Kamis, 03 Desember 2009

KEPASTIAN HUKUM HAK ATAS TANAH


KEPASTIAN HUKUM HAK ATAS TANAH
  Oleh : Hikmatul Ula, SH *


Kepatian Subyek Hak Atas Tanah
Pada dasarnya setiap hak atas tanah adalah dikuasai oleh Negara, dan negara dapat menentukan jenis dan mendistribusikan hak-hak tersebut kepada masyarakat. Dalam Pasal 4 ayat 1 Undang Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) disebutkan bahwa “Atas dasar hak menguasai dari negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan hukum.”
Dari uraian pasal tersebut di atas dapat diketahui bahwa terdapat beberapa subyek hukum yang dapat memiliki hak atas tanah, yaitu: orang-orang secara individu; bersama-sama dengan orang lain; dan badan hukum. Untuk mengetahui kepatioan hak dari masing subyek hak atas tanah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
  1. Orang-orang secara Individu.
Orang, manusia (individu) dapat disebut sebagai Natuurlijk Persoon yaitu subyek hukum secara alami, karena secara alamiah hanya manusia yang dapat menjadi subyek hukum dan melakukan suatu tindakan atau hubungan hukum. Hak atas tanah dapat diberikan kepada manusia secara individu, perorangan, masing-masing atas suatu hak atas tanah tertentu. Sehingga dalam tanda bukti atas tanah tersebut dapat disebutkan nama tiap-tiap individu yang memiliki hak tas tanah, misalnya Sertifikat Hak Milik Atas Tanah No 56 Atas Nama Tuan BUDI. Ini berarti negara telah memberi hak kepada tuan Budi (secara personal) untuk menguasai tanah tersebut, sebagai sebuah subyek hukum. Jadi, kepastian hukum bagi Tuan BUDI sebagai subyek hak atas tanah dapat dilihat dari adanya sertifikat –sebagai tanda bukti hak atas tanah- yang dimiliki oleh Tuan Budi secara personal.
Dalam Hukum Agraria (UUPA), khususnya yang berkaitan dengan hak atas tanah, tidak semua individu dapat memiliki hak atas tanah, dengan kata lain hanya orang-orang yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu yang dapat mempunyai hak atas tanah. Misalnya, dalam Hak Milik, hanya warga negara Indonesia yang dapat memiliki hak milik atas tanah, sedangkan bagi warga negara asing hanya dapat memiliki hak pakai atas tanah.  
  1. Orang-orang secara bersama-sama dengan orang lain
Hak atas tanah juga dapat diberikan kepada orang-orang secara bersama-sama, artinya sekelompok orang secara bersama-sama dapat memiliki hak atas tanah. Dalam UUPA hal ini dikenal dengan tanah ulayat. Dalam ketentuan Pasal 3 UUPA disebuitkan bahwa masyarakat hukum adat diakui oleh negara sepanjang dalam kenyataannya masih ada dan tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku dalam masyarakat kesatuan Negara Republik Indonesia.
Masyarakat adat tersebut memiliki wilayah hukum adat yang terdiri atas tanah yang dikelola dan dipergunakan secara bersama-sama dan pengurusannya pula diserahkan kepada masyarakat adat tersebut, yakni tanah ulayat. Hak atas tanah ulayat ini diberikan oleh negara kepada masyarakat hukum adat, dan penggunaannya dimaksudkan untuk kepentingan bersama, dimiliki atas nama bersama bukan untuk kepentingan atau atas nama individu. Misalnya Surat Tanda Bukti Hak Atas Tanah Ulayat No 11 atas Nama Masyarakat Hukum Adat Asmat, hal ini berarti hak atas tanah tersebut dimiliki atau dukuasi oleh sekelompok orang yang tergabung dalam masyarakat hukum adat Asmat.
  1. Badan Hukum
Selain dapat diberikan kepada orang perorangan dan bersama-sama dengan orang lain, hak atas tanah juga dapat diberikan kepada badan hukum. Badan hukum dapat disebut juga Recht Persoon, yaitu subyek hukum yang memiliki hak karena hukum yang menentukan dia sebagai subyek hukum. Terhadap badan hukum tersebut dapat juga mempunyai hak atas tanah, dengan syarat-syarat tertentu sesuai dengan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Misalnya: Untuk badan hukum, hanya badan-badan hukum tertentu saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, yaitu Basan Hukum yang bergerak dibidang sosial, keagamaan dan koperasi pertanian. Sedangkan untuk Badan Hukum komersial lainnya tidak dapat mempunyai hak milik atas tanah, tetapi dapat mempunyai Hak Guna Bangunan Hak Guna Usaha, dan sebagainya.
Kepastian Obyek Hak Atas Tanah
Obyek hak atas tanah adalah mengenai obyek hak (tanah) tertentu yang dapat dipunyai hak oleh subyek hukum. Obyek hak atas tanah tersebut dapat berasal dari tanah negara maupun tanah-tanah yang telah dimiliki hak sebelumnya. Obyek hak atas tanah tersebut juga berkaitan berkaitan dengan jenis-jenis hak atas tanah yang ditentukan dalam UUPA yaitu dalam Pasal 16. Dalam Pasal tersebut dijelaskan macam-macam hak atas tanah antara lain: Hak Milik; Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak membuka Tanah, Hak memungut Hasil Hutan, Hak-hak atas tanah yang akan ditentukan kemudian, dan Hak hak atas tanah yang bersifat sementara.
Untuk menjamin kepastian hukum, maka obyek hak atas tanah yang dipunyai oleh suatu subyek hak harus dituliskan atau dicatatkan secara jelas dan rinci mengenai jenis hak, batas wilayah dan jangka waktu (bila ada). Obyek tersebut digambarkan dalam peta situasi dan diukur oleh pejabat yang berwenang dan hasilnya akan dicatatkan dalam sertifikat sebagai bukti hak atas tanah.
Kesalahan dalam menentukan obyek hak atas tanah ini sering menjadi masalah krusial dalam masyarakat. Misalnya adanya tumpang tindih sertifikat terhadap tanah yang letaknya berbatasan.
Contoh Kasus:
Tuan Sujono memiliki sebidang tanah pekarangan seluas 500 meter persegi, dibuktikan dengan sertifikat Hak Milik Nomor 165 tahun 1995 yang terletak di Desa Sumberejo Kecamatan Kedungjajang Kabupaten Lumajang. Setahun setelahnya, yaitu pada bulan Maret Tahun 1996 Tuan Sujono menjual tanah tersebut kepada Tuan Misnadi. Pada waktu akan dilakukan balik nama, timbul permasalahan bahwa ternyata luas tanah yang dijual Tuan Sujono kurang dari 500 meter persegi, tepatnya 495. ketika dilakukan pengukuran ulang, 5 meter tersebut adalah tanah milik Tuan Sunarto yang berbatasan dengan tanah milik Tuan Sujono. Dari sinilah kemudian timbul sengketa bahwa Tuan Sujono bersikeras bahwa tanah miliknya adalah seluas 500 meter persegi, bukan 495 (sesuai yang tertera dalam sertifikat). Sedangkan tuan Sunarto-pun memiliki tanda bukti hak berupa sertifikat, dan disertifikat itu juga terdapat durat ukur yang menerangkan bahwa tanah tersebut termasuk dalam peta hak milik atas Tuan Sujono.
Jika terjadi kasus seperti ini, maka harus dilakukan pengecekan ulang antar serifikat baik yang dimiliki Tuan Sujono maupun Tuan Sunarto. Untuk melakukan pengukuran ulang tersebut, juga diperlukan tanda bukti hak yang lama (bukti-bukti sebelumnya) yang terdapat dalam buku kerawangan desa, maupun peta satelit ada di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Kasus seperti ini sering terjadi dalam masyarakat, beberapa hal yang menjadi penyebab adalah karena kesalahan manusia (human error) seperti kurang cermatnya petugas ukur atau petugas yang menggambar batas, dan bisa juga karena faktor alam, seperti perceseran lem[eng bumi dan adnaya bencana alam yang dapat merubah struktur tanah.
Dari kasus tersebut di atas dapat dilihat, bahwa kepastian akan obyek hak adalah masalah yang sangat urgen karena rentan menimbulkan sengketa. Kecermatan dan kehati-hatian dari pejabat ukur dan panitia pendaftaran tanah dalam menentukan obyek (tanah tertentu) dengan batas-batasnya menjadi faktor utama adanya jaminan kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah.

Eksistensi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPATS) dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus (PPAT Khusus)
Adanya lembaga PPAT merupakan sebuah amanah dari adanya UUPA khususny Pasal 19 tentang pendaftaran tanah, dan selanjutnya dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PPPT). Dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2) PPPT disebutkan bahwa Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT atau pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut peraturan pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Lebih lanjut tentang PPAT diatur tersendiri dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pengertian PPAT dalam peraturan tersebut adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.
Tugas pokok PPAT adalah melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai alat bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Perbuatan hukum yang dimaksud antara lain: Jual beli; tukar menukar; hibah; pemasukan kedalam perusahaan (inbreng); pembagian hak bersama; pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah hak milik; pemberian hak tanggungan; dan pemberian kuasa membebankan hak tanggungan.
Dari ketentuan tersebut dapat dilihat bahwa PPAT memiliki tugas yang sangat penting dalam pendaftaran tanah khususnya berkaitan dengan akta-akta. Sehingga seseorang yang menjadi PPAT memiliki kualifikasi tertentu yang ditentukan oleh undang-undang yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang akan menjadi PPAT. Eksistensi PPAT dalam masyarakat juga dapat dijadikan barometer pendaftaran tanah, dengan kata lain semakin banyaknya masyarakat yang mengenal atau menggunakan PPAT, maka semakin mudah pula proses pendaftaran tanah.
Selain adanya PPAT, dalam PP Nomo 37 Tahun 1998 juga dikenal adanya PPAT Sementara dan PPAT Khusus. PPATS yaitu pejabat pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT, PPATS ini biasanya dijabat oleh Camat setempat. Seangkan PPAT khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas pemerintah tertentu.
Jika dilihat sekilas PPAT, PPATS maupun PPAT khusus memiliki tugas dan wewenang yang sama, namun jika diperhatikan antara ketiganya memiliki perbedaan yang signifikan yaitu: PPAT (yang memenuhi kualifikasi dalam PP), memiliki kewenangan yang luas -sepanjang mengenai akta tanah- dan tidak dibatasi waktu tertentu. Artinya PPAT dapat menjalankan kewenangannya karena memang PP menghendaki profesi tersebut untuk dijalankan seseorang hingga batas pensiun.
Sedangkan PPATS hanya menjabat sebagai PPAT sementara waktu saja selama di daerah tersebut masih belum cukup terdia PPAT, seperti di daerah-daerah terpencil. Dengan demikian jika di daerah tersebut sudah terdapat cukup PPAT yang memberikan pelayanan kepada masyarakat maka PPATS (camat) tidak dibutuhkan lagi, dan masyarakat dapat menggunakan jasa PPAT. Begitu juga dengan PPAT khusus, PPAT ini hanya bertugas secara insidental, hanya diperlukan pada kondisikondisi khusus dan berdaasarkan program pemerintah, tujuannya adalah untuk mempermudah programn pendaftaran tanah yang dilakukan pemerintah.
Pada kenyataannya, saat ini masyarakat lebih mengenal PPATS dibanding dengan PPAT profesi. Meskipun di daerah tersebut telah tersedia jasa PPAT profesi, masyarakat cenderung lebih memilih PPATS dalam pembuatan surat atau akta-akta yang berkaitan dengan tanah. Hal ini disebabkan karena kultur nmasyarakat pedesaan lebih dekat dengan sosok Camat dari pada PPAT profesi atau sekaligus notaris, mereka juga beranggapan bahwa biaya yang dikeluarkan akan lebih mahal jika menggunakan jasa PPAT Notaris. Padahal jika ditelaah lebih lanjut PPAT Notaris dapat memberikan penjelasan atau pelayanan hukum yang lebih baik dibandingkan dengan PPATS karena memang mereka telah menempuh pendidikan lebih dan memiliki kualifikasi tertentu yang tidak diliki oleh PPATS maupun PPAT khusus.
Oleh sebab itu perlu adanya sosialisasi atau pemerataan penempatan PPAT untuk daerah-daerah terpencil agar masyarakat mendapatkan pelayanan dalam bidang pertanahan secara optimal. Dan untuk daerah-daerah yang sudah terdapat cukup pelayanan PPAT profesi, maka sudah selayaknya PPATS yang dijabat oleh Camat ditiadakan agar tidak terjadi kebingungan dalam masyarakat.

* Mahasiswi Magister Kenotariatan UB Malang.





Kamis, 05 November 2009

Analisis UU No.30 tahun 2004 tentang jabatan Notaris menurut teori Budenheimer

Analisis UU No.30 tahun 2004 tentang jabatan Notaris menurut teori Budenheimer

Sesuai dengan keputusan etis yang dituangkan dalam kata menimbang, yaitu :
• Bahwa Negara Republik Indonesia Negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum, yang berintikan kebenaran dan keadilan.
• bahwa untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat autentik mengenai keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum yang diselenggarakan melalui jabatan tertentu.
• bahwa notaris merupakan jabatan tertentu yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat, perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum.
• bahwa jasa notaris dalam proses pembangunan makin meningkat sebagai salah satu kebutuhan hukum masyarakat.
• bahwa reglement op het notaris ambt in indonesie (stb. 1860 : 3) yang mengatur mengenai jabatan notaris tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat.
sesuai dengan keputusan etis itu lah maka di bentuk UU tentang Jabatan Notaris dan bukan merupakan suatu tekanan tapi merupakan suatu kebutuhan dalam menjalankan fungsi hukum seperti halnya lembaga-lembaga penegak hukum yang lain yang di butuhkan dalam menjalankan hukum di Indonesia (sesuai dengan sistem hukum di Indonesia). Akan tetapi Notaris dibentuk lebih karena hanya untuk melengkapi sebab notaris menjalankan UU yang mengenai atau hal-hal menyangkut alat bukti yang bersifat autentik. namun dalam perkembangannya notaris tidak lagi di anggap sebagai pelengkap tetapi sejajar lembaga-lembaga yang lain. Sesuai dengan keputusan etis kebutuhan tersebutlah maka di tuang dalam pasal-pasal dalam UU tentang Jabatan Notaris untuk menjalankan fungsinya, keputusan itupun di tuangkan dalam etika profesi notaris.
UU tentang Jabatan Notaris merupakan perintah untuk para notaris dalam menjalankan fungsinya dan harus dipatuhi, serta hubungan yang timbul secara vertikal adalah antara notaris lembaga legislatif yaitu dalam hal pembuatan UU ini, dengan lembaga eksekutif, yaitu dalam hal pengangkatan dan pemberhentian yang dilakukan oleh presiden yang diwakili oleh menteri, dengan lembaga yudikatif yaitu dalam hal pembuktian suatu akta yang dibuat oleh notaris, dengan lembaga kepolisian juga dalam hal pembuktian suatu akta, dengan lembaga interent notaris yaitu dengan Majelis pengawas yang bersifat mengawasi notaris dalam menjalankan tugas dan fungsinya seperti yang diatur dalam UU Jabatan Notaris dan juga bisa merekomendasikan ke menteri jika notaris melakukan kesalahan untuk di berhentikan dari jabatannya, dengan organisasi notaris dalam hal berkumpul dan menegakkan kode etik notaris. Hubungan yang timbul bersifat horizontal yaitu dengan masyarakat dalam hal kebutuhan akan hukum, membuat akta, memberikan penyuluhan hukum yang berkaitan dengan hal-hal yang di butuhkan oleh pihak-pihak (masyarakat) dalam bidang perdata.
Terbentuknya UU tentang Jabatan Notaris ini tidak terlepas sistem hukum Indonesia yang menyaratkan atau membutuhkan notaris. UU tentang Jabatan Notaris sebagai produk hukum positif yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, yang sebelumnya merupakan produk hukum belanda(penjajah). UU tentang Jabatan Notaris merupakan produk hukum yang di buat untuk tertib tata hukum di Indonesia yang memang di syaratkan oleh UU yang lain dalam pelaksanaannya, misalnya KUHPerdata dan Agraria.
UU tentang Jabatan Notaris ini merupakan bahan pemikiran yang analitis dalam hal menjalankan tugas atau fungsinya yang mengatur tentang kewenangan, kewajiban dan larangan yang semuanya itu mempunyai akibat hukum bagi para notaris maupun para pihak(masyarakat) dan dalam hal pemikiran non analitis notaris juga tidak terlepas dari UU yang lain, yang mengatur tentang tugas atau fungsi atau kewenangan notaris dalam membuat akta autentik.

Selasa, 27 Oktober 2009

Kedudukan Perjanjian Pengikatan jual Beli dalam Perspektif Hukum Kontrak

Kedudukan Perjanjian Pengikatan jual Beli dalam Perspektif Hukum Kontrak

Berdasarkan teori lahirnya perjanjian, maka jual beli termasuk perjanjian yang bersifat konsensuil atau mengenal Asas Konsensualisme (Pasal 1320 ayat (1) KUHPer), dimana perjanjian lahir saat kedua belah pihak sepakat mengenai barang dan harga, walaupun pada saat itu barang belum diserahkan dan harga belum dibayarkan (1458 KUHperdata). Unsur esensial dari perjanjian jual beli adalah barang dan harga. Harga haruslah diartikan sebagai sejumlah uang yang digunakan (diakui) sebagai alat pembayaran yang sah sebab apabila tidak demikian, maka tidak ada perjanjian jual beli melainkan yang ada adalah perjanjian tukar menukar. Sedangkan barang yang menjadi obyek perjanjian jual beli adalah haruslah barang yang berada dalam lalu lintas perdagangan sebagaimana diatur dalam pasal 1332 KUHPerdata. Berdasarkan BW barang yang menjadi obyek perjanjian dapat diklasifikasikan menjadi barang yang sudah ada dan barang yang akan ada (relative dan absolut).

Jual beli diatur dalam buku III KUHPerdata, bab ke lima tentang “jual beli”. Dalam pasal 1457 KUHPerdata dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu (penjual) mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain (pembeli) untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikemukankan lebih lanjut bahwa perjanjian jual beli merupakan perjanjian timbal balik sempurna, dimana kewajiban penjual merupakan hak dari pembeli dan sebaliknya kewajiban pembeli merupakan hak dari penjual. Dalam hal ini, penjual berkewajiban untuk menyerahkan suatu kebendaan serta berhak untuk menerima pembanyaran, sedang pembeli berkewajiban untuk melakukan pembayaran dan berhak untuk menerima suatu kebendaan. Apabila hal tersebut tidak dipenuhi, maka tidak akan terjadi perikatan jual beli. KUHPerd mengenal tiga macam barang sebagai obyek Jual-Beli yaitu : barang bergerak, barang tidak bergerak (barang tetap), dan barang tidak berwujud seperti piutang, penagihan, atau claim.

Perjanjian jual beli saja tidak lantas menyebabkan beralihnya hak milik atas barang dari tangan penjual ke tangan pembeli sebelum dilakukan penyerahan (levering). Pada hakekatnya perjanjian jual beli itu dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap kesepakatan kedua belah pihak mengenai barang dan harga yang ditandai dengan kata sepakat (Jual beli) dan yang kedua, tahap penyerahan (levering) benda yang menjadi obyek perjanjian, dengan tujuan untuk mengalihkan hak milik dari benda tersebut.

Kesepakatan para pihak dalam perjanjian jual beli sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata melahirkan dua macam perjanjian, yaitu perjanjian obligatoir (perjanjian yang menimbulkan perikatan) dan perjanjian kebendaan (perjanjian untuk mengadakan, mengubah dan menghapuskan hak-hak kebendaan). Akibat pembedaan perjanjian tersebut, maka dalam perjanjian jual beli harus disertai dengan perjanjian penyerahan (levering), yaitu sebenarnya merupakan perjanjian untuk melaksanakan perjanjian jual beli

Pasal 1253 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perikatan adalah bersyarat, apabila digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan perikatan sehingga terjadinya peristiwa tersebut (syarat tangguh, Pasal 1263-1264 dan 1463 KUHPerdata) maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadinya atau tidaknya peristiwa itu (syarat batal, Pasal 1265-1266 KUHPerdata). Menurut hartono berdasarkan ketentuan pasal 1253 KUHPerdata tersebut, maka dapat diketahui bahwa ukuran dari pelaksanaan perikatan adalah adanya syarat terjadinya atau tidak terjadinya suatu peristiwa yang belum tentu akan terjadi. Apabila peristiwa itu merupakan peristiwa yang pasti akan terjadi, maka perikatan tersebut merupakan perikatan bersyarat dengan ketepatan waktu (syarat Positif, Pasal 1258 KUHPerdata).

Jadi Perjanjian Pengikatan jual Beli merupakan perikatan bersyarat seperti yang yang telah dijelaskan sebelumnya dan bukan perjanjian Pendahuluan karena dalam perjanjian Pendahuluan sifatnya seperti MOU dan belum masuk dalam perjanjian pokok serta dalam perjanjian Pendahuluan belum ada kata sepakat. sedangkan dalam perjanjian jual-beli mengenal asas Konsensualisme arti bahwa perjanjian cukup dengan kata sepakat saja sudah lahir atau dilahirkan suatu perikatan. Pada detik tersebut perjanjian sudah mengikat, dan bukannya pada detik-detik lain yang terkemudian atau sebelumnya.

Selasa, 24 Februari 2009

perbedaan Analytical Jurisprudence dan Sociological Jurisprudence

  1. Jelaskan perbedaan Analytical Jurisprudence dan Sociological Jurisprudence?


Analytical Jurisprudence

Sociological Jurisprudence

1.


Penjelasan :

Kemunculan teori hukum sejalan dengan pertumbuhan disiplin hukum pada paruh kedua Abad ke-19 setelah mendapat pengaruh pemikiran John Austin (1790–1859) dan Hans Kelsen. Sejak saat itu, disiplin hukum telah diperkaya dengan kajian-kajian teoretis yang disebut analytical jurisprudence. Ia memperkenalkan analisis konsep-konsep kunci hukum seperti hak, kewajiban, keabsahan, subjek hukum, status, tindak pidana, dan sumber hukum, dengan meninggalkan pendekatan yang biasa dilakukan seperti sosiologi dan sejarah. Analisis Austin dikenal sebagai pendekatan analitis (analytical approach), yakni menganalisi struktur formal hukum beserta konsep-konsepnya. Ajaran inilah yang kemudian pada tahun 1970 mengemuka kembali sebagai suatu bidang disiplin hukum baru, yang disebut teori hukum sebagai terjemahan dari istilah “jurisprudence” atau “Rechtstheorie.” Dalam hubungan hukum dan logika dibahas tentang argumentasi yuridis, penerapan logika deontik (logika yang bertalian dengan keniscayaan atau kewajiban), serta hubungan antara hukum dan bahasa.

Teori Analytical Jurisprudence dikenal juga dengan Positivisme Hukum yang bersifat formalistik artinya Hukum dan moral merupakan dua bidang terpisah dan harus dipisahkan. Menurut Salmond, Analytical Jurisprudence, yaitu : analisis dari prinsip-prinsip utama hukum tanpa memperhatikan aspek historis maupun aspek etisnya.

Analytical jurisprudence disebut juga Ilmu Hukum Dogmatik yang hanya melihat ke dalam hukum dan menyibukkan diri dengan membicarakan dan melakukan analisis ke dalam, khususnya hukum sebagai suatu bangunan peraturan yang dinilai sebagai sistematis dan logis. Jadi, kegunaan dari Ilmu Hukum Dogmatis ini tidak lebih hanya menelaah bangunan logis-rasional dari deretan pasal-pasal peraturan. Oleh karenanya, yang dalam praktik sangat bertumpu pada dimensi bentuk formal dan prosedural dalam berolah hukum untuk mencapai (aksiologi) kepastian. Yang benar dan adil adalah peraturan hukum itu sendiri. Ilmu hukum lebih dikenal dengan dogmatik hukum atau ilmu hukum dogmatik. Mengapa ilmu hukum disebut sebagai dogmatik hukum ialah oleh karena ilmu hukum mempelajari hukum positif, sedang hukum positif dianggap sebagai dogma, dianggap sebagai sesuatu yang tidak boleh dibuktikan lebih lanjut, tidak boleh diganggu-gugat. Bukan berarti bahwa hukum positif itu sama sekali tidak boleh diubah, akan tetapi kalau mau mengubah memerlukan prosedur dan makan biaya. Kecuali itu kata “dogmatis” digunakan untuk menunjukkan metode tertentu, yaitu metode sintetis.

Bruggink dalam bukunya yang telah diterjemahkan oleh Sidharta mengatakan bahwa Ilmu hukum dogmatis mencirikan penalaran hukum sebagai kegiatan berpikir monodisipliner, yaitu kajian norma-norma positif dalam sistem undangan. Kajian ini menghasilkan pola penalaran yang doktrinal-deduktif (closed logical system), tujuan penalaran hukum terhadap pencapaian nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan bukanlah tujuan yang difokuskan oleh ilmu hukum dogmatis (melainkan antara lain oleh filsafat hukum dan sosiologi hukum). Ia juga mengatakan, Penstudi hukum yang berposisi sebagai pengamat adalah mereka yang bukan berangkat dari disiplin hukum, sekaligus juga tidak menjadikan sistem hukum (suatu negara) sebagai dasar studi mereka. Mereka ini antara lain adalah para sejarahwan hukum, sosiolog hukum, antropolog hukum, psikolog hukum, dan ahli politik hukum. Sebaliknya, para penstudi yang berangkat dari disiplin hukum dan menjadikan system hukum sebagai dasar studi mereka adalah para pengemban hukum, baik yang teoretis maupun praktis. Dasar pembedaan keduanya terletak pada pandangan mereka terhadap sistem (norma) hukum positif. Sementara itu, pada posisi antara terletak para penstudi hukum yang menggunakan model penalaran Sociological Jurisprudence. Mereka berstatus partisipan sekaligus pengamat.


Aliran sosiologis dalam ilmu hukum berasal dari pemikiran orang Amerika bernama Roscoe Pound, dalam bahasa asalnya disebut the Sociological Jurisprudence adalah suatu aliran pemikiran dalam jurisprudence yang berkembang di Amerika Serikat sejak tahun 1930-an. Aliran dalam ilmu hukum tersebut disebut sociological karena dikembangkan dari pemikiran dasar seorang hakim bernama Oliver Wendel Holmes, perintis pemikiran realisme dalam ilmu hukum yang mengatakan bahwa sekalipun hukum itu memang benar merupakan sesuatu yang dihasilkan lewat proses-proses yang dapat dipertanggungjawabkan menurut imperative-imperatif logika, namun the life of law has not been logic, it is experience. Yang dimaksud dengan experience oleh Holmes adalah the sosial atau mungkin the socio psychological experience. Oleh karena itu dalam sociological jurisprudence, walaupun fokus kajian tetap pada persoalan kaidah positive berikut doktrin-doktrinnya yang logis untuk mengembangkan sistem normative hukum berikut prosedur-prosedur aplikasinya guna kepentingan praktik professional, namun faktor-faktor sosiologis secara realistis (walaupun tidak selalu harus secara normative-positif) senantiasa ikut diperhatikan dalam setiap kajian.

Sociological jurisprudence menurut Lily Rasjidi, yaitu :

  1. sociological jurisprudence adalah nama aliran dalam filsafat hukum, sedangkan sosiologi hukum adalah cabang dari sosiologi.

  2. sociological jurisprudence menggunakan pendekatan hukum ke masyarakat.

  3. sociological jurisprudence (yang dikemukakan oleh Pound) menitikberatkan pada hukum dan memandang masyarakat dalam hubungannya dengan hukum.


Menurut aliran sociological jurisprudence, hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat. aliran ini memisahkan secara tegas antara positivisme hukum (analytical jurisprudence). Menurut Eugen Ehrlich pusat gaya tarik perkembangan hukum tidak terletak pada perundang-undangan, tidak pada ilmu hukum, tetapi di dalam masyarakat sendiri. Ajaran berpokok pada pembedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup, atau dengan kata lain pembedaan antara kaidah-kaidah hukum dgn kaidah-kaidah sosial lainnya. Roscoe Pound juga mengatakan, hukum dapat berfungsi sebagai alat merekayasa masyarakat (law as a tool of social engineering).

Ilmu Hukum Non-dogmatik atau bisa juga disebut sociological jurisprudence tidak berhenti kepada menyibukkan diri dengan bangunan logis-rasional dari sebuah peraturan. Tujuan (aksiologi) yang ingin dicapai oleh Ilmu Hukum Non-Dogmatik adalah untuk mencari dan mencapai kebenaran hukum sebagai institusi kemanusian dan kemasyarakatan. Kebenaran hukum yang demikian itu jelas tidak dapat diperoleh jika hanya bertumpu pada peraturan hukum semata-mata. Bukankah hukum dihadirkan untuk manusia? Gagasan yang demikian ini jelas berbeda dari aliran hukum positif yang menggunakan sarana analytical jurisprudence yang bertolak dari premis peraturan dan logika.



  1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Keadilan menurut Hans Kelsen, Lon L. Fuller, Anthony D’amato dan H.L.A Hart?


  1. Keadilan menurut Hans Kelsen, yaitu : tidak ada kriteria yang obyektif tentang keadilan karena pernyataan benar atau tidak benar merupakan judgement atas nilai berdasarkan tujuan akhir dan syarat akan subyektifitas dari kepribadian. Kelsen dalam teori tidak dapat menjawab elemen esensial keadilan yang dapat dijawab hanyalah bahwa tata aturan tersebut mengatur perilaku manusia yang berlaku bagi semua orang dan semua orang menemukan kegembiraan didalamnya. maka keadilan sosial adalah kebahagiaan sosial. Jika keadilan dimaknai sebagai kebahagiaan sosial, maka kebahagiaan sosial tersebut akan tercapai jika kebutuhan individu sosial terpenuhi.


  1. Keadilan menurut Lon L. Fuller adalah keadilan harus menekankan pada isi hokum positif oleh karena harus dipenuhinya persyaratan moral tertentu antara lain :

  1. Harus ada aturan-aturan sebagai pedoman dalam pembuatan keputusan dan persyaratan bersifat keumuman serta aturan-aturan tidak boleh dirahasiakan tapi harus diumumkan.

  2. Aturan-aturan harus dibuat untuk menjadi pedoman bagi kegiatan-kegiatan dikemudian hari dan tidak berlaku surut.

  3. Hukum dibuat sedemikian rupa dan dapat dimengerti oleh rakyat serta aturan-aturan hokum tidak boleh bertentangan dengan aturan hokum yang lainnya.

  4. Hokum tidak boleh memerintahkan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan dan dalam hokum harus ada ketegasan serta harus konsisten antara aturan-aturan dengan pelaksanaannya.

Dengan demikian, keadilan didasarkan atas gagasan-gagasan tentang yang baik dan buruk serta didasarkan pula atas kekuasaan yang lebih tinggi.



  1. Keadilan menurut Anthony D’amato adalah lebih mudah menemukan ketidakadilan dari pada mengatakan apa itu keadilan. Anthony D’amato menyampaikan bahwa pengalaman hidup hidup, sejarah hidup, pelajaran yang diambil oleh seseorang terhadap segala perisitiwa dan sesuatu hal disekitarnya merupakan hal yang sangat penting dan mempengaruhi tingkat penilaian seseorang terhadap keadilan. Sebegitu pentingnya hal ini, Anthony mengemukakan bahwa “ kalau kamu bertanya kepadaku tetang makna keadilan, maka hanya ada satu cara , saya akan menyarankan kepada kamu untuk menghidupkan/menjalankan video recorder pikiran saya, saya tidak dapat menjelaskan keadilan dengan kata-kata karena saya tidak mempelajarinya dengan kata-kata. Dari ungkapan ini, bisa disimpulkan bahwa mempelajari keadilan tidak dapat dengan kata-kata maupun sebuah definisi. Keadilan hanya bisa dipelajari dari pengalaman yang kita peroleh selama kita berproses dalam hidup. Proses hidup kita membentuk perasaan kita dalam memberikan makna keadilan. Dengan proses hidup yang kita jalani tersebut kita bisa merasakan. Ini berbeda jika kita mempelajari keadilan hanya sebatas pada definisi dan kata saja.


  1. Keadilan menurut H.L.A Hart, dalam bukunya General Theory of Law and State, 1965, sebenarnya adalah harus meliputi tiga unsur nilai, yakni kewajiban, moral dan aturan. Karena itu hukum tidak dapat dipisahkan dari dimensi moral dan aturan. (Jeffrie Murphy dan Jules Coelman, The Philosophy of Law, 1984). Prinsip umum keadilan menurut Hart adalah individu-individu perlu saling menghormati posisi relative tertentu antara kesetaraan dan ketidaksetaraan. Karya HART memang lahir dari analisa kritis atas pemikiran filosof hukum positivis, seperti JOHN AUSTIN yang menguraikan hukum sebagai suatu perangkat penghukum yang didukung oleh suatu kekuasaan tertentu. Hart, pendukung positivisme hukum, menyatakan, penghormatan terhadap aturan-aturan hukum mencakup pula pengakuan terhadap berlakunya hukum yang mendahuluinya sebagai suatu hal yang sah. Hukum tertulis yang berlaku sebelumnya, meski tidak bermoral, tetap harus dinyatakan berlaku dan harus diikuti oleh pengadilan-pengadilan sesudahnya hingga ia dinyatakan tidak berlaku atau diganti dengan yang baru.


PERANAN POLRI DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA ABORSI DARI PRESPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dimasa sekarang ini hamil di luar nikah sering terjadi. Hal ini dikarenakan anak-anak muda jaman sekarang banyak yang menganut gaya hidup seks bebas. Pada awalnya para anak muda tersebut hanya berpacaran biasa, akan tetapi setelah cukup lama berpacaran mereka melakukan hubungan seksual. Ketika hubungan mereka membuahkan janin dalam kandungan, timbul masalah karena mereka belum menikah dan kebanyakan masih harus menyelesaikan sekolah atau kuliahnya. Ditambah adanya rasa takut ketahuan dan rasa malu apabila masalah kehamilan itu ketahuan oleh orang tua dan orang lain, maka ditempuh aborsi untuk menghilangkan janin yang tidak dikehendaki tersebut. Namun tidak jarang pula ada yang melakukan pernikahan secepatnya agar janin yang dikandung tersebut mempunyai ayah. Perkawinan ini dalam istilah anak muda dikenal dengan nama MBA (Married By Accident) atau nikah setelah hamil dahulu.1

Pengguguran kandungan juga sering dilakukan oleh para wanita yang menjadi korban perkosaan. Alasan yang sering diajukan oleh para wanita yang diperkosa itu adalah bahwa mengandung anak hasil perkosaan itu akan menambah derita batinnya karena melihat anak itu akan selalu mengingatkannya akan peristiwa buruk tersebut. Namun demikian tidak selamanya kejadian-kejadian pemicu seperti sudah terlalu banyak anak, kehamilan di luar nikah, dan korban perkosaan tersebut membuat seorang wanita memilih untuk menggugurkan kandungannya. Ada juga yang tetap mempertahankan kandungannya tersebut dengan alasan bahwa menggugurkan kandungan tersebut merupakan perbuatan dosa sehingga dia memilih untuk tetap mempertahankan kandungannya.

Apapun alasan yang diajukan untuk menggugurkan kandungan, jika hal itu bukan disebabkan alasan medis maka ibu dan orang yang membantu menggugurkan kandungannya akan dihukum pidana. Hal ini dikarenakan hukum positif di Indonesia melarang dilakukannya aborsi. Akan tetapi di lain pihak, jika kandungan itu tidak digugurkan akan menimbulkan masalah baru, yaitu apabila anak tersebut terlahir dari keluarga miskin maka ia tidak akan mendapat penghidupan yang layak, sedangkan apabila anak itu lahir tanpa ayah, ia akan dicemooh masyarakat sehingga seumur hidup menanggung malu. Hal ini dikarenakan dalam budaya timur Indonesia, tidak dapat menerima anak yang lahir di luar nikah. Alasan inilah yang kadang-kadang membuat perempuan yang hamil di luar nikah nekat menggugurkan kandungannya.

Berkaitan dengan pilihan menggugurkan atau mempertahankan kehamilan sekarang dikenal istilah yang disebut dengan prochoice dan prolife. Prochoice adalah pandangan yang menyatakan bahwa keputusan menggugurkan atau mempertahankan kandungan adalah hak mutlak dari ibu yang mengandung bayi tersebut. Pandangan ini berawal dari keinginan untuk mengurangi angka kematian ibu akibat aborsi, karena dengan melarang aborsi ternyata ibu yang akan aborsi menggunakan jasa-jasa aborsi yang tidak aman (unsafe abortion) sehingga banyak ibu yang meninggal ketika menjalani aborsi. Jika pandangan ini diterima oleh masyarakat dan kemudian ditetapkan dalam sistem hukum Indonesia, maka aborsi tidak akan dilarang lagi. Lebih lanjut pemerintah wajib untuk menyediakan fasilitas klinik aborsi yang akan melayani ibu-ibu yang rnelakukan aborsi. Klinik aborsi ini mempunyai tingkat keamanan yang tinggi, karena menggunakan standar prosedur aborsi yang aman (safe abortion). Adanya safe abortion akan mernbuat berkurangnya jumlah kematian ibu akibat aborsi.

Di lain pihak prolife adalah pandangan yang menentang adanya aborsi. Mereka berpandangan bahwa janin mempunyai hak hidup yang tidak boleh dirampas oleh siapapun, termasuk oleh ibu yang mengandungnya. Melakukan aborsi sama saja dengan melakukan pembunuhan, dan pembunuhan merupakan dosa yang sangat besar. Oleh karena itu para penganut paham prolife ini sangat menentang dilakukannya aborsi. Menurut mereka melegalisasi aborsi bertentangan dengan agama karena memang kelompok prolife ini kebanyakan berasal dari kaum agamawan tetapi banyak pula yang bukan agamawan tetapi memiliki pandangan prolife.

Di dalam sistem hukum Indonesia, perbuatan aborsi dilarang dilakukan. Bahkan perbuatan aborsi dikategorikan sebagai tindak pidana sehingga kepada pelaku dan orang yang membantu melakukannya dikenai hukuman. Akan tetapi walaupun sebagian besar rakyat Indonesia sudah mengetahui ketentuan tersebut, masih banyak juga perempuan yang melakukan aborsi. Hal ini dapat diketahui dari data-data yang diajukan oleh para peneliti tentang jumlah aborsi yang terjadi di Indonesia.

Penelitian yang dilakukan Population Council mengemukakan jumlah pengguguran kandungan (aborsi) di Indonesia pada tahun 1989 diperkirakan berkisar antara 750.000 dan 1.000.000. Ini berarti terjadi sekitar 18 aborsi per 100 kehamilan, bila diasumsikan ada sekitar 4,5 juta kelahiran hidup di Indonesia.2 Pada tahun 2000 Koran Kompas edisi 3 Maret 2000 mengungkapkan data bahwa pada tahun 2000 di Indonesia diperkirakan terjadi sekitar 2,3 juta aborsi.3 Jumlah ini meningkat tajam dibandingkan dengan data aborsi pada tahun 1989. Adanya peningkatan jumlah aborsi ini sangat memprihatinkan. Adapun penyebab aborsi yang semakin meningkat itu adalah pergaulan yang semakin bebas.

Sejalan dengan semakin meningkatnya jumlah aborsi, jumlah Angka Kematian Ibu (AKI) juga semakin meningkat. Hasil penelitian Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) mendapatkan hasil bahwa AKI di Indonesia mencapai 390 per 100.000 kelahiran tahun 2000. Berdasarkan hasil ini, maka AKI di Indonesia menduduki urutan teratas di Asia Tenggara.4 Adapun penyebab tingginya Angka Kematian Ibu di Indonesia adalah kasus aborsi.

Data-data hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa kasus aborsi merupakan masalah yang sangat serius dihadapi bangsa Indonesia. Walaupun aborsi dilarang, temyata perbuatan aborsi semakin marak dilakukan. Hal ini membutuhkan penegakan hukum yang sungguh-sungguh dari aparat penegak hukum di Indonesia. Penegakan hukum ini harus diintensifkan mengingat buruknya akibat aborsi yang tidak hanya menyebabkan kematian bayi yang diaborsi, tetapi juga ibu yang melakukan aborsi.

Penegakan hukum terhadap tindak pidana aborsi harus dilakukan di seluruh wilayah Indonesia, karena walaupun dari penelitian yang dilakukan oleh para mahasiswa maupun LSM-LSM menunjukan bahwa daerah-daerah yang banyak terjadi tindak pidana aborsi adalah daerah-daerah atau kota-kota yang disebut dengan daerah pendidikan atau kota besar di Indonesia ( Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Bali, Manado dan Malang). Kota-Kota tersebut adalah kota-kota yang disebut sebagai kota pelajar yang menjadi tujuan menimba ilmu dari sejumlah pelajar dari 32 provinsi juga tidak lepas dari fenomena maraknya aborsi. Hal ini dapat diketahui dari kenyataan yang terjadi di masyarakat, yaitu banyaknya ditemukan kasus aborsi yang dilakukan para remaja yang belum menikah. Ironisnya para remaja tersebut pada umumnya merupakan pelajar dan mahasiswi yang datang dengan tujuan sekolah. Jadi mereka telah menyalahgunakan kesempatan belajar mereka untuk melakukan tindakan-tindakan yang melanggar susila sehingga mengakibatkan kehamilan.

Selain kenyataan yang langsung dijumpai di dalam masyarakat, banyak pula berita-berita aborsi di surat kabar yang mengungkap kasus-kasus aborsi. Berita-berita tersebut memuat kasus aborsi baik yang tertangkap pelakunya maupun yang hanya mendapatkan bekas aborsinya saja, antara lain janin yang ditinggal begitu saja setelah selesai diaborsi.5 Ada juga janin yang sengaja ditinggal di depan rumah penduduk atau di depan Lembaga sosial (yayasan).

Berita-berita ini cukup meresahkan berbagai kalangan masyarakat, khususnya para orang tua yang mempunyai anak yang sedang bersekolah dikota-kota tersebut, karena berita-berita itu membuat para orang tua khawatir bahwa anaknya juga melakukan hal yang sama, apalagi jika remaja tersebut tidak mendapatkan pengawasan langsung dari orang tuanya. Kalaupun anak yang bersangkutan tidak melakukan hal tersebut, tetapi situasi pergaulan yang bebas di sekitarnya sedikit banyak akan mempengaruhi pola pikir anak.

Sejalan dengan keprihatinan masyarakat tentang maraknya aborsi, sekarang ini jasa aborsi juga semakin marak dipromosikan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya tulisan-tulisan selebaran yang ditempel di dinding-dinding toko, dinding rumah penduduk atau di tiang-tiang lampu merah (traffic light) di perempatan jalan yang ramai lalu lintasnya. Isi dari tulisan itu adalah penawaran jasa aborsi kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Tulisan tersebut memang tidak secara terang-terangan menyatakan menuliskan kata “aborsi” akan tetapi dari bunyi kalimat yang dituliskan sudah cukup menyiratkan bahwa jasa yang ditawarkan adalah jasa aborsi. Bunyi tulisan itu antara lain “Jika Anda Terlambat Datang Bulan Hubungi ...” (nomor telepon tertentu). Nomor telepon yang diberikan biasanya adalah nomor HP(Hand Phone) sehingga sulit untuk melacak keberadaan si pemilik nomor tersebut.

Banyaknya jumlah aborsi yang terjadi dan banyaknya jasa aborsi yang ditawarkan kepada masyarakat, membuat masyarakat menjadi resah dan mengharapkan adanya tindakan tegas dari para aparat penegak hukum untuk dapat menangkap dan menghukum para pelaku aborsi. Semua fenomena ini menunjukkan dibutuhkannya penegakan hukum. Walaupun fenomena aborsi sudah sangat marak, namun sampai sejauh ini hanya sedikit kasus aborsi yang pernah disidangkan. Hal ini dikarenakan para pelaku biasanya sulit untuk dilacak sehingga mempersulit penjaringan para pelaku.



B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dirumuskan masalah sebagai berikut :

  1. Bagaimana peran Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam penyidikan tindak pidana aborsi?

  2. Kendala-kendala apa saja yang dihadapi dalam penyidikan tersebut dan bagaimana cara mengatasinya?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Tujuan Penulisan ini adalah

  1. Untuk mengetahui peran Polri dalam penyidikan tindak pidana aborsi.

  2. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam penyidikan tersebut dan cara mengatasinya.

2. Manfaat Penulisan

Manfaat Penulisan ini adalah

  1. Bagi Penulis

Hasil penulisan ini dapat digunakan sebagai sarana untuk menambah wawasan tentang penyidikan tindak pidana aborsi dan kendala-kendala yang dihadapi dalam penyidikan, serta merupakan sarana untuk menerapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh di bangku kuliah di lapangan.

  1. Bagi Penulisan Lain

Hasil Penulisan ini dapat digunakan sebagai bahan perbandingan dari hasil Penulisan sejenis.

D. Metode Penulisan

Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan yuridis-sosiologis, artinya Penulisan dilakukan dengan merujuk pada norma hukum yang berlaku dalam masyarakat.6




BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

  1. Pengertian Penyidikan

Kitab Undang-Undang hukum Acara Pidana dengan tegas membedakan istilah “Penyidik” atau “opsporing / interrogation” dan "Penyelidik”, penyelidik dan penyidik diatur lebih jelas di dalam Bagian Kesatu mulai dari pasal 4 sampai pasal 8 Kitab Undang-Undang hukum Acara Pidana. Pada ketentuan Bab I tentang Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa “penyidik” adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai Negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Jadi, dapat dikatakan secara tegas bahwa fungsi dan ruang lingkup “penyidik” adalah untuk melakukan "penyidikan".

Didalam Kitab Undang-Undang hukum Acara Pidana (KUHAP) tentang Penyelidik, yaitu :

Pasal 4

Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia

Pasal 5

      1. Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 :

    1. Karena kewajibannya mernpunyal wewenang;

  1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;

  2. Mencari keterangan dan barang bukti;

  3. Menyuruh berhenti scorang yang dicurigai dan menanyakan serta merneriksa tanda pengeni diri;

  4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

    1. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa :

  1. penangkapan, larangan meninggalkan tempat penggeledahan dan penyitaan,

  2. pemeriksaan dan penyitaan swat,

  3. mengambil sidik jari dan, memotret seorang,

  4. membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.

      1. Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a dan huruf b kepada penyidik.

Pasal 6

(1) Penyidik adalah

a. pejabat polisi negara Republik Indonesia;

b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang wewenang khusus oleh undang-undang.

(2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dhnaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

Pasal 7

(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang :

a. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana,

b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;

e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. mengambil sidik jari dan memotret seorang,

g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

i. mengadakan penghentian penyidikan;

j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.

(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a.

(3) Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.

Pasal 8

      1. Penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dengan tidak mengurangi ketentuan lain dalam undang undang ini.

(2) Penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.

(3) Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan :

a. pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara

b. dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.

Menurut de Pinto, menyidik (opsporing) berarti. “pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekadar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum.

Sedangkan menurut ketentuan pasal 1 angka 2 Kitab undang-undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa "penyidikan" adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukandapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.7

Dr. Andi Hamah, SH. Secara. global menyebutkan beberapa bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah :

  1. Ketentuan tentang alat-alat penyidikan.

  2. Ketentuan tentang diketahuinya terjadinya defilc.

  3. Pemeriksaan di tempat kejadian.

  4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa.

  5. Penahanan sementara.

  6. Penggeledahan.

  7. Pemeriksaan atau interogasi.

  8. Berita acara (penggeledahan, interogasi dan pemeriksaan di tempat).

  9. Penyitaan.

  10. Penyampingan perkara.

  11. Pelimpahan perkara kepada Penuntut Umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempunakan.

  1. Pengertian Aborsi Secara Umum

Secara harafiah istilah aborsi berasal dari kata dalam bahasa Inggris abortion yang artinya pengguguran kandungan secara sengaja.8 Menggugurkan kandungan dalam dunia kedokteran atau dalam bahasa latin dikenal dengan istilah “abortus”. Berarti pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Ini adalah suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh.9 Di lain pihak istilah Aborsi menurut dr. Agus Abadi dari UPF/ Lab Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan RSUD Dr. Soetomo/ W Unair, abortus (definisi yang lama) adalah terhentinya kehidupan buah kehamilan pada usia kehamilan sebelum 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. WHO memperbaharui definisi Aborsi yakni Aborsi adalah terhentinya kehidupan buah kehamilan di bawah 28 minggu atau berat janin kurang dari 1000 gram. Aborsi juga diartikan mengeluarkaan atau membuang baik embrio atau fetus secara prematur (sebelum waktunya). Istilah Aborsi disebut juga Abortus Provokatus (Inilah yang belakangan ini menjadi ramai dibicarakan). Abortus yang dilakukan secara sengaja. Jadi Aborsi adalah tindakan pengguguran hasil konsepsi secara sengaja.10

Dalam ilmu kedokteran, istilah-istilah ini digunakan untuk membedakan aborsi :

  • Spontaneous abortion : gugur kandungan yang disebabkan oleh trauma kecelakaan atau sebab-sebab alami.

  • Induced abortion atau procured abortion : pengguguran kandungan yang disengaja. Termasuk di dalamnya adalah :

  • Therapeutic abortion : pengguguran yang dilakukan karena kehamilan tersebut mengancam kesehatan jasmani atau rohani sang ibu, terkadang dilakukan sesudah pemerkosaan.

  • Eugenic abortion : pengguguran yang dilakukan terhadap janin yang cacat.

  • Elective abortion : pengguguran yang dilakukan untuk alasan-alasan lain.

Dalam bahasa sehari-hari, istilah "keguguran" biasanya digunakan untuk spontaneous abortion, sementara "aborsi" digunakan untuk induced abortion.

  1. Macam-macam Aborsi

Secara garis besar aborsi dalam dunia kedokteran dikenal 3 macam aborsi, yaitu :11

  1. Abortus spontaneus (Aborsi Spontan/Alamiah), yaitu : berlangsung tanpa tindakan apapun atau tidak disengaja. Kebanyakan disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma, kecelakaan dan sebagainya, aborsi spontan ini dapat terjadi antara lain karena :

  1. Imminence (aborsi yang mengancam) berupa pendarahan yang disertai oleh kontraksi pada uterus. Aborsi imminence ini masih bisa dipertahankan, biasanya ibu diminta istirahat baring (bed-rest) dan diberi obat untuk menguatkan kehamilan kembali.

  2. Aborsi incipience yaitu aborsi yang sedang berlangsung, yang biasanya tidak dapat dipertahankan lagi kehamilannya. Biasanya ini ditandai dengan adanya pendarahan yang begitu hebat.

  3. Incomplete abortion (aborsi yang tidak lengkap) dimana sebagian hasil konsepsi keluar sedang sebagian masih tertinggal di dalam. Biasanya hal ini disertai pendarahan hebat atau banyak sekali, karena sebagian hasil konsepsi tertinggal didalam, akan diperlukan tindakan kuret untuk mernbersihkan sisa konsepsi tadi.

  4. Complete abortion dimana semua hasil konsepsi keluar secara utuh, sehingga dalam hal ini tidak dibutuhkan tindakan dengan alat lain jika telah dipastikan oleh dokter bahwa hasil konsepsi telah keluar semua.

  1. Aborsi Terapeutik / Medis, yaitu : pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medik. Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin yang dikandungnya. Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang matang dan tidak tergesa-gesa.

  2. Abortus provocatus (Aborsi Buatan/Sengaja), yaitu : pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 28 minggu sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun si pelaksana aborsi (dalam hal ini dokter, bidan atau dukun beranak). Abortus provocatus ini terdiri atas dua jenis, yaitu :

  1. abortus artificialis therapicus atau abortus provocatus medicinalis

Abortus artificialis therapicus adalah aborsi yang dilakukan oleh dokter atas dasar indikasi medis, yakni apabila tindakan aborsi tidak diambil bisa membahayakan jiwa ibu.

Di Indonesia yang dimaksud dengan indikasi medik adalah demi menyelamatkan nyawa ibu. Syarat-syaratnya :

    1. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukannya (yaitu seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan) sesuai dengan tanggung jawab profesi.

    2. Harus meminta pertimbangan tim ahli (ahli medis lain, agama, hukum, psikologi).

    3. Harus ada persetujuan tertulis dari penderita atau suaminya atau keluarga terdekat.

    4. Dilakukan di sarana kesehatan yang memiliki tenaga/peralatan yang memadai, yang ditunjuk oleh pemerintah.

    5. Prosedur tidak dirahasiakan.

    6. Dokumen medik harus lengkap.

  1. abortusprovocatus criminalis

Sedangkan abortus provocatus criminalis, adalah aborsi yang dilakukan tanpa dasar indikasi medis. Misalnya, aborsi yang dilakukan untuk melenyapkan janin dalam kandungan akibat hubungan seksual di luar pernikahan atau mengakhiri kehamilan yang tidak dikehendaki.12

Abortus provocatus criminalis merupakan jenis aborsi yang dilarang. Ada beberapa alasan sehingga jenis aborsi ini dilarang yaitu :13

  1. Janin adalah suatu sel yang mempunyai hak hidup, baik sudah berstatus manusia atau belum. Menghormati hak hidup merupakan suatu yang sangat berharga.

  2. Martabat dan nilai hidup manusia tetap sama sebelum dan sesudah lahir. Hal ini berarti membunuh janin dalam kandungan sama saja dengan membunuh manusia setelah lahir.

  3. Hal yang paling mendasar dalam hidup manusia sudah dimulai pada saat pembuahan. Pada saat pembuahan terjadi, program genetis sudah berlangsung. Oleh karena itu, manusia wajib melindungi manusia sejak pembuahan itu.

Abortus provocatus criminalis biasanya identik dengan unsafe abortion yaitu aborsi yang dilakukan oleh tenaga yang tidak terlatih atau kompeten, sehingga menimbulkan banyak komplikasi bahkan kematian. Untuk itu, semua wanita yang mengalami aborsi memerlukan tindakan pasca aborsi, yaitu tindakan pengobatan abortus dengan segala kemungkinan komplikasinya, konseling dan pelayanan kontrasepsi pasca keguguran, serta asuhan kesehatan reproduksi.14

  1. Aborsi Menurut Hukum atau Perundang-Undangan.

Menurut hukum yang berlaku di Indonesia, aborsi atau pengguguran janin termasuk kejahatan, yang dikenal dengan istilah “Abortus Provocatus Criminalis”. Yang menerima hukuman adalah :

  1. Ibu yang melakukan aborsi

  2. Dokter atau bidan atau dukun yang membantu melakukan aborsi

  3. Orang-orang yang mendukung terlaksananya aborsi.

Hukum yang ada di Indonesia seharusnya mampu menyelamatkan ibu dari kematian akibat tindak aborsi tak aman oleh tenaga tak terlatih (dukun). Ada 2 aturan aborsi di Indonesia yang berlaku hingga saat ini yaitu :

      1. Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

KUHP sebelumnya diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976 sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. KUHP menentukan dengan alasan apapun, aborsi adalah tindakan melanggar hukum Ketentuan tersebut sampai saat ini masih diterapkan.

Adapun pasal-pasal yang dimaksud di dalam KUHP tentang larangan aborsi adalah sebagai berikut :

Pasal 299, Pasal 346, Pasal 347, Pasal 348, Pasal 349, dan Pasal 535.

Berdasarkan keenam pasal KUHP tersebut di atas maka dapat diketahui bahwa menurut KUHP apapun alasannya di luar alasan medis, seorang perempuan tidak boleh melakukan tindakan aborsi. Meskipun dalam KUHP tidak terdapat satu pasal pun yang memperbolehkan seorang dokter melakukan abortus atas indikasi medik, sekalipun untuk menyelamatkan jiwa ibu, dalam prakteknya dokter yang melakukannya tidak dihukum bila ia dapat mengemukakan alasan yang kuat dan alasan tersebut diterima oleh hakim (Pasal 48). Selain KUHP, abortus buatan yang ilegal juga diatur dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

2. Undang-undang RI No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan.

Menurut Sumapraja dalam Simposium Masalah Aborsi di Indonesia yang diadakan di Jakarta 1 April 2000 menyatakan adanya kontradiksi dari isi Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 pasal 15 ayat 1 sebagai berikut :

Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu”.

Hal yang dapat dijelaskan dari pasal dan ayat tersebut adalah :

Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun dilarang dan bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan. Namun, dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelematkan jiwa ibu dan janin yang dikandungnya dapat diambil tindakan medis tertentu.15

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa dasar hukum tindakan aborsi yang cacat hukum dan tidak jelas menjadikan tenaga kesehatan yang memberi pelayanan rentan di mata hukum. Ditambahkan lagi pada ayat selanjutnya yakni pasal 15 ayat 2 yakni, tindakan medis tertentu hanya dapat dilakukan jika :

    1. berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambil tindakan tersebut.

    2. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk itu dapat dilakukan sesuai dengan tanggungjawab profesi serta pertimbangan ahli.

    3. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya.

    4. pada sarana kesehatan tertentu.

Penjelasan atas syarat tersebut di atas yakni :

    1. indikasi medis adalah suatu kondisi yang benar-benar mengharuskan diambil tindakan medis tertentu, sebab tanpa tindakan medis tertentu itu, ibu hamil dan atau janinnya terancam bahaya maut.

    2. tenaga kesehatan yang dapat melakukan tindakan medis tertentu adalah tenaga yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukannya, yaitu seorang dokter ahli kandungan dan penyakit kandungan.

    3. hak utama untuk memberi persetujuan ada pada ibu hamil yang bersangkutan, kecuali dalam keadaan yang tidak sadar atau tidak dapat memberikan persetujuan, dapat diminta dari suami atau keluarganya.

    4. sarana kesehatan tertentu adalah yang memiliki fasilitas memadai untuk tindakan tersebut dan telah ditunjuk oleh pemerintah.

Khususnya Pasal 70, Pasal 71, Pasal 73 dan Pasal 80. Berikut akan diberikan amandemen ketiga pasal dalam Undang-undang Kesehatan.16

Dari ketentuan Pasal 15 UU No. 23 thn. 1992 dapat diketahui bahwa Undang-undang Kesehatan melarang dilakukannya aborsi dengan pengecualian bahwa aborsi diperbolehkan, sepanjang memang tindakan itu harus dilakukan untuk menyelamatkan nyawa si ibu. Akan tetapi dalam amandemen Undang-undang Kesehatan dapat diketahui juga bahwa aborsi mutlak dilarang kecuali dengan alasan medis sekarang sudah semakin longgar. Dengan kata lain adanya amandemen Undang-undang Kesehatan, memungkinkan aborsi akan semakin mudah dilakukan.

Walaupun telah ada amandemen Undang-undang Kesehatan yang cenderung mernpermudah aborsi, akan tetapi menurut kedua undang-undang di atas, semua tindakan aborsi merupakan tindakan yang dapat dipidana tidak terkecuali orang-orang yang terlibat didalamnya, terkecuali apabila aborsi itu dilakukan karena adanya kondisi yang mengancam keselamatan ibu atau janinnya.17

Namun keberadaan peraturan di atas justru dianggap menimbulkan kerugian, karena aborsi masih dianggap sebagai tindakan kriminal, padahal aborsi bisa dilakukan secara aman (safe abortion). UU Kesehatan dibuat untuk memperbaiki KUHP, tapi memuat definisi aborsi yang salah sehingga pernberi pelayanan (dokter) merupakan satu-satunya yang dihukum. Pada KUHP, baik pemberi pelayanan (dokter), pencari pelayanan (ibu), dan yang membantu mendapatkan pelayanan, dinyatakan bersalah dan akibat aborsi dilarang, angka kematian dan kesakitan ibu di Indonesia menjadi tinggi karena ibu akan mencari pelayanan pada tenaga tak terlatih. Oleh karena itu, hingga kini Angka Kematian Ibu (AKI) Indonesia (390 per 100.000 kelahiran. tahun 2000) masih menduduki urutan teratas di Asia Tenggara, walaupun kontribusi aborsi sering tidak dilihat sebagai salah satu faktor tingginya angka tersebut. Aborsi sendiri masih tetap merupakan suatu wacana yang selalu mengundang pro dan kontra baik hukum maupun agama yang mungkin tidak akan habis jika tidak ada peraturan baru tentang aborsi aman khususnya yang tegas dan jelas.18

  1. Penegakan Hukum

Peraturan yang ada harus ditegakkan agar dapat mencapai tujuannya. Untuk itu dibutuhkan penegakan hukum. Adapun yang dimaksud dengan penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi suatu kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan hukum adalah pikiran badan pembuat Undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan hukum.19

Untuk menegakkan hukum dibutuhkan aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum terdiri dari Polisi, Jaksa dan Hakim.20 Melalui ketiga aparat penegak hukum ini, hukum positif di Indonesia ditegakkan. Namun demikian tentu saja hanya mengandalkan penegak hukum saja maka akan sulit untuk melakukan penegakan hukum. Dalam hal ini dibutuhkan kerjasama antara masyarakat dan aparat penegak hukum dalam proses penegakan hukum.

Istilah Penegak Hukum (law enforcement officer) yang dalam arti sempit hanya berarti Polisi tetapi dapat juga mencakup Jaksa. Akan tetapi di Indonesia biasanya diperluas pula dengan para Hakim dan ada kecenderungan kuat memasukkan pula dalam pengertian penegak hukum ini adalah Pengacara (advokat). Dalam pengertian luas terakhir ini, dapat dipergunakan terjemahan dari rechthandhaving, yang artinya penegakkan hukum. Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakkan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.

Masalah pokok penegakkan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya, faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

    1. Faktor Hukumnya Sendiri.

    2. Faktor Penegak Hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

    3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

    4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku dan diterapkan.

    5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Pembangunan hukum harus bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat, dengan kata lain pembangunan harus memiliki konotasi positif terhadap perkembangan (budaya) masyarakat. Oleh karena itu pembangunan hukum harus merupakan kebijakan semesta yang disusun berdasarkan kebutuhan masyarakat itu sendiri. kebutuhan itu bukan kebutuhan sesaat tetapi total, menyeluruh dan sistemik. Oleh karena itu kebijakan pembangunan hukum harus merupakan skema kebijakan yang didalamnya melibatkan partisipasi publik, dari berbagai kelompok dan golongan serta menjadi pedoman bagi pemegang mandat untuk merealisasikannya, sehingga hukum dapat berfungsi dengan baik.21

Hoebel menjelaskan, paling tidak ada empat fungsi dasar hukum yaitu :22

    1. Menetapkan hubungan antara anggota masyarakat, dengan menunjukkan jenis-jenis tingkah laku apa yang diperkenankan dan apa pula yang dilarang.

    2. Menentukan pembagian kekuasaan dan merinci siapa-siapa saja yang boleh secara syah menentukan paksaan serta siapa yang harus mentaatinya dan sekaligus memilihkan sanksi-sanksinya yang efektif.

    3. Menyelesaikan sengketa.

    4. Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi kehidupan yang berubah, dengan cara merumuskan kembali hubungan antara para anggota masyarakat.

Salah satu penegak hukum di Indonesia ialah Kepolisian Negara Republik Indonesia. Hal ini tersurat atau tercantum dalam Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002.

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Kepolisian, Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga Polisi sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.

Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) sebagai sub sistem dari sistem peradilan pidana merupakan ujung tombak di lapangan dalam penegakkan hukum peraturan perundang-undangan, bahkan banyak masyarakat yang beranggapan bahwa POLRI adalah hukum yang hidup dan orang awam pun bila ditanya hukum akan menjawab POLRI, karena POLRI yang selalu melakukan teguran, menilang dan tindakan upaya paksa bagi setiap warga dan masyarakat yang melakukan pelanggaran hukum.

Berfungsinya hukum di lapangan sangat ditentukan oleh POLRI dalam mengadakan rekayasa sosial, bahkan ada seorang pakar mengatakan setiap ada undang-undang baru, hampir dapat dipastikan bahwa pekerjaan polisi akan bertambah. Seorang hakim baru bekerja apabila ada perkara yang diajukan kepadanya, tetapi polisi sudah harus bertindak begitu ada undang-undang dikeluarkan dan dinyatakan berlaku.

Menurut Mardjono Reksodiputro dan Sri Boediarti, bahwa tugas kepolisian yang banyak adalah menangani kejahatan konvevsional. Kejahatan konvensional juga disebut sebagai kejahatan yang tradisional, karena landasan terdapat dalam KUHP, dan dilakukan dengan cara biasa. Welfare Crimes pada dasarnya merupakan konvensional crimes, tetapi crimes tersebut meningkat karena adanya kemakmuran masyarakat. Dengan semakin makmurnya masyarakat, maka kejahatan semakin sulit dalam pengawasan dan penindakannya, karena memerlukan keterpaduan fungsi dan political will pemerintah. Kejahatan akibat kemakmuran ini adalah penyalahgunaan Narkotika dan obat-obatan keras, kanakalan dan kejahatan anak, perjudian, pelacuran,pemabukan dan aborsi.

POLRI sebagai salah satu aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, dalam melaksanakan tugasnya selalu berpatokan pada hukum yang berlaku. Hal ini sesuai dengan asas yang terdapat di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yaitu Asas Legalitas yang berbunyi :

Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu daripada perbuatan itu”.

Pasal 1 ayat(1) KUHP ini merupakan perundang-undangan modern yang menuntut, bahwa ketentuan pidana harus ditetapkan dalam undang-undang yang sah, yang berarti bahwa larangan-larangan menurut adat tidak berlaku untuk menghukum orang. Selanjutnya menuntut pula, bahwa ketentuan pidana dalam undang-undang tidak dapat dikenakan kepada perbuatan yang telah dilakukan sebelum ketentuan pidana dalam undang-undang itu diadakan. Ini berarti, bahwa undang-undang tidak mungkin berlaku surut (mundur). “Nullum delictum sine praevia lege poenali”, artinya “peristiwa pidana tidak akan ada, jika ketentuan pidana dalam undang-undang tidak ada terlebih dahulu”.

Usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan Undang-Undang Hukum Pidana pada hakikatnya merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (Sosial Defence) dan usaha mencapai kesejahteraan masyarakat (Sosial Welfare). Oleh karena itu, wajar pulalah apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (Sosial Policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi, di dalam pengertian “Sosial Policy” sekaligus tercakup di dalamnya “Sosial Welfare Policy” dan “Sosial Defence Policy”.

Untuk mencapai hukum pidana yang baik, yang dicita-citakan dan bertujuan untuk kesejahteraan sosial, maka tidak lepas dari pembaharuan hukum pidana dan pada hakikatnya pembaharuan hukum pidana harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (Policy-oriented approach) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (Value-oriented approach).

Langkah-langkah operasionalisasi penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana adalah sebagai berikut :

  1. Penetapan kebijakan perundang-undangan (dapat juga disebut kebijakan legalisasi) yang di dalamnya berisikan penetapan kebijakkan mengenai.

  2. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana (kebijakan kriminalisasi) dan,

  3. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar (kebijakan penalisasi/kebijakan pemidanaan).

  4. Penerapan pidana oleh badan pengadilan (disebut juga kebijakan yudikatif).

  5. Pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksana pidana (disebut juga kebijakan eksekutif).

Penanggulangan kejahatan sudah barang tentu tidak hanya menggunakan sarana hukum pidana (penal), tetapi harus juga menggunakan sarana-sarana non-penal. Usaha-usaha non-penal dapat meliputi bidang yang sangat luas sekali diseluruh sector kebijakan sosial. Tujuan utama dari usaha-usaha non-penal itu adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Dengan demikian dilihat dari sudut politik kriminal, keseluruhan kegiatan preventif yang non-penal itu sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat strategis, memegang posisi kunci yang harus di intensifkan dan di efektifkan.






BAB III

PEMBAHASAN

  1. Peran Polri Dalam Penyidikan Tindak Pidana Aborsi.

Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa indikasi tindakan abortus provocatus yang dilarang adalah tindakan abortus atau pengguguran kandungan yang dilakukan dengan sengaja diluar indikasi medik. Keadaan yang mendorong terjadinya tindakan pengguguran kandungan di luar medik biasanya dipengaruhi beberapa faktor misalnya karena keadaan ekonomi yang tidak memungkinkan untuk bertambahnya anggota baru, karena faktor yang sering terjadi di dalam kehidupan masyarakat pada umumnya yaitu terjadinya kehamilan di luar nikah dan dianggap sebagai aib, sehingga mendorong si ibu atau orang tua untuk menggugurkan kandungan.

Pengguguran kandungan merupakan kejahatan serta perbuatan terkutuk yang dapat mengganggu ketertiban umum dalam masyarakat dan negara. Di beberapa negara terutama negara-negara barat, abortus juga ada yang dilakukan karena untuk menyelamatkan janin ataupun bayi yang ada dalam kandungan, hal ini mengingat janin atau bayi yang ada dalam kandungan sudah dapat diklasifikasikan cukup umur dan mampu hidup diluar kandungan, sedangkan ibu yang mengandungnya dalam keadaan meninggal. Kejadian seperti ini perlu diadakan penyelamatan janin atau bayi mengingat umurnya sudah dapat dikatakan sempurna.

Bentuk abortus yang lain, dilakukan untuk pengobatan atau indikasi rnedis dan indikasi psikologis juga abortus provokatus yang dilakukan dengan niat jahat. Ada juga apabila kehamilan diteruskan akan memberatkan penyakit yang diderita oleh si ibu. Walaupun hal lersebut diatas tidak ditegaskan dalam undang-undang, namun bisa dijadikan pengecualian dari pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tentang larangan pengguguran kandungan sebab perbuatan tersebut pelakunya tidak dapat dikenakan sanksi pidana, karena adanya alasan medis.

POLRl dalam menghadapi kasus inipun biasanya menghadapi berbagai macam kesulitan diantaranya terlalu rapatnya rahasia tentang tindakan ini baik dari pelaku ataupun dari orang yang membantu melakukan tindakan aborsi tersebut. Dan pihak kepolisian baru bisa bertindak jika sudah terjadi jatuhnya korban meninggal atau ditemukannya mayat-mayat bayi di berbagai tempat.


  1. Upaya-upaya Penanggulangan yang Dilakukan Pihak POLRI Terhadap Tindak Pidana Abortus Provocatus

Untuk mengantisipasi keadaan tersebut pihak kepolisian berusaha bertindak maksimal. Dimulai dari pengantisipasian maraknya peredaran obat-obatan terlarang atau yang lebih dikenal dengan narkoba, karena bukan tidak mungkin dari sinilah semua itu berasal. Untuk itu pertama-tama pihak kepolisian bekerja sama dengan beberapa sekolah untuk memberitahukan seberapa bahayanya narkoba dan akibatnya yang akan terjadi.

Pihak kepolisian dalam hal upaya menanggulangi tindak pidana tersebut, sudah melakukan beberapa hal pencegahan. Misalnya yang melalui pendekatan secara- agama. Polri bekerja sama dengan para pemuka-pemuka agama yang ada di dalam wilayah kerja Polres dan Polresta diseluruh Indonesia.

Selain melakukan pendekatan melalui tokoh-tokoh pemuka agama, pihak Polri juga memberikan pemahaman dan pengertian kepada pihak masyarakat dan khususnya kepada para kalangan remaja yang banyak bersentuhan dengan masalah ini. Dengan memberi pengertian bahwa tindakan abortus provocatus adalah suatu tindakan yang melanggar hukum, dan dijelaskan pula tentang sanksi yang akan diterima oleh mereka apapun dan bagaimanapun alasannya.

Upaya lain yang dilakukan pihak kepolisian adalah bekerja sama dengan pihak aparatur pemerintah yaitu menempatkan beberapa personil kepolisian di tiap-tiap kelurahan dan desa atau yang disebut dengan BAPEMKAMTIBMAS (Badan Pembina Ketertiban dan Keamanan Masyarakat). Tujuannya adalah untuk mendekatkan masyarakat dengan POLRI untuk rnemberikan informasi atau bantuan dari pihak kepolisian untuk mengungkapkan kasus-kasus tindak pidana abortus provocatus seandainya terjadi di wilayah kelurahan dan desa masing-masing.

Dalam menghadapi kasus abortus provocatus, pihak kepolisian juga bekerjasama dengan pihak kedokteran, Dimana banyak sekali para dokter-dokter tersebut demi mendapatkan materi menghalalkan tindakan abortus provocatus. Diharapkan melalui pendekatan ini, pihak kedokteran bisa membantu mengurangi dan atau maksimalnya mencegah terjadinya kasus tindakan abortus provocatus dengan memberikan penjelasan kepada pasiennya tentang bahayanya tindakan aborsi tersebut, kecuali ada indikasi medis yang mengharuskan tindakan tersebut.


  1. Proses Penyidikan Kasus Abortus Provocatus yang Dilakukan Oleh Pihak Kepolisian

Berawal dari adanya suatu laporan dari masyarakat tentang terjadinya suatu kasus abortus provocatus yang diterima pihak POLRI, maka pihak Polri khususnya pada bagian Reserse dapat bertindak dalam melakukan proses penyidikan. Penyidikan tersebut dilakukan pertama-tama, apabila barang bukti yang ditemukan (oleh pihak Polri yang sedang berpatroli maka dalam hal ini pihak POLRI yang sedang berpatroli tersebut harus segera dan secepat rnungkin melaporkan kepada pihak Reserse atau yang dikenal dengan berkas "A" dan dalam hal ini si pelapor wajib bertanggung jawab.

Kedua, laporan yang diberikan oleh masyarakat kepada pihak POLRI, khususnya bagian Reserse yang menangani kasus ini atau dengan tindak pidana tersebut, laporan seperti ini dikenal atau disebut dengan berkas "B" dan dalam hal inipun si pelapor harus bertanggung jawab atas apa yang dilaporkannya.

Setelah ada laporan yang masuk pada pihak POLRI, laporan mulai diproses dan diolah, setelah itu pihak POLRI mulai melakukan penyidikan terhadap kasus atas tindak pidana tersebut, penyidikan yang dilakukan oleh pihak POLRI (khususnya oleh bagian reserse) akan dimulai dari saksi di tempat kejadian perkara (TKP), dan barang bukti yang ditemukan di tempat kejadian perkara. Setelah itu akan ditemukan suatu hal yang akan menjadi petunjuk dari kasus tersebut berdasarkan fakta dan laporan yang diterima oleh pihak Polri.

Polisi di dalam melakukan suatu penyidikan kasus tindak pidana abortus provocatus yang sedang terjadi tersebut dibantu oleh saksi ahli yaitu dokter yang berwenang, dalam hal ini untuk membantu proses visum barang bukti serta yang diduga sebagai tersangka.

Setelah mendapatkan visum dari si ibu atau yang dicurigai maka pelaku dalam hal ini si ibu tersebut harus menjalani proses penyidikan yang diantaranya adalah dipertanyakan siapa yang telah membantu dalam melakukan proses pengguguran kandungan tersebut, apakah seorang dokter, bidan, dukun atau yang 1ainnya. Juga dipertanyakan siapa yang menyuruh, mengiming-imingi atau yang memprovokasi supaya si ibu melakukan tindakan pengguguran kandungan. Dan apakah tindakan pengguguran kandungan tersebut dilakukan secara terang-terangan atau secara sembunyi-sembunyi.

Setelah semua keterangan-keterangan pada proses penyidikan yang diperoleh dari si ibu dianggap sudah mencukupi maka berkas-berkas tersebut segera diproses dan selanjutnya dilimpahkan kepada Kejaksaan dan dari Kejaksaan jika dianggap cukup semua berkas-berkas tersebut maka pihak Kejaksaan langsung melimpahkan perkara tersebut kepada pihak Pengadilan.

  1. Kendala-kendala yang Dihadapi Kepolisian Dalam Menangani Tindak Pidana Abortus Provocatus

Dalam menghadapi kasus tindak pidana abortus provocatus ini tidak semudah yang dibayangkan. Sesuai dengan teori mungkin bisa diungkap dengan tepat dan cepat, serta secara pasti, tetapi tidak demikian. Banyak sekali kendala-kendala yang mesti dihadapi.

Kendala pertama dapat dilihat dari lemahnya peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah ini. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenai abortus provocatus telah ditetapkan secara cukup jelas, tetapi aturan yang tertulis tersebut tidak mengatur secara detail mengenai sanksi yang diterima bagi pelaku abortus provocatus tersebut. Seperti yang dijelaskan pada pasal 299 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Disana disebutkan :

Barang siapa dengan sengaja merawat atau menyuruh seorang wanita memperoleh perawatan dan memberitahukan atau Menimbulkan harapan padanya bahwa dengan perawatan tersebut suatu kehamilan itu dapat menjadi terganggu, dipidana dengan pidana penjara selama lamanya empat tahun atau denda setinggi-tingginya tiga ribu rupiah".

Juga pada pasal 346 Kitab Undang-Undang Pidana disebutkan :

"Seseorang wanita yang dengan sengaja menyebabkan atau menyuruh orang lain menyebabkan gugurnya kandungan atau matinya janin yang berada dalam kandungannya, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun".

Demikian juga seperti yang disebutkan pada pasal 347 Kitab Undang-Undang Pidana yakni : "Barang siapa, dengan sengaja menyebabkan gugurnya kandungan atau matinya janin yang berada dalam kandungan seorang wanita tanpa mendapat izin dari wanita itu sendiri, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun".

Dari ketiga pasal yang disebut di atas sudah jelas bahwa hukum yang mengatur masalah abortus provocatus masih sangat lemah. Pada pasal-pasal tersebut hukuman yang dikenakan pada pelaku abortus provocatus terkesan amat sangat ringan yaitu hanya empat tahun penjara dan atau denda sekurang-kurangnya tiga ribu rupiah, pada hal ditinjau dari segi manapun perbuatan atau tindakan abortus provocatus adalah tindakan penghilangan nyawa yang juga berarti adalah tindakan pembunuhan, serta seolah olah ada kesan bahwa perbuatan atau tindakan abortus provocatus adalah tindakan yang dibolehkan.

Kasus abortus provocatus ini juga diatur dalam pasal 348 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana :

"Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugurnya kandungan seorang wanita dengan ijin wanita itu sendiri, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun enarn bulan".

Demikian juga pada pasal 349 Kitab Undang-Undang Pidana :

"Bahwa jika seorang dokter, bidan, juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut dalam pasal 346 KUHP, ataupun melakukan atau membantu dalam salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka hukuman yang ditentukan dalam pasal itu bisa ditambah dengan sepertiganya dan dapat dipecat dari jabatannya yang digunakan untuk melakukan kejahatan itu".

Dalam pasal ini menerangkan bahwa jika si pelaku adalah seorang dokter, bidan, ataupun juru obat, maka hukuman yang diperoleh hanya ditambah sepertiganya dan sanksi dipecat dari jabatannya. Inipun juga terkesan amat ringan, bagaimana bisa kalau si pelaku nyata-nyata adalah seorang dari petugas kesehatan melakukan tindakan ilegal hanya dihukum lima tahun lebih sedikit, padahal seorang petugas kesehatan harusnya lebih tahu tindakan yang tidak didasari oleh tindakan medis adalah tindakan yang melanggar hukum.

Dari sekian pasal-pasal yang mengatur tentang sanksi bagi pelaku abortus provocatus, rata-rata hukuman yang mereka terima sangatlah ringan. Dari sinilah yang memicu semakin banyaknya kasus abortus provocatus di kalangan masyarakat.

Kendala yang kedua adalah dari masyarakat itu sendiri. Kurangnya pengetahuan tentang pergaulan bebas tersebut yang akhirnya membuahkan sesuatu yang tidak diinginkan. Masyarakat yang menganggap hal tersebut adalah sebagai aib yang harus ditutupi tak segan melakukan tindakan abortus. Dalam keadaan seperti ini mereka rela rnengeluarkan uang berjuta-juta rupiah bagi para dokter peralatan pendukung untuk membuktikan kasus tindak pidana abortus provocatus asal bersedia melakukan tindakan pengguguran kandungan. Dan bagi banyak masyarakat tindakan ini adalah tindakan yang paling benar untuk menutupi sebuah malu.

Padahal dari tindakan tersebut tidak sedikit yang harus kehilangan nyawa atau sedikitnya mereka mengalami keadaan dimana rahim mereka rusak dan tidak akan dapat lagi memiliki anak. Kesadaran rnasyarakat yang amat sangat diperlukan dalam menuntaskan masalah ini. Disamping itu karena kasus ini bukan merupakan kasus delik aduan maka agak sulit untuk menuntaskan kasus ini hingga keakarnya, karena mereka yang tahu dengan masalah ini enggan untuk melaporkannya kepada pihak yang berwajib.

Kendala yang lain yang mungkin menjadi penyebab sulitnya mengungkap kasus abortus provocatus adalah pihak kepolisian sering sekali sulit mengidentifikasi hasil dari barang bukti abortus provocatus. Karena hasil-hasil dari perbuatan tersebut sering sudah hancur atau dibuang entah kemana.



BAB IV

PENUTUP


      1. Kesimpulan

Dari semua uraian-uraian di atas tentang segala sesuatu yang menyangkut peranan POLRI dalam menangani tindak pidana abortus provocatus, dapatlah disimpulkan bahwa Poiri tidak tanggung-tanggung dalam memberantas tindakan abortus provocatus. Dalam hal ini pihak Kepolisian sudah melakukan berbagai upaya pencegahan agar tindakan abortus provocatus ini tidak semakin meraja lela.

Kepolisian telah berupaya melakukan pendekatan-pendekatan kepada masyarakat luas, baik melalui para pemuka agama setempat ataupun terjun langsung memberikan pengarahan kepada masyarakat tentang bahayanya melakukan tindakan abortus provocatus.

Agenda lain dari Kepolisian adalah dengan rutin melakukan razia ke tempat-tempat persewaan dan penjualan VCD, untuk mencegah maraknya VCD porno di masyarakat dan juga razia pada toko-toko buku, untuk mencegah beredarnya buku-buku porno. Karena tidak mungkin dari situlah awal muasal terjadinya tindakan abortus provocatus.

Pihak Kepolisian saat ini juga sedang gencar-gencarnya melakukan razia obat-obatan terlarang atau narkoba, karena dari sini penyebab terjadinya kasus perkosaan-perkosaan yang buntut-buntutnya melakukan tindakan abortus provocatus karena malu.

Walaupun tindakan abortus provocatus di larang, tidak menutup kemungkinan bahwa tindakan abortus provocatus tersebut dilakukan atas adanya indikasi medis, misalnya untuk menyelamatkan nyawa si ibu. Untuk itu pula pihak Kepolisian bekerja sama dengan pihak kedokteran untuk mencegah terjadinya abortus provocatus ilegal, karena yang tahu benar tidaknya tindakan tersebut adalah seorang dokter. Dalam proses penyidikan, Kepolisian bersifat pasif artinya bahwa kepolisian menunggu jika ada laporan yang masuk selanjutnya ditindak lanjut.

Kendala yang dihadapi yaitu : lemahnya peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah ini, belum optimalnya peran tokoh-tokoh masyarakat dan kesadaran masyarakat yang masih kurang dalam memberikan laporan maupun memberikan masukkan dalam kasus aborsi, kepolisian masih sulit dalam mengidentifikasi hasil dari barang bukti aborsi karena kurangnya peralatan-peralatan pendukung, saksi-saksi dan kurang personil kepolisian.


      1. Saran -saran

Atas adanya kejadian tindakan abortus provocatus ilegal, untuk itu penulis memberikan saran-saran antara lain pentingnya perhatian orang tua terhadap putra-putrinya apalagi mereka yang telah beranjak remaja, karena masa remaja amat rentan terhadap masalah-masalah yang membahayakan diingat, karena kurangnya pengetahuan tentang bahayanya pergaulan bebas. Untuk itu para orang tua hendaknya memberikan bekal untuk putra-putrinya antara lain : dengan pengetahuan mengenai agama yang selalu tidak lepas dari tuntutan yang diajarkan, memberikan pengetahuan-pengetahuan tentang kehidupan remaja sebanyak-banyaknya agar putra-putri mereka selamat dari tindakan terlarang ini.

Untuk masyarakat diperlukan suatu bentuk interaksi antar masyarakat pada wilayah masing-masing yang berkelanjutan dan berkesinambungan sehingga dapat terbentuk kehidupan masyarakat yang aman dan tentram serta sehat.

Untuk aparat Kepolisian, agar mengadakan pendekatan-pendekatan langsung kepada para remaja. Melalui penyuluhan ke sekolah - sekolah, kampus - kampus atau langsung ke karang taruna atau perkumpulan remaja lainnya agar upaya pencegahan tindakan abortus provocatus lebih maksimal dan untuk sumber daya manusia dari aparat Kepolisian agar lebih Profesional dan tanggap terhadap tindak pidana abortus provocatus ini.



























1 Herwanto, Sang Janin Menjerit dan Meronta di Kesunyian, Pikiran Rakyat, 20 Desember 1997, hal Xl.

2 Wati, Aborsi di Indonesia, Suara Merdeka, 27 Februari 2000, hal VIII.

3 Mutia, Ada 2,3 Juta Aborsi di Indonesia Setiap Tahun, Kornpas, 3 Maret 2000, hal X.

4 Muharnmad Syarnsi,. Aborsi di Indonesia, www.geogle.com, diakses pada tanggal 10 Maret 2002.

5 Sumarto, Lagi, Ditemukan Janin Hasil Aborsi, Kedaulatan Rakyat, 23 Februari 2004, hal. VIII.

6 Soerjono Soekanto, dan Sri Marnudji, Penefitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Pers, 1985, hal. 17.

7 Undang~undang No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

8 Homby, A. S. & Pamwell, E.C., Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: PT Bentara Antar Asia, 1992.

9 Widodo, Aborsi dalam Perdebatan Ulama, Suara Merdeka, 5 Desember 1997, hal VI.

10 Saud Saumiman, ABORSI, Pro dan Kontra? Bagaimana kita Menjawabnya, www.kabarindonesia.com, 14-Nov-2006, di akses tanggal 4 Mey 2008.

11 Ibid

12 Endah Nurdiana, dkk, Seri Perempuan Mengenali Dirinya, Perempuan dan Hak Kesehatan Reproduksinya, Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Forum Kesehatan Perempuan, 2002, hal. 133.

13 Basuki, Esai Seputar Masalah Aborsi, Pikiran Rakyat, 18 Agustus 2001, hal. VII.

14 Joko, Sebagian Besar Abortus Dilakukan Secara Tidak Aman, Kompas, 12 Juni 2000, hal. X.

15 Tini Hadad, et.al., Perempuan dan Hak Kesehatan Reproduksi, Seri Perempuan Mengenali Dirinya, cetakan 1, YM-FKP-FF, (Jakarta:2002) h. 129.

16 Budiman, Amandemen Undang-undang Kesehatan dan Hak Reproduksi Perempuan, Kompas, 3 November 2003, hal. XLI.

17 Rina Mutiara, Aborsi dalam Hukum Positif Indonesia, Kompas, tanggal 7 Desember 2000, hal. XX.

18 Hanifah Laily, Aborsi ditinjau dari Tiga Sudut Pandang, www.google.com, di akses tanggal 4 Mey 2008.

19 Andi Hamzah, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara, 1989, hal. 78.

20 Ibid

21 Ronny Rahman Nitibaskara, Tegakan Hukum Gunakan Hukum, Jakarta, Kompas, 2006, hal 58-64.

22 Ibid.