Senin, 28 November 2011

Warisan & Wasiat


Ada satu kaidah yang umum berlaku, sesuatu yang didapat lewat cara kekerasan akan melahirkan kekerasan pula. Demikian pula dengan harta yang didapat dengan cara sengketa akan menyimpan bara, yang pada gilirannya akan memunculkan sengketa pula. Kaidah tersebut banyak dipercaya orang bukan hanya dalam konteks harta warisan keluarga biasa, akan tetapi juga berlaku dalam tatanan politik sebuah negara atau kerajaan.
Masalah harta warisan merupakan permasalahan yang sangat rumit. Bagi sebagian kalangan persoalan harta warisan ini bahkan bisa menimbulkan peperangan, perpecahan hingga saling fitnah dalam keluarga. Untuk dapat mencegah permasalahan mengenai harta warisan tersebut maka peranan hukum diperlukan untuk memberikan kepastian dalam pembagian harta warisan kepada anak, istri/suami maupun ahli waris yang berhak.
Dalam pelaksanaan pembagian warisan tidak boleh dilupakan mengenai surat wasiat yang dibuat oleh pewaris, baik yang dibuat sendiri (dibawah tangan) tapi tetap diserahkan dan disimpan oleh notaris maupun dibuat dihadapan notaris,[1] karena surat wasiat ini sangat berpengaruh dalam pelaksanaan pembagian warisan.[2]
Pada dasarnya ada 2 macam pewarisan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata), yaitu :
a.       pewarisan menurut Undang-Undang atau karena kematian atau Ab Intestato atau tanpa wasiat.
b.      pewarisan dengan surat warisan atau testamentair.
Apabila ada orang yang meninggal dunia, pertama-tama yang harus diperhatikan yaitu apakah yang meninggal itu pada waktu hidupnya mengadakan ketentuan-ketentuan mengenai harta bendanya. Misalnya, dengan membuat surat wasiat yang isinya sebagian atau seluruh hartanya diberikan kepada kelurga sedarah maupun pihak ketiga yang bukan keluarga sedarahnya. Selanjutnya apabila ada ketentuan-ketentuan seperti tersebut diatas, maka yang perlu diperhatikan yaitu apakah ketentuan yang terdapat dalam surat wasiat itu melanggar bagian mutlak (Legitieme Portie) dari ahli waris yang mempunyai bagian mutlak (Legitimaris) atau tidak. Apabila melanggar bagian mutlak, maka surat wasiat tersebut harus dipotong sebesar kekurangan bagian mutlak yang dipunyai legitimaris. Dan apabila surat wasiat itu tidak melanggar bagian mutlak, maka apa yang tercantum dalam surat wasiat langsung dapat diberikan kepada yang ditunjuk, dan sisanya dibagikan kepada ahli waris yang ada (ahli waris menurut Undang-Undang). Sebaiknya apabila saat meninggalnya seseorang itu tidak ada ketentuan surat wasiat, maka harta warisan tersebut langsung dapat dibagi menurut ketentuan yang berlaku.
Untuk menentukan siapa ahli waris dari suatu warisan yang terbuka,[3] maka perlu dibuatkan surat keterangan waris[4] yang pada saat ini masih sangat diskriminatif, karena masih disesuaikan dengan golongan, etnis penduduk atau warga Negara Indonesia. Penggolongan penduduk berdasarkan etnis dan hukum yang berlaku untuk tiap golongan penduduk tersebut merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia, yang sampai sekarang ini masih dianggap sebagai aturan yang sakral yang tidak dapat diubah oleh siapapun, bahkan oleh Negara. Padahal, dalam rangka pembaharuan hukum dan pembangunan bangsa yang bermartabat aturan seperti itu harus segera ditanggalkan atau ditinggalkan karena sudah tidak sesuai dengan bangsa yang sudah merdeka.[5]
Penggolongan penduduk Indonesia berdasarkan pada ketentuan pasal 163 IS (Indische Staatregeling) dan pasal 109 RR (Regerings Reglement), yaitu : golongan Eropa, golongan Bumiputera dan golongan Timur Asing. Dan hukum yang berlaku untuk tiap golongan penduduk berdasarkan pasal 131 IS (Indische Staatregeling) dan 75 RR (Regerings Reglement) yang berasal dari warisan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda. Adanya penggolongan penduduk dan hukum yang berlaku untuk tiap golongan penduduk tersebut merupakan politik hukum dari pemerintah kolonial untuk mengawasi penduduk yang berada di daerah jajahannya dan politik pembodohan dan politik devide et impera (adu domba) untuk penduduk di wilayah Hindia-Belanda pada waktu itu. Adanya berbagai peraturan perundang-undangan seperti tersebut diatas, tidak terlepas dari kehadiran peraturan perundang-undangan produk kolonial yang sampai saat ini masih dinyatakan berlaku berdasarkan ketentuan pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945.[6] Dasar hukum dalam Pembuatan Bukti Sebagai Ahli Waris seperti tercantum dalam :[7]
Surat Departemen Dalam Negeri Direktorat Jendral Agaria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster), Tanggal 20 Desember 1969, Nomor Dpt/12/63/12/69 Tentang Surat Keterangan Warisan Dan Pembuktian Kewarganegaraan.[8] juncto pasal 42 ayat 1 PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Juncto ketentuan pasal 111 ayat 1 huruf c Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang berbunyi : c. Surat tanda bukti sebagai ahli waris yang dapat berupa :
·         Wasiat dari pewaris, atau
·         Putusan Pengadilan, atau
·         Penetapan Hakim/Ketua Pengadilan, atau
·         bagi warga negara Indonesia penduduk asli : surat keterangan ahli waris yang dibuat oleh para ahli waris (dibawah tangan dan bermeterai) dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia.
