnya bagiannya, untuk saling menjamin terhadap segala gangguan dan tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan, yang bersumber pada suatu sebab yang timbul sebelum pembagian, beserta mengenai kemampuan para pengutang bunga atau tagihan lainnya. Penjaminan itu tidak terjadi, bila hal itu dinyatakan tidak mungkin dengan persyaratan khusus yang tegas dalam akta pemisahan harta. Penjaminan itu berhenti bila kepada sesama ahli waris itu diajukan tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan karena kesalahannya sendiri. Penjaminan mengenai kemampuan orang-orang yang berutang bunga atau tagihan-tagihan lain dari harta peninggalan, hanya diwajibkan bila seluruh tagihan itu dibagikan kepada seorang ahli waris, dan bila oleh ahli waris itu dibuktikan, bahwa orang yang berutang itu sudah tidak mampu pada waktu pembuatan akta pemisahan harta itu. Tuntutan untuk penjaminan termaksud dalam alinea yang lalu, tidak dapat diajukan setelah lampau tiga tahun sejak pemisahan harta peninggalan”. Dari pasal ini maka dalam akta pemisahan dan pembagian perlu dicantumkan klausula, bahwa semua kawan waris atau ahli waris saling menjamin masing-masing menurut imbangan besarnya bagian terhadap :
-         segala gangguan dan pelelangan yang terjadi karena alasan yang timbul sebelum pembagian itu terjadi, dan
-         kemampuan para debitur tentang bunga atau tuntutan/penagihan/gugatan dan lainnya yang patut dan wajib dimasukkan.
1085. Bila seorang ahli waris atau lebih berada dalam keadaan tak mampu untuk membayar bagiannya dalam penggantian kerugian yang harus dibayar berhubung dengan kewajiban menjamin seorang sesama ahli waris, maka bagian yang harus dibayar itu dipikul bersama-sama menurut perbandingan bagian warisan masing-masing, oleh yang dijamin dan para sesama ahli waris yang mampu untuk membayar.