Rabu, 05 September 2012

PROSEDUR PENDIRIAN PT. PMA

Dalam mendirikan suatu Perseroan Terbatas (PT) disyaratkan bahwa seluruh pemegang sahamnya adalah Warga negara Indonesia . Dalam hal terdapat unsur asing baik sebagian ataupun seluruhnya, maka PT tersebut harus berbentuk PT. PMA (Penanaman Modal Asing), TERMASUK JUGA APABILA SALAH SATU PENDIRINYA MERUPAKAN PT PMA. Suatu PT biasa yang dalam perkembangannya memasukkan pemodal baru yang berstatus asing (baik itu perorangan maupun badan hukum) maka PT tersebut harus merubah statusnya menjadi PT. PMA.


Secara umum, syarat-syarat dan tahapan-tahapan untuk mendirikan PT. PMA adalah sebagai berikut:

A.  PENGAJUAN IJIN SEMENTARA/IJIN PRINSIP  UNTUK PENDIRIAN PT PMA MELALUI BPKM

1.            Identitas perusahaan yang akan didirikan, yang meliputi:

a.            Nama Perusahaan;
b.            Kota sebagai tempat domisili usaha, termasuk rencana lokasi pelaksanaan proses produksi atrau kegiatan usahanya (JIKA BERBEDA DENGAN DOMISILI USAHA);;
c.            Jumlah Modal;
d.            Nama pemegang saham dan presentase modal;
e.            Susunan Direksi dan Komisaris;
f.              Maksud dan tujuan kegiatan usaha (lingkup usahanya)


2.            Pengajuan permohonan tersebut harus mengisi surat permohonan (INVESTMENT APPLICATION UNDER THE FOREIGN INVESTMENT LAW – terlampir) dengan melampirkan dokumen2 sebagai berikut:

a.            PENDIRI ASING, melampirkan:

1) Anggaran dasar Perusahaan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris     berikut seluruh perubahan-perubahannya, pengesahannya ataupun     pelaporan/pemberitahuannya atau
2) Copy passport yang masih berlaku dari pemegang saham individual

b.            PERUSAHAAN PMA, melampirkan:

1)  Anggaran dasar Perusahaan dalam bahasa Indonesia atau  bahasa Inggris     berikut seluruh perubahan-perubahannya, pengesahannya ataupun     pelaporan/pemberitahuannya;
2)  NPWP Perusahaan

c.            PENDIRI INDONESIA , melampirkan:

1) Anggaran dasar Perusahaan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris     berikut seluruh perubahan-perubahannya, pengesahannya ataupun     pelaporan/pemberitahuannya atau KTP untuk individual;
2)  NPWP pribadi;


d.       1.   Flowchart proses produksi dan bahan baku (raw materials) yang dibutuhkan untuk proses industri tersebut
                          2.   Descripsi/explanation untuk proses kelangsungan bisnis;

e.        Asli surat kuasa (dalam hal pendiri diwakili oleh orang/pihak lain) ;

f.              Kelengkapan data lain yang dibutuhkan oleh Departemen terkait (bila ada)        dan dinyatakan dalam “Technical guidance’s book on investment        implementation”. Untuk sector tertentu, contohnya sector pertambangan yang melakukan      kegiatan ekstraksi, sektor energi, perkebunan kelapa sawit dan perikanan, membutuhkan Surat Rekomendasi dari Departemen teknis terkait.

g.            Dalam sektor bisnis yang diperlukan dalam hal kerja sama:

1)  Perjanjian kerja sama (bisa berupa Joint Venture, Joint   Operation, MOU, dll) antara pengusaha kecil dan pengusaha menengah/besar yang menyebutkan pihak-pihaknya, system kerjasamanya, hak dan kewajibannya.
2)   Surat Pernyataan dari perusahaan kecil yang memenuhi criteria sebagai   Perusahaan Kecil berdasarkan Peraturan No. 9/1995.

Catatan: untuk persyaratan poin f akan dikoordinasikan oleh BKPM dengan institusi/Departemen terkait.
Setelah berkas lengkap, ijin baru dapat diproses di BKPM selama jangka waktu + 2 bulan
Ijin BKPM tersebut berlaku sebagaimana halnya Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP) pada PT biasa

B.          PEMBUATAN AKTA PENDIRIAN PT PMA

C.          PENGURUSAN DOMISILI

D.          PENGURUSAN NPWP YANG KHUSUS UNTUK PT. PMA DAN SEKALIGUS BISA MENGURUS SURAT PKP (PENGUSAHA KENA PAJAK)  PADA KPP KHUSUS PMA

E.           PEMBUKAAN REKENING ATAS NAMA PT DAN PENYETORAN MODAL SAHAM DALAM BENTUK UANG TUNAI KE KAS PERSEROAN

F.           PENGAJUAN PENGESAHAN KE KEMENTRIAN HUKUM DAN HAM RI

G.          PENGURUSAN TDP DAN WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN

H.          MENUNGGUH HASIL PENGUMUMAN BNRI

 Apabila merupakan industri, maka harus diurus Ijin Lokasi, Undang-Undang gangguan (HO) nya, Surat Ijin Usaha Industri.

Dalam hal perusahaan tersebut akan memasukkan mesin-mesin pabrik, karena berstatus PT PMA, maka ada subsidi atau keringanan pajak bea masuk atas mesin-                                                                              mesin tersebut. Namun untuk itu, PT tersebut harus mengurus Ijin lagi di BKPM,
yaitu: Masterlist dan APIS.

Setelah itu, pada saat mesin akan masuk, ybs harus mengurus surat bebas bea
masuknya pada KPP PT PMA,  yang disebut: “SKBPPN” dan dilanjutkan dengan
ijin dari Bea cukai berupa Surat Registrasi Produsen (SRP) atau Surat Registrasi Importir (SRI). 

Setelah perusahaan berjalan beberapa waktu, maka akan dilanjutkan dengan pengurusan Ijin Usaha Tetap (IUT) pada BKPM.

Bagan ini termasuk untuk Pendirian PT bukan PMA :




CANGA : Sailing In Dangerous Waters


Bajak laut dan perompakan di perairan Asia Tenggara memiliki akar sejarah yang panjang dan belum tergerus oleh waktu. Hingga tahun 1994, ingatan tentang perompak Tobelo dari abad ke-19 masih dipakai oleh masyarakat di beberapa wilayah Sulawesi Tengah untuk menakuti anak-anak agar patuh . Orang Tobelo,digambarkan sebagai predator tak kenal belas kasihan, aktif di abad ke-19, adalah satu dari banyak kelompok di mana perompakan merupakan sumber yang penting bagi penghidupan di perairan bagian timur Indonesia. Artikel ini menguraikan bagaimana kelompok perompak ini berfungsi sebagai bagian dari sistem politik di Indonesia Timur dan kemudian berakhir dengan ekspansi maritim dari penguasa kolonial di abad ke sembilan belas.

  Kelompok bersenjata yang bersiliweran adalah pemandangan biasa di kepulauan Indonesia bagian timur pada abad 17 dan 18. Mereka aktif bukan saja pada masa perang tetapi juga di masa-masa yang relatif damai. Perompak adalah sebagian dari kelompok yang memiliki mobilitas tinggi dan terkait dengan pembajakan, kegiatan politik, dan perdagangan. Kelompok-kelompk ini juga terkait dengan pusat-pusat kekuasaan di berbagai wilayah  dan khususnya aktif di batas luar suatu kerajaan dan mereka juga sering menjalin hubungan dengan elit penguasa lokal dan menetap untuk waktu yang lama.

Dua pusat kekuasaan yang utama di Indonesia Timur adalah Ternate dan Bone. Lingkungan pengaruh dari keduanya didasarkan pada aliansi dengan vassal (penguasa bawahan) masing-masing dan dengan para pedagang, bangsawan, masyarakat laut dan perompak. Berbeda dengan sistem ideal Belanda yaitu sistem penataan hubungan politik yang terpusat di mana pengusahaan keamanan dan ketertiban serta mediasi merupakan fungsi yang penting, sistem vassal (tributary sistem) terdiri dari rangkain perjanjian perdamaian (non-agression pacts) yang dinegosiasikan secara terpisah antara pusat kekuasaan dengan masing-masing vassal. Sebuah pusat kekuasaan tidak bisa mengontrol pergerakan dan tindakan dari kerajaan bawahan tapi dapat melakukan tindakan militer untuk membalas tantangan atau kelalaian dalam pemberian upeti, yang mana tindakan militer ini melibatkan kelompok perompak dan kerajaan bawahan lainnya.
Bagi sebuah pusat kekuasan, adalah penting untuk mengatur dengan cara-cara yang menjamin bahwa potensi kekerasan tidak akan diarahkan kepada mereka. Dan agar kerajaan bawahan dan para perompak tidak bersekutu melawan mereka.Atas alasan ini, adalah penting untuk mengarahkan kekerasan keluar perbatasan dengan mengizinkan kerajaan bawahan dan para bangsawan  dengan pengikut bersenjatanya untuk melakukan aktifitas kekerasan jauh dari pusat kekuasaan . Pantai timur Sulawesi dengan tiga kerajaan maritimnya yaitu Buton, Tobungku, dan Banggai terletak di antara lingkungan pengaruh Bone dan Ternate. Sebagai konsekuensinya, ketiganya merasakan dampak dari kelompok perompak dari kedua pusat kekuasaan tersebut dan harus mencari perlindungan dari keduanya dengan – dengan hasil  yang fluktuatif.

Pada tahun 1743, sebuah perjanjian dinegosiasikan oleh Ternate untuk menyelesaikan konflik antara dua vassal yaitu Banggai dan Tobungku, sehingga keduanya bisa berpartisipasi dalam ekspedisi militer yang dipimpin oleh Ternate. Ketentuan akhir dari perjanjian ini, menetapkan bahwa Sultan Ternate berhak menerima bagian dari rampasan perang.
Dengan perluasan kekuasaan oleh kekuasaan kolonial pada awal abad ke -19, perompakan dianggap sebagai tindakan kriminal  dan harus dibasmi. Belanda harus berurusan tidak hanya dengan perompakan tetapi juga dengan sistem ekonomi dan politik yang melibatkan para perompak. Perompakan adalah sebuah cara untuk meningkatkan upeti, meningkatkan kekayaan dan membiayai perang yang terjadi dalam skala besar di timur Nusantara pada era Perang Nuku melawan VOC.

Pada dekade 1820-an dan 1830-an beberapa beberapa usaha yang kemudian gagal dilakukan untuk mengubah kelompok perompak semi-nomadik  menjadi masyarakat nelayan dan petani yang menetap dengan jalan negosiasi dan pemberian lahan. Usaha terbesar ialah di era pengganti Nuku, raja Jailolo II, Muhammad Asgar yang diberikan tanah di pantai utara Seram . Disini ribuan pengikut raja Jailolo yang hidup berkelana selama Perang Nuku diharapkan menetap secara permanen. Tanah yang kurang subur menyebabkan kekurangan makanan dan juga diduga karena kontak yang terus-menerus dengan para perompak menyebabkan usaha ini berakhir dalam kegagalan.

Dua usaha yang serupa dalam skala yang lebih kecil dilakukan oleh pemerintah Belanda untuk memukimkan dan menenangkan perompak Tobelo di sekitar Flores, yang juga terdiri dari bekas pengikut Nuku. Yang pertama dilakukan oleh Daeng Magasing, bangsawan dari Bonerate yang memiliki hubungan dengan para bajak laut. Dia menggunakan kearifan lokal dan statusnya untuk berhubungan dengan para perompak dan memukimkan mereka di Tanah Jampea. Pulau kecil di Selatan Selayar ini kehabisan penduduk karena serangan yang berkelanjutan. Disini para perompak akan dimukimkan dan diharapkan menjadi petani dan hidup dengan damai dalam perlindungan pemerintah Belanda. Pada tahun 1830, 15 orang pemimpin bajak laut Tobelo menandatangani perjanjian damai yang diperkuat dengan sumpah dengan Daeng Magasing. Tiga tahun kemudian usaha ini gagal karena terbukti bahwa Daeng Magasing sendiri terlibat dalam aksi pembajakan dengan menggunakan suplai yang diberikan oleh Belanda.

Usaha kedua untuk ‘menjinakkan’ orang Tobelo dilakukan oleh petualang Belanda, Jan Nicholas Vosmaer, yang membangun pos perdagangan di pantai timur Sulawesi. Dia didukung oleh pemerintah Belanda. Vosmaer melakukan negosiasi dengan banyak pemimpin perompak Tobelo sama seperti yang pernah dilakukan Daeng Magasing, tapi kematiannya membuat usaha ini harus terhenti di tengah jalan. Seandainya pun dia tetap hidup diragukan jika dia bisa menjinakkan para perompak karena keamanannya sendiri tergantung kepada seorang pemimpin yang terkait dengan bajak laut. Usaha awal untuk mengubah dan memukimkan bajak laut gagal selama Belanda hanya memiliki kontrol yang terbatas di perairan timur dan tidak memiliki daya untuk mencegah kerja sama antara pembajak dan elit politik lokal.
Pemberantasa bajak laut merupakan salah satu pembenaran utama bagi ekspansi penguasa kolonial di perairan timur Indonesia di paruh kedua abad ke-19.

Efek samping yang tidak diharapkan dari operasi pemberantasan bajak laut di sekitar Flores adalah peningkatan perompakan di pantai timur Sulawesi.

Tahun 1846, tiga pemimpin bajak laut Tobelo dan para pengikutnya tiba di Banggai dimana mereka disambut sebagai sekutu oleh para bangsawan Ternate yang sedang menghadapi pemberontakan oleh penguasa lokal (era ini Banggai diperintah oleh Raja Agama.Karena keterlibatan para bajak laut Tobelo, maka perang untuk memadamkan pemberontakan tersebut dinamakan “Perang Tobelo”). Tahun berikutnya perang dimenangkan oleh Ternate dan para bajak laut, dan orang Tobelo kemudian merompak di sepanjang pantai wilayah tersebut dan berbagi hasil jarahan dengan para bangsawan Ternate yang menjadi pelindung mereka terhadap Belanda. Para bangsawan Ternate juga menjadi penadah bagi budak hasil tangkapan para bajak laut Tobelo.

Belanda kemudian menyadari bahwa menekan para perompak memerlukan kerja sama dengan sekutu mereka. Tahun 1853 sultan Ternate mengeluarkan dekrit yang menyerukan orang Tobelo untuk pulang ke Ternate dalam waktu satu tahun atau jika tidak akan diperlakukan sebagai bajak laut oleh Belanda. Banyak orang Tobelo  yang mengalir ke Sulawesi Timur untuk melapor ke wakil Ternate tapi dicegat oleh kapal perang Belanda dan langsung di angkut dan dipulangkan ke Ternate. Pada tahun 1870-an dan 1880-an, ekspedisi anti-bajak laut tidak lagi dilakukan dengan kapal-kapal Eropa tapi dengan menggunakan perahu kora-kora yang bisa memasuki perairan dangkal dan mampu bermanuver untuk mengejar kapal-kapal kecil. Para penguasa lokal dan para bangsawan dikenakan denda yang berat jika diketahui menjalin hubungan dengan bajak laut Tobelo dan perompak lainnya. Perompak Tobelo terakhirdi angkut dari timur Sulawesi pada tahun 1880-an. Sebagai dampak langsungnya, terjadi pemukiman kembali di pesisir pantai Sulawesi, kebangkitan perdagangan lokal, dan booming dalam produksi kopra. Perairan timur Sulawesi akhirnya ditenangkan bagi penguasa kolonial.

Artikel di IIAS Newsletter edisi 36 Maret 2005
Didasarkan pada disertasi Phd Esther Velthoen di Murdoch University tahun 2002 dengan judul “Contested Coastlines : Diaspora,Trade and Colonial Expansion in Eastern Sulawesi 1680-1905”

Terjemahan Edward Djawa

peta aktifitas Canga

 http://www.facebook.com/notes/adrian-noel/canga-sailing-in-dangerous-waters/10151046582369502

CANGA II

Pada abad ke-19, beberapa perairan penting di Indonesia dihantui oleh perompakan-perompakan yang dilakukan para bajak laut. Aksi-aksi para bajak laut ini sangat memusingkan Pemerintah Kolonial Belanda dan angkatan lautnya. Perairan-perairan yang menjadi sasaran operasi bajak laut antara lain perairan Manado, Kepulauan Sulawesi Tenggara, pantai timur Sulawesi, Nusa Tenggara, pantai utara Jawa Timur, serta Maluku. Sampai paruh pertama abad ke-19 ini, pelaku perompakan terutama terdiri dari orang-orang Filipina Selatan, yakni orang Balangigi, Mindanao dan Sulu.

J.A. Muller19 melaporkan bahwa Komandan kapal Willem I, Wolterbeek Muller, mengalami musibah karam kapalnya ketika tengah mengejar bajak laut “Maluku.” Tetapi, para bajak laut tersebut ternyata orang Mindanao yang perahunya dilengkapi dengan senjata api.

Bajak laut Mindanao yang terkenal ketika itu adalah gerombolan yang dipimpin Syarif Takala. Gerombolan ini beroperasi di sekitar pantai timur Kalimantan dan Sulawesi Utara. Pada 1835, Syarif Takala tertangkap di Batu Putih oleh kapal perang Heldin, dan bersamanya ikut diringkus anak buahnya yang baru selesai beroperasi di Sungai Berau. Ketika ditangkap, Syarif Takala baru saja menikahi puteri Sultan Paji Alam dari Kesultanan Panjang.

Disamping gerombolan Syarif Takala, ada gerombolan bajak laut Filipina terkenal lainnya pimpinan Dato Kaiya, yang juga berhasil diringkus Belanda. Baik Syarif  Takala maupun Dato Kaiya diseret ke pengadilan kemudian dihukum.

Setelah tertangkapnya kedua pentolan bajak laut Filipina itu, perompakan di perairan Kalimantan mereda untuk sementara waktu. Tetapi, dengan ketatnya patroli angkatan laut di kawasan tersebut, para bajak laut Filipina Selatan memindahkan daerah operasinya ke perairan Nusa Tenggara – Flores, Bima dan sekitarnya – serta Kepulauan Maluku.

Sekitar pertengahan abad ke-19, gerombolan perompak Filipina selatan mendapat saingan baru: gerombolan bajak laut Tobelo-Galela. Pada 1850, angkatan laut Belanda melaporkan bahwa Kepulauan Bawean di pantai utara Jawa Timur diserang oleh tidak kurang dari 15 perahu bajak laut. Perahu-perahu yang digunakan para perompak cukup besar dan dikayuh puluhan orang – tiap perahu memuat sekitar 60 orang – serta dilengkapi meriam, senjata api, dan amunisi.

Perahu-perahu bajak laut itu mendarat di perkampungan ketika kaum lelakinya tengah berlayar untuk berdagang. Rumah-rumah penduduk dibakar setelah harta bendanya dirampok.Sementara perempuan dan anak-anak ditangkap untuk dijadikan budak belian. Patroli angkatan laut yang dikirim ke tempat kejadian melaporkan bahwa perompakan dilakukan oleh bajak laut domestik, bukan perompak Filipina Selatan.

Pada 1852, angkatan laut juga melaporkan terjadinya serangkaian aksi perompakan di perairan Flores dan Sumbawa. Dari para perompak yang berhasil ditangkap, diketahui bahwa para bajak laut itu berasal dari Tobelo, selain sebagiannya berasal dari Filipina Selatan.Laporan-laporan tahun selanjutnya mengungkapkan bahwa muncul pula bajak laut yang berasal dari Galela. Bahkan, secara insidental, ditemukan pula orang-orang Loloda, Patani dan Gebe yang terlibat dalam aksi-aksi perompakan.

Karena aksi-aksi perompakan yang dilakukan para bajak laut asal Tobelo dan Galela begitu meresahkan, Pemerintah Belanda mendekati para sultan Maluku dan meminta bantuan mereka – terutama Sultan Ternate dan Bacan yang kawulanya termasuk orang Tobelo dan Galela – untuk menanggulanginya. Tetapi, upaya ini tidak segera menunjukkan hasil. Bahkan, para perompak, selain menyerang daerah-daerah seperti Banggai, Buton, dan Tombuku, beroperasi di depan mata para sultan sendiri, seperti di Bacan, Obi, Sanana dan Seram. Pulau-pulau yang berdekatan dengan Tidore dan Ternate, semisal Moti, Makian, dan Mare, tidak luput dari sasaran operasi para bajak laut Tobelo dan Galela.

Salah satu pemimpin bajak laut Tobelo yang sangat ditakuti adalah Laba, yang pada 1855 tertangkap sedang bersembunyi di kampungnya di Tobelo. Residen Ternate, Stierling, setelah menerima informasi bahwa Laba berada di Gamhoku, Tobelo, segera mengirim kapal perang Visivius dan menuntut penyerahan Laba yang berada dalam perlindungan penduduk Gamhoku.

Tetapi, penduduk kampung ini menolak tuntutan tersebut. Akibatnya, Stierling memerintahkan kapal perangnya menembaki dan membakar kampung Gamhoku. Setelah kampung itu rata dengan tanah, penduduknya dipindahkan dari Gamhoku (“kampung yang terbakar”) ke Gamsungi (“kampung baru”), yang kemudian menjadi ibukota Kecamatan Tobelo hingga sekarang.Laba sendiri tertangkap dan diseret ke pengadilan di Ternate, serta dijatuhi hukuman pengasingan ke Bengkulu dan meninggal di tempat pengasingannya itu.

Dari laporan angkatan laut Belanda yang didasarkan pada wawancara dengan para perompak yang tertangkap maupun tawanan para bajak laut yang dibebaskan, diketahui bahwa hampir semua gerombolan bajak laut ketika itu dipimpin oleh orang Tobelo atau Galela.

Gerombolan-gerombolan perompak ini beroperasi dengan menggunakan perahu-perahu yang dapat mengangkut puluhan pendayung dan ratusan pembajak. Disamping itu, perahu-perahunya dipersenjatai dengan meriam dan senjata api. Bila kepergok kapal patroli Belanda, mereka melakukan perlawanan dan sering terjadi tembak-menembak dengan kapal-kapal Belanda itu.

Dalam melakukan aksinya, para bajak laut Tobelo-Galela tidak diskriminatif. Pada Nopember 1874, perahu Sultan Buton dirompak dan sultan sendiri ikut bertempur menghadapi para perompak Galela. Para bajak laut Tobelo merompak perahu Sultan Banggai dalam perjalanannya ke Ternate, ketika ia akan beraudiensi dengan Sultan Ternate. Semua isi perahu dikuras habis, termasuk sejumlah upeti yang akan dipersembahkan kepada Sultan Ternate. Pada tahun yang sama, perompak Tobelo berhasil menguras sebuah kapal niaga di Seram.

Tetapi, dalam perompakan di pantai timur Sulawesi, misalnya, aparat Kesultanan Ternate yang ditempatkan di Banggai juga turut terlibat. Utusan Ternate dan Sekretaris Kerajaan Banggai, keduanya orang Ternate, merupakan penadah hasil rompakan. Mereka juga menjadi “sole agent” pembelian budak hasil tangkapan para perompak Tobelo-Galela.

Berkenan dengan bajak laut Tobelo-Galela ini, A.B. Lapian antara lain mencatat:


  1. Bahwa angka-angka yang dilaporkan Pemerintah Belanda mungkin masih berada jauh di bawah angka sesungguhnya, baik dalam jumlah perahu maupun yang menjadi pelakunya, serta yang menjadi korban sebagai budak.
  2. Penamaan kampung Gamhoku dan Gamsungi, dengan demikian, muncul belakangan, pasca penembakan dan pembakaran yang dilakukan Belanda. Nama kampung Gamhoku sebelum kebakaran tidak begitu jelas.Daerah operasi para perompak itu sangat luas. Pada masa puncaknya, wilayah yang dijangkau para bajak laut sampai ke Laut Jawa. Bahkan, dengan bekerjasama dengan orang-orang Filipina Selatan, wilayah operasi mereka mungkin lebih luas lagi.
  3. Atas dasar hal-hal tersebut, orang-orang Tobelo-Galela yang menjadi bajak laut itu menunjukkan kemampuan mereka mengorganisasikan diri dalam suatu kekuatan yang tangguh menghadapi angkatan laut Belanda.
  4. Kemampuan managemen dan logistik serta kepemimpinan yang piawai dan pengetahuan navigasi serta pelayaran yang luas, dengan demikian, dimiliki para bajak laut Tobelo – Galela.

Untuk menanggulangi ulah bajak laut asal Tobelo-Galela, pada 1878 Said Muhammad, seorang keturunan Arab yang bermukim di Makian, mengorganisasi sebuah badan anti bajak laut yang beranggotakan 125 orang. Kelompok ini mengejar dan menangkap para bajak laut yang ditemukannya. Pada tahun pertama setelah badan ini berdiri, Said Muhammad dan anak buahnya berhasil menangkap 140 bajak laut Tobelo-Galela, yang langsung digiring ke Ternate.

Keberhasilan kelompok Said Muhammad turut berperanserta dalam mengurangi aksi-aksi perompakan, terutama di Kepulauan Bacan dan Sanana-Taliabu. Disamping itu, Sultan dan Residen Ternate mengeluarkan peraturan bersama yang mewajibkan semua perahu orang Galela dan Tobelo memiliki pas jalan apabila hendak berlayar. Perahu yang tidak memiliki pas jalan dianggap sebagai perahu bajak laut.

Pada akhir abad ke-19, gangguan bajak laut yang dilakukan orang Tobelo-Galela berkurang secara drastis, kemudian berakhir. Menurut van Fraassen, berakhirnya aksi perompakan ini secara alami dikarenakan mulai berkembangnya pelayaran kapal-kapal laut.


Gubernur Jenderal Turun-tangan Membasmi Pembajakan
Gubernur jenderal Hindia Belanda, Pahud, mengunjungi Ternate pada Januari tahun 1861. Setiba di Ternate, ia melakukan perundingan dengan Sultan Ternate dan Tidore. Agenda pokok yang dirundingkan adalah usaha-usaha preventif yang harus diambil untuk mencegah kawula kedua kesultanan itu melakukan perompakan, dan bantuan untuk mengatasinya, terutama untuk kasus-kasus pembajakan yang tejadi di Maluku.

Sementara itu, setelah mengetahui bahwa para bajak laut kebanyakan terdiri dari orang Tobelo dan Galela, Pemerintah Hindia Belanda mencoba mendekati Sultan Ternate untuk mengatasinya, karena Tobelo dan Galela berada dalam wilayah hukum Kesultanan Ternate.

Sultan Muhammad Arsyad berjanji akan mengatasinya, seperti telah disebutkan di atas. Bersama Residen Ternate, Sultan kemudian men geluarkan peraturan bahwa semua perahu orang Tobelo dan Galela yang hendak berlayar harus memiliki surat ijin berlayar yang dbubuhi cap Sultan dan Residen. Yang tidak memiliki surat ijin atau pas jalan akan diperlakukan sebagai bajak laut dan ditindak tegas.

Keluarnya peraturan tersebut cukup efektif dalam menurunkan angka perompakan yang melibatkan orang Tobelo-Galela. Pada tahun 1862, misalnya, hanya ditemukan satu perahu Tobelo yang yang melakukan perompakan di pulau Buru, dan beberapa tahun berikutnya tidak terdengar lagi adanya pembajakan yang dilakukan orang Tobelo dan Galela. Baru pada bulan Pebruari 1868, terjadi pembajakan yang dilakuan orang Tobelo terhadap perahu Binongko di Buano, Seram Barat. Dalam kejadian ini, isi perahu ludes dirampok dan awaknya dibunuh.

Pada 1861, Pemerintah Belanda menempatkan satu regu tentara, terdiri dari 6 prajurit pribumi dan seorang kopral Belanda, di Dodinga untuk mengawasi lalu lintas antara Bobaneigo dan Dodinga. Lalu lintas di daerah itu mulai ramai sebagai rute perdagangan darat antara Halmahera dan Ternate. Detasemen tentara tersebut menempati Benteng Dodinga, yang kini tidak ada bekasnya lagi karena digunakan untuk membangun jalan.

Barangkali atas desakan Belanda, Kesultanan Ternate dalam tahun ini melakukan pemecatan terhadap Sangaji Tobelo, Manis. Ia dipecat berkenan dengan maraknya aksi pembajakan di laut yang dilakukan orang Tobelo dan Galela. Demikian pula, Sangaji Galela dipecat dengan alasan yang sama.



 
 http://www.facebook.com/notes/adrian-noel/canga-ii/10151075235129502

CANGA : Our Ancestors Are Sea-Pirates


 Hingga abad ke-19, Asia Tenggara merupakan pusat perdagangan dunia selain Fenesia. Dan sejarahwan mencatat, bahwa siapapun yang menguasai selat Malaka, dia mencengkeram Fenesia. Maraknya perdagangan memunculkan kelompok-kelompok perompak yang berperan sebagai sebuah sub-sistem dari kegiatan perdagangan.
Perairan-perairan yang menjadi sasaran operasi bajak laut antara lain perairan Manado, Kepulauan Sulawesi Tenggara, pantai timur Sulawesi, Nusa Tenggara, pantai utara Jawa Timur, serta Maluku.Membahas perompakan  di kepulauan Nusantara berarti berbicara tentang bajak laut Mangindanao, Dayak Laut dan Tobelo. Kelompok-kelompok bajak laut tersebut menjadikan kepulauan Nusantara sebagai episentrum pembajakan dunia di abad ke-19.

Bajak laut Mangindanao berasal dari Philipina bagian selatan dan terdiri dari orang-orang Iranun (Lanun), Sulu, Balangingi (Samal) dan Tausog (juga sering dilafalkan Toasug). Tapi yang paling terkenal dari kelompok ini adalah Iranun atau Lanun. Orang Iranun berasal dari danau Ranao di pulau Mindanao, yang karena letusan gunung berapi kemudian bermigrasi ke kepulauan Sulu. Mereka adalah kelompok bajak laut yang memiliki sejarah yang panjang. Keberhasilan mereka dalam pembajakan di laut antara lain dikarenakan mereka adalah kelompok yang terorganisasi secara baik dan memiliki sponsorship yang kuat dari para datu Tausog. Orang-orang kaya Tausog menyediakan persenjataan dan perahu, kemudian menampung budak hasil tangkapan untuk kemudian dipasarkan di Jolo, pasar budak terbesar di kepulauan Sulu. Wilayah operasi bajak laut Mangindanao mencakup Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Sumatera, Malaya, Siam dan para sejarahwan meyakini mereka juga beraksi sampai ke teluk Benggala.

 Dayak Laut adalah nama yang diberikan oleh orang barat kepada kelompok penjelajah sungai dari Sarawak. Di kalangan orang Dayak, mereka disebut Orang Iban. Walaupun disebut Dayak Laut, mereka sebenarnya tidak memiliki tradisi maritim dan keterlibatan mereka dalam perompakan adalah karena kerja sama dengan bajak laut Mangindanao.

Orang Tobelo adalah penduduk rimba Halmahera disekitar Danau Lina yang kemudian berpindah ke pantai timur Halmahera Utara setelah lenyapnya orang Moro dari daerah tersebut. Sedangkan sebutan “bajak laut Tobelo” sebenarnya mengacu pada kelompok perompak Tobelo dan Galela. Keterlibatan orang Tobelo dan Galela dalam pembajakan di laut  bisa ditelusuri hingga akhir abad ke-18. Ketika pangeran Nuku dari Tidore mencetuskan pemberontakan, ia berhasil mempersatukan berbagai kekuatan maritim di bagian timur Indonesia, antara lain orang Maba, Patani, Weda, Gebe, Raja Ampat, Biak dan orang-orang Tobelo-Galela yang bermukim di wilayah kesultanan Tidore. Untuk membiayai pemberontakan, mereka melakukan pembajakan dan penangkapan budak serta menyerang kapal dagang dan berbagai kepentingan Ternate dan Belanda di berbagai tempat. Kelompok ini dalam catatan Belanda disebut “Papua Zeerover”, bajak laut Papua. Aktifitas kelompok ini mencakup daerah Ambon, Buru, Seram, kepulauan Aru-Kei, Tanimbar, Sula, Banggai dan Sulawesi Utara.

Untuk mengatasi kelompok bajak laut tersebut, Belanda dan Ternate mengirim sejumlah ekspedisi. Tahun 1780 Belanda mengirim ekspedisi langsung ke jantung para bajak laut. Tim ekspedisi ini terdiri dari 59 tentara Eropa, 22 orang Makassar, 57 orang Bali di bawah pimpinan Captain Heinrich dan penerjemah van Dijk serta kurang lebih 3.000 orang Tobelo dan Galela di bawah pimpinan Letnan Maffa Mira.

Tanggal 20 November 1780, negeri Wossi dan Maba diserang dan berhasil dihancurkan keesokan harinya. Serangan ke Patani tanggal 17 Desember gagal sebab orang-orang Tobelo dan Galela menolak untuk menyerang karena persoalan penjatahan makanan. Pertempuran secara sporadis terus berlangsung di laut, dan tanggal 26 April Patani diserang dan dibakar. Pangeran Nuku dan pengikutnya melarikan diri ke Papua. Selama beberapa tahun orang-orang Tobelo dan Makeang dilibatkan dalam pasukan gabungan Ternate dan Belanda untuk memburu Nuku dan pengikutnya.

Pukulan berat terhadap para bajak laut menyebabkan banyak dari mereka yang menyerah dan mengalihkan kesetiaanya kepada Belanda dan Ternate. Masa tersebut merupakan masa yang paling berat dari perjuangan Nuku. Tapi tahun 1792 merupakan titik balik bagi Nuku setelah ia berhasil membentuk aliansi dengan orang Tobelo, Galela dan Tobaru. Bergabungnya orang-orang Tobelo, Galela dan Tobaru dalam barisan Nuku berhasil mengembalikan motivasi dari mantan pengikut Nuku yang sudah memihak Ternate dan Belanda untuk kembali berjuang di pihak Nuku.

Awal mula keterlibatan orang Tobelo dalam pembajakan digambarkan sebagai berikut :

“Delapan kampung orang Tobelo terletak di pedalaman di tepi sebuah danau. Mereka dikenal sebagai orang-orang yang “kejam dan mematikan”, dan hanya orang-orang Galela dan Tobaru yang berani mengunjungi mereka. Mereka digambarkan memiliki banyak sekali emas dan perak – beberapa dari mereka menggunakan tiga, empat bahkan lima gelang emas atau perak sekaligus. Sumber Belanda mengungkapkan bahwa Sultan Sibori Amsterdam pernah membujuk 600 pejuang Tobelo dengan banyak emas dan perak untuk ikut serta dalam perang melawan VOC pada tahun 1779-1781.

Orang-orang Gamrange (Maba dan Patani), orang Seram Timur dan pemimpin-pemimpin Tidore berperan dalam pembentukan aliansi dengan Tobelo. Aliansi ini dilaporkan terjadi pada tahun 1792. Alferis Hassan dari Tidore melaporkan bahwa sebuah paduakang (jenis kapal) telah merapat di Morotai dengan membawa lima orang Seram Timur serta beberapa orang Maba dan Patani dan mereka telah melakukan upacara tukar-menukar hadiah dengan delapan penduduk Tobelo-tai dan Kao. Orang-orang Seram Timur dan pemimpin-pemimpin Gamrange menghadiahkan dua ekor merpati, sebuah pedang dan tombak kepada anak perempuan Afir, seorang Kapita Laut dari Tobelo. Setelah upacara tukar-menukar hadiah, empat puluh kora-kora disiapkan untuk ekspedisi pembajakan ke Manado”

Dengan demikian aksi para bajak laut terus berlanjut dan bersama Inggris mereka merupakan kekuatan utama yang mengantar Nuku menduduki takhta Tidore dan kemudian menundukkan kekuatan gabungan Ternate - Belanda.

Pada awal abad ke-19 mulai muncul kelompok bajak laut Tobelo yang menjalin kerja sama dengan bajak laut Mangindanao. Para bekas pengikut Nuku yang menyingkir ke Seram Timur bersama raja Jailolo Muhammad Asgar banyak yang bergabung dengan kelompok bajak laut tersebut karena tanah yang kurang subur di Seram Timur tidak mampu mendukung keberadaan kelompok tersebut dan menyebabkan kekurangan pangan. Para bekas pengikut Nuku tersebut terdiri dari kebanyakan orang-orang Halmahera Timur dan orang-orang Tobelo.

Dengan demikian, sejarah maritim di Indonesia Timur mencatat kemunculan kelompok bajak laut Tobelo, dan belakangan muncul pula bajak laut Galela dengan  Seram Timur sebagai salah satu jalur transit sekaligus pemukiman para bajak laut.
Wilayah operasi bajak laut Tobelo mencakup wilayah yang luas, dari perairan Flores di selatan hingga Toli-Toli di utara Sulawesi. Dari kepulauan Maluku hingga pantai utara Jawa Timur. Untuk mendukung operasinya, para bajak laut membangun beberapa pemukiman seperti Tanah Jampea di depan Selayar, Tobungku di pantai Timur Sulawesi dan Toli-Toli di utara Sulawesi. Perairan Flores merupakan wilayah “operasi bersama” antara bajak laut Tobelo dan Mindanao dari Pilipina Selatan. Tetapi pada tahun 1822 Belanda melakukan sebuah operasi anti bajak laut di pulau Sape yang bukan saja berhasil mengalahkan para bajak laut, tetapi juga mengakhiri kerja sama antara bajak laut Tobelo dan bajak laut Mindanao di wilayah perairan Flores. Kelompok bajak laut Mindanao mem-fokus-kan operasinya di Sulawesi Utara, Kalimantan dan Philipina sedangkan bajak laut Tobelo memfokuskan operasinya di pantai timur Sulawesi.

Perbedaan wilayah operasi membuat perbedaan dalam penyebutan kata bajak laut. Di wilayah yang di dominasi oleh bajak laut Mindanao seperti di wilayah pantai barat Sulawesi, Kalimantan,Sumatera dan Malaya, “Lanun” yang berasal dari kata Iranun merupakan sebutan generik bagi bajak laut. Bagi masyarakat Sulawesi Utara, kata Mangindanao adalah sinonim untuk bajak laut. Penduduk kepulauan Sanger menganggap tabu untuk menyebut kata Mangindanao terutama jika sementara berada di tengah lautan. Dalam “sasahara” (bahasa rahasia) penduduk kepulauan Sanger, kata untuk bajak laut adalah Malanghingin, dari kata Balangingi, kelompok bajak laut Philipina Selatan. Sedangkan bagi penduduk pantai timur Sulawesi yang di dominasi oleh bajak laut Tobelo, kata untuk menyebut bajak laut adalah Tobelo, Pabelo, atau Belo.

Setelah orang Iranun meninggalkan perairan Flores dan pantai timur Sulawesi, orang Tobelo merubah modus operandinya, dari perompakan berskala besar menjadi perompakan dalam kelompok-kelompok kecil tetapi menyebar sehingga sulit terdeteksi dan makin menyulitkan pemerintah Belanda dalam operasinya membasmi para bajak laut. (Kelompok terbesar bajak laut Tobelo yang pernah dicatat tahun 1872 adalah yang terlihat di Teluk Tomini yaitu sejumlah 48 perahu. Kelompok tersebut terdiri dari kumpulan perahu kecil yang masing-masing memuat 10 - 60 pembajak. Perahu-perahu ini diikat menjadi satu dan setelah sampai di lokasi tertentu mereka kemudian menyebar ke berbagai arah untuk melakukan pembajakan dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 40-50 pembajak.) Beberapa aksi bajak laut Tobelo yang terekam dalam catatan pemerintah Belanda bisa dilihat disini.

Tahun 1846 tiga orang pemimpin bajak laut Tobelo tiba di Banggai, dimana mereka disambut sebagai sekutu oleh orang-orang Ternate yang sementara menghadapi pemberontakan bersenjata oleh penguasa Banggai, Raja Agama yang didukung oleh orang-orang Makassar. Para bajak laut yang bahu-membahu dengan tentara Ternate berhasil memadamkamkan pemberontakan tersebut dan Sorani, salah satu pemimpin bajak laut diizinkan bermukim di salah satu pulau di kepulauan Banggai dan melakukan penangkapan budak di wilayah tersebut. Para pembesar Ternate menjadi penadah budak hasil tangkapan para bajak laut.

Sementara itu, sebagian bajak laut Tobelo membangun pemukiman di Toli-Toli, dan dari situ melakukan “operasi bersama” dengan para bajak laut Mindanao, Dayak Laut (Iban), dan kelompok perompak lainnya. Toli-Toli merupakan basis untuk operasi di pantai barat Sulawesi, Sulawesi Utara dan Kalimantan. Sebuah catatan pada tahun 1812 menggambarkan Toli-Toli sebagai “the great piratical establishment”. Kerja sama antara berbagai kelompok bajak laut merupakan hal yang lumrah. Merujuk pada sebuah catatan dari tahun 1830, pulau Tanah Laut, di sebelah selatan pulau Kalimantan, merupakan pemukiman kelompok bajak laut yang terdiri dari orang Iranun, gerombolan Haji Jawa dari Kalimantan, orang-orang Tobelo dan orang Bajau.

Selain merompak dan menangkap budak, para bajak laut ini seringkali berfungsi sebagai mercenary (tentara bayaran). Pada tahun 1820-an, para bajak laut membantu sultan Sulu untuk menaklukkan kesultanan Brunei. Sultan Buton pernah menawarkan 100 orang budak bagi para bajak laut Tobelo yang menetap di Kendari untuk membunuh Vosmaer, seorang Belanda yang mendirikan pos perdagangan di Kendari. Permintaan ini ditolak oleh para pemimpin bajak laut, Dagi-dagi dan Kapita Tobungku karena hubungan baik yang telah terjalin antara para bajak laut dan Vosmaer.

Terkadang para penguasa melakukan pembiaran bagi para bajak laut yang beroperasi di wilayahnya karena para bajak laut dapat berperan untuk melemahkan suku-suku yang memiliki potensi untuk menyaingi kekuatan para sultan. Hal ini terjadi misalnya di Nusa Tenggara di mana para sutan Bima membiarkan suku Manggarai diserang oleh para bajak laut. Dengan demikian para sultan Bima meminjam tangan para bajak laut untuk melemahkan suku yang diragukan kesetiaannya terhadap para sultan. Serangan yang berkelanjutan menyebabkan orang Manggarai yang mulanya bermukim di tepi pantai akhirnya berpindah ke pedalaman.

Motivasi di balik Pembajakan di Laut

Menyimak mobilitas dari para bajak laut, penting untuk menggali motivasi yang mendorong sekelompok orang untuk melakukan berbagai aksi pembajakan di laut yang bukan hanya berbahaya, tetapi juga dilakukan dengan taruhan nyawa.

Bagi orang-orang Iranun, menjadi bajak laut merupakan sesuatu yang sudah mendarah-daging. Mereka adalah kelompok manusia yang merasa “dilahirkan untuk membajak di laut” dan perbudakan merupakan aspek penting dalam struktur sosial orang Iranun. Separuh penduduk kepulauan Sulu adalah budak (disebut oripen atau baniaga) yang dipekerjakan di berbagai bidang, dari penangkapan ikan, sebagai pendayung perahu, sampai pengumpulan sarang burung.

Kelompok Dayak Laut (Iban) merompak dengan satu tujuan : memburu kepala. Harga diri dan kehormatan suatu pemukiman orang Iban sangat tergantung pada jumlah kepala yang berhasil dikumpulkan. Kepala juga penting dalam penyelenggaraan berbagai upacara dari awal masa tanam, panen, upacara kelahiran, kematian dan sebagainya. Setiap tahun ribuan budak hasil tangkapan dari Philipina mengalir ke Jolo, pasar budak terbesar di kepulauan Sulu. Tahun 1845 pemerintah kolonial Spanyol menempatkan Juan Bautista Barrera di Jolo dengan tugas menebus warga Philipina yang tertangkap oleh para bajak laut. Sejumlah catatannya menggambarkan kemarahan karena ketidakmampuannya menebus banyak sekali budak karena seringkali ia kehabisan uang tunai dan barang berharga untuk dibayarkan kepada para bajak laut. Para budak yang tidak ditebus biasanya langsung dikapalkan ke Kalimantan dan diserahkan kepada orang Iban yang membayar dengan teripang dan sarang burung. Mengumpulkan teripang dan sarang burung untuk ditukarkan dengan budak merupakan cara alternatif bagi orang Iban untuk mendapatkan kepala selain dengan merompak dan menyerang pemukiman suku lain.

Banyak sejarahwan sepakat bahwa selain faktor ekonomi, faktor politik merupakan motif bagi orang-orang Tobelo dan Galela untuk terjun dalam kegiatan pembajakan di laut. Menjadi bajak laut merupakan respon bagi tekanan politik para sultan yang secara semena-mena memonopoli dan menetapkan harga berbagai komoditi penting seperti teripang, mutiara, hingga perahu dan beras. Sedangkan pemerintah Belanda dan pedagang Cina memonopoli perdagangan pakaian, peralatan keramik dan barang-barang logam. Menjadi bajak laut merupakan ekspresi ketidakpuasan terhadap para penguasa dan oleh sebab itu para bajak laut seringkali menyerang kapal-kapal dagang milik sultan Ternate.

Faktor lain adalah hasrat bertualang yang dilandasi oleh “spiritualitas Halmahera”, terutama konsep triatomik masyarakat Halmahera yang memandang manusia terdiri dari tiga bagian, roehe (raga), gikiri (roh), dan gurumi (jiwa, semangat, manna, kekuatan batin). Kehormatan seorang Halmahera terletak dalam kekuatan guruminya. Oleh karenanya dilakukan usaha-usaha untuk membangkitkan gurumi seseorang antara lain lewat ritual hokara. Pengalaman menempuh bahaya dan tantangan (seperti dalam kegiatan perompakan) juga dianggap dapat memperkuat gurumi seseorang dan kemenangan-kemenangan dalam menaklukkan musuh dapat membuat seseorang “dipenuhi gurumi”.

Penjinakan Bajak Laut

Selain melakukan operasi bersenjata untuk mengatasi keganasan para bajak laut, pemerintah kolonial juga melakukan usaha-usaha dalam rangka untuk menjinakkan kelompok bajak laut tersebut. Pada dekade 1820-an dan 1830-an beberapa usaha yang kemudian gagal dilakukan untuk mengubah kelompok perompak semi-nomadik  menjadi masyarakat nelayan dan petani yang menetap dengan jalan negosiasi dan pemberian lahan. Usaha terbesar ialah di era pengganti Nuku, raja Jailolo Muhammad Asgar, yang diberikan tanah di pantai utara Seram . Disini ribuan pengikut raja Jailolo yang hidup berkelana selama Perang Nuku diharapkan menetap secara permanen. Tanah yang kurang subur menyebabkan kekurangan makanan dan juga diduga karena kontak yang terus-menerus dengan para perompak menyebabkan usaha ini berakhir dalam kegagalan.

Dua usaha yang serupa dalam skala yang lebih kecil dilakukan oleh pemerintah Belanda untuk memukimkan dan menenangkan perompak Tobelo di sekitar Flores. Yang pertama dilakukan oleh Daeng Magasing, bangsawan dari Bonerate yang memiliki hubungan dengan para bajak laut. Dia menggunakan kearifan lokal dan statusnya untuk berhubungan dengan para perompak dan memukimkan mereka di Tanah Jampea. Pulau kecil di Selatan Selayar ini kehabisan penduduk karena serangan yang berkelanjutan. Disini para perompak akan dimukimkan dan diharapkan menjadi petani dan hidup dengan damai dalam perlindungan pemerintah Belanda. Pada tahun 1830, 15 orang pemimpin bajak laut Tobelo menandatangani perjanjian damai yang diperkuat dengan sumpah dengan Daeng Magasing. Tiga tahun kemudian usaha ini gagal karena terbukti bahwa Daeng Magasing sendiri terlibat dalam aksi pembajakan dengan menggunakan suplai yang diberikan oleh Belanda.

Usaha kedua untuk ‘menjinakkan’ orang Tobelo dilakukan oleh petualang Belanda, Jan Nicholas Vosmaer, yang membangun pos perdagangan di pantai timur Sulawesi. Dia didukung oleh pemerintah Belanda. Vosmaer melakukan negosiasi dengan banyak pemimpin perompak Tobelo sama seperti yang pernah dilakukan Daeng Magasing, tapi kematiannya membuat usaha ini harus terhenti di tengah jalan. Seandainya pun dia tetap hidup diragukan jika dia bisa menjinakkan para perompak karena keamanannya sendiri tergantung kepada seorang pemimpin yang terkait dengan bajak laut. Usaha awal untuk mengubah dan memukimkan bajak laut gagal selama Belanda hanya memiliki kontrol yang terbatas di perairan timur dan tidak memiliki daya untuk mencegah kerja sama antara pembajak dan elit politik lokal.
Belanda kemudian menyadari bahwa menekan para perompak memerlukan kerja sama dengan sekutu mereka. Tahun 1853 sultan Ternate mengeluarkan dekrit yang menyerukan orang Tobelo untuk pulang ke Ternate dalam waktu satu tahun atau jika tidak akan diperlakukan sebagai bajak laut oleh Belanda. Banyak orang Tobelo  yang mengalir ke Sulawesi Timur untuk melapor ke wakil Ternate tapi dicegat oleh kapal perang Belanda dan langsung diangkut dan dipulangkan ke Ternate. Pada tahun 1870-an dan 1880-an, ekspedisi anti-bajak laut tidak lagi dilakukan dengan kapal-kapal Eropa tapi dengan menggunakan perahu kora-kora yang bisa memasuki perairan dangkal dan mampu bermanuver untuk mengejar kapal-kapal kecil. Para penguasa lokal dan para bangsawan dikenakan denda yang berat jika diketahui menjalin hubungan dengan bajak laut Tobelo dan perompak lainnya.

Larangan perdagangan budak oleh pemerintah Belanda juga menurunkan motivasi para perompak karena budak merupakan komoditas yang paling berharga. Larangan terhadap perbudakan lebih dulu diberlakukan di Indonesia Timur ketimbang di daerah lain mengingat akutnya penangkapan budak di wilayah tersebut. Perompakan di perairan Nusantara juga berakhir sebagai dampak dari perkembangan teknologi dengan berkembangnya transportasi dengan kapal uap yang mampu bergerak dengan cepat dalam melakukan pengejaran terhadap para bajak laut. Tahun 1866 Belanda melakukan operasi pengejaran di perairan Flores dengan menggunakan kapal uap dengan didukung ribuan prajurit kesultanan Bima. Operasi tersebut merupakan pukulan berat bagi para bajak laut.

Pada akhir abad ke-19, gangguan bajak laut yang dilakukan orang Tobelo-Galela berkurang secara drastis, kemudian berakhir. Orang Tobelo tidak banyak menyisakan  jejak di wilayah-wilayah tempat mereka beraksi sebagai perompak karena sebagian besar kembali pulang ke Halmahera, tetapi mereka meninggalkan reputasi mengerikan sebagai bajak laut tangguh yang belum lekang hingga saat ini.

(dari berbagai sumber)

peta jalur operasi dan pemukiman bajak laut Tobelo dan Mindanao

http://www.facebook.com/notes/adrian-noel/canga-our-ancestors-are-sea-pirates/10151327327769502

ORANG MORO


Ketika Portugis tiba di maluku pada pertengahan abad ke-16, mereka menemukan bahwa pantai timur Halmahera, yang disebut Morotia, dan pulau Morotai dihuni oleh orang-orang yang dikenal sebagai “Orang Moro”.Di wilayah -yang sekarang ini dihuni oleh orang Tobelo dan Galela- orang Moro banyak membangun perkampungan di pesisir pantai. Di tahun 1556, ada 46 atau 47 perkampungan Moro, yang masing-masing kampung berpenduduk sekitar 700 sampai 800 penduduk. Di jazirah utara,perkampungan Moro ditemukan dari Tanjung Bisoa di utara sampai Cawa di selatan - dekat kota Tobelo sekarang ini. Pulau Morotai dan pulau Rau yang lebih kecil dihuni secara eksklusif oleh orang Moro. Pada tahun 1588 ada sekitar 29 pemukiman di sana. Jumlah yang sama dilaporkan pada pada tahun 1608.

Populasi orang Moro sangat besar dibandingkan dengan suku-suku di dekatnya, bahkan jika kita mambaca perhitungan dari misionaris Portugis dengan kritis. Pertengahan abad ke 16 , menurut perkiraan yang paling konservatif orang Moro berjumlah sekurang-kurangnya 20.000 orang. Jumlah populasi yang signifikan ini adalah bukti dari kenyataan bahwa, setelah orang Moro menhilang pada pertengahan abad ke-17, jumlah populasi  penduduk yang tersisa di Halmahera berkurang sangat drastis.

Pemukiman orang Moro terletak jauh dari suku tetangga mereka seperti  Tobelo, Galela dan Tobaru di satu pihak. Pemukiman dari ketiga suku ini terletak jauh di pedalaman dan tidak masuk dalam dalam empat pemukiman utama (Tolo, Sugala, Mamuya di Morotia dan Cawo di Morotai) yang merupakan wilayah orang Moro pada tahun 1536, dan pemukiman Tobelo, Galela, dan Tobaru juga tidak dimasukkan dalam pembagian delapan distrik yang dilakukan tahun 1588 (Sugala, Sakita, Mamuya, Tolo, Cawa, Sopi, Mira dan Cawo). Sangaji yang di tunjuk untuk distrik-distrik Moro ini tidak memiliki otoritas terhadap Tobelo, Galela dan Tobaru.

Negeri Moro memiliki hubungan dalam hal pemberian upeti (tributary relationship) dengan Ternate. Mereka menyediakan persediaan makanan bagi Ternate, dan juga bagi Jailolo dan Tidore dalam jumlah yang lebih kecil. Pada tahun 1536 dilaporkan bahwa “...raja-raja Maluku memiliki sebuah negeri yang dibagi-bagi di antara mereka...raja-raja itu tidak memiliki persediaan atau hasil alam untuk menopang kerajaan mereka kecuali yang mereka datangkan dari Moro dimana ada banyak beras dan sagu, daging dan ayam... orang-orang Moro adalah hamba (escravos) dari raja-raja ini”. Dalam pembagian wilayah Moro, Ternate mendapatan bagian terbesar. Tampaknya orang Moro juga berpartisipasi dalam ekspedisi militer Ternate. Sekitar 5000 sampai 6000 penduduk Moro di Mamuya dan Tolo dikabarkan mengambil bagian dalam pasukan Ternate yang membantu Gubernur Portugis Tristao de Ataide untuk menaklukkan Jailolo dan mengalahkan pasukan Spanyol pada tahun 1533.

Portugis kemudian membangun pertahanan yang kuat di Mamuya. Hal ini kemudian memulai gangguan bagi “tributary relationship” antara Moro dan Ternate, karena setelah itu para penduduk Moro “menolak untuk memberikan suplai makanan” bagi Ternate.

Tahun 1536 Katarabumi, penguasa Jailolo, didukung oleh persekutuan dengan Tidore dan Bacan mengusir Portugis dari Moro dan menaklukkan negeri Moro. Para prajurit Tobaru dari lembah sungai Ibu mengambil bagian aktif. Sumber-sumber Portugis mengungkapkan mereka (orang Tobaru) sangat ditakuti karena kemampuan untuk bergerak di dalam hutan tanpa terlihat dan menyerang dengan tiba-tiba. “mereka dikabarkan bisa menghilang (turn themselves invisible)”. Pada tahun berikutnya, pasukan Portugis berhasil merebut kembali negeri Moro (kecuali Sugala). Tapi pada tahun berikutnya, penduduk Moro di  Tolo dan Mamuya menderita terutama oleh serangan Tobaru, dan penduduk Moro di Morotai karena serangan Jailolo.

Sekitar dekade 1540-an, Jailolo telah menaklukkan pemukiman Moro di Tolo, sebuah pemukiman yang digambarkan oleh Rebelo sebagai “yang terbesar, yang paling banyak penduduknya, dan terkuat dari antara seluruh pemukiman di kepulauan Moro”. Pada 1549 Sultan Hairun dari Ternate bertolak untuk merebut kembali Moro dengan bantuan Portugis. Sementara melakukan pengepungan, gunung di dekat Tolo meletus. Tolo kembali direbut dan para tentara pendudukan dari Jailolo dikejar ke pegunungan.

Para pemimpin Gamkonora (terletak di pantai barat jazirah utara Halmahera) dan Sultan Ternate terus mengancam keberadaan negeri Moro. Pada tahun 1570, Pune di dekat Mamuya dan pemukiman lainnya diserang dan dihancurkan oleh Sultan Babullah dari Ternate. Pada dekade-dekade selanjutnya populasi orang Moro semakin berkurang karena serangan yang berkelanjutan.

Pada tahun 1606, ketika Belanda telah mengusir Portugis dari Tidore,sebuah armada Spanyol mendekati Ternate yang disambut dengan tembakan dari sebuah kapal Belanda.Dengan bantuan Tidore, Spanyol merebut Ternate.
Segera setelah pimpinan Spanyol membuang Sultan Ternate ke Filipina, Tidore memperoleh kesempatan untuk sekali lagi menjarahi negeri Moro.Penduduk Moro masih juga diserang dari pedalaman. Di Tolo,misalnya, penduduk Samafo dan Cawa mengungsi untuk menyelamatkan diri dari serangan orang-orang Tobelo dan Galela yang bermukim 8  mil di pedalaman. Hal ini memaksa Spanyol untuk menempatkan pasukan untuk melindungi “penduduk yang bersahabat dari serangan orang Tobelo dan Galela”. Mereka kemudian ditarik kembali untuk mempertahankan Tidore dari serangan pasukan gabungan Belanda dan Ternate. Seorang misionaris bernama Simi membujuk penduduk Tolo untuk mengungsi ke Morotai tetapi mereka memilih berangkat ke Bicoli. Sementara berkemah di pantai Bicoli,mereka ditangkap oleh pasukan Ternate. Tolo dimusnahkan sama sekali. Tahun 1617 dikabarkan tempat tersebut diliputi hutan dan tidak menunjukkan tanda-tanda pernah dihuni.

Ketakutan menghadapi nasib yang sama, penduduk Moro di pulau Morotai bersekutu dengan Ternate tapi tidak ada faedahnya. Sesudah pasukan Spanyol ditarik, di bawah pimpinan Sultan Modafar dari Ternate (berkuasa dari 1610-1627), penduduk Cawo,Sopi, Mira dan Sakita dipindahkan ke Dodinga dan Jailolo. Di bawah pengganti Modafar, sisa 800 orang Moro dijadikan budak di Ternate. Sebelumnya, sebagian penduduk yang dipindahkan ke Tidore “dimana putra mahkota Tidore telah melakukan serangan besar-besaran ...dan memperoleh banyak tawanan, laki-laki, perempuan dan anak-anak, dan menjadikan mereka budak Tidore.

Kemudian tak ada lagi catatan sejarah tentang Moro.

DIKUTIP DARI : TOBELO, MORO, TERNATE: THE COSMOLOGICAL VALORIZATION OF HISTORICAL EVENTS
J.D.M.  PLATENKAMP

 http://www.facebook.com/notes/adrian-noel/orang-moro/10151000697584502