·         bagi warga negara Indonesia keturunan atau golongan Eropa, Tionghoa, Timur Asing (kecuali orang Arab yang beragama Islam) : Akta keterangan hak mewaris dari Notaris.
·         bagi warga negara Indonesia keturunan atau golongan Timur Asing lainnya : Surat Keterangan waris dari Balai Harta Peninggalan.
Dalam pembuatan wasiat tidak ada pembedaan penggolongan dan siapa atau lembaga yang berwenang membuat dan menyimpan wasiat semuanya dibuat dan disimpan oleh notaris kecuali untuk wasiat yang dibuat dibawah tangan akan tetapi kembali lagi harus disimpan oleh notaris.[9] Sebab wasiat merupakan surat dimana memuat keinginan-keinginan terakhir seseorang yang telah dewasa yang akan dilaksanakan apabila yang bersangkutan meninggal dunia. Lebih sering  dalam wasiat seseorang memuat keinginannya yang terakhir berkaitan dengan harta yang dimilikinya yang hendak ia berikan atau wariskan kepada orang-orang yang disayanginya, namun tidak jarang memuat keinginannya mengenai hal-hal lain seperti penguburannya kelak,[10] sehingga si pewaris bisa setiap saat merubah isi wasiatnya. Pada prinsipnya pewaris dalam pembuatan wasiat ini harus bebas dari intervensi pihak manapun, maka ada jaminan bahwa seseorang membuat wasiatnya sesuai kehendak bebasnya sendiri tanpa dipengaruhi orang lain, termasuk notaris sendiri.
Akan tetapi kadang para ahli waris (baik ahli waris testamentair maupun legitimaris) tidak mau melaksanakan wasiat tersebut, karena mungkin hutangnya lebih banyak dari harta warisannya atau karena begitu banyak keinginan dari pewaris yang dituangkan dalam wasiat yang dibuat sendiri oleh pewaris maupun melalui notaris.[11]
Dalam pasal 833 ayat (1) KUHPerdata berisi : “Sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum, memperoleh hak atas segala barang, segala hak dan segala piutang yang meninggal dunia”. Apa yang tercantum dalam Pasal 833 ayat (1) KUHPerdata adalah hak saisine. Hak saisine tidak hanya pada pewarisan menurut Undang-Undang tetapi juga ada pada pewarisan dengan adanya surat wasiat (Pasal 955 KUHPerdata), Hak ini ialah yang terpenting dan merupakan ciri khas dari hukum waris barat, yang diatur dalam Pasal 1066 KUHPerdata berisi sebagai berikut :
Ayat (1) : ”Tiada seorangpun yang mempunyai bagian dalam harta peninggalan diwajibkan menerima berlangsungnya harta peninggalan itu dalam keadaan tak terbagi”.
Ayat (2) : ”Pemisahan harta itu setiap waktu dapat dituntut biarpun ada larangan untuk melakukannya”.
Dari dua ketentuan ayat di atas jelas menggambarkan ciri khas masyarakat Eropa Barat, yaitu individualis. Jadi, seketika warisan terbuka, seketika itu juga dapat dituntut pembagian warisan, apabila di antara para ahli waris disepakati bersama adanya pembagian warisan, maka kesepakatan tersebut wajib dibuat dihadapan Notaris, dengan tidak melihat apakah ada larangan/tidak atau apakah ada anak yang belum dewasa/tidak, meskipun anak ini sebenarnya menghendaki kesatuan harta untuk pendidikannya. Bila terjadi diantara para ahli waris yang membutuhkan kesatuan harta, maka sebetulnya ada ketentuan mengenai penundaan pembagian warisan yang sifatnya tidak mutlak, yaitu yang diatur dalam Pasal 1066 ayat (3) KUHPerdata sebagai berikut : “Namun dapatlah diadakan persetujuan untuk selama satu waktu tertentu tidak melakukan pemisahan”. Jadi bila dikehendaki, penundaan pembagian warisan, bisa dilakukan dengan persetujuan terlebih dahulu, dan harus ada kata sepakat bulat, tetapi persetujuan yang demikian ini, hanyalah mengikat untuk selama 5 tahun, dan setelah lewat tenggang waktu tersebut, persetujuan itu bila dikehendaki bisa diperpanjang lagi untuk masing-masing paling lama 5 tahun. Hal ini seperti apa yang dinyatakan dalam Pasal 1066 ayat (4) KUHPerdata sebagai berikut : ”Persetujuan yang demikian hanyalah mengikat untuk 5 tahun, namun setelah lewatnya tenggang waktu ini, dapatlah persetujuan itu diperbaharui”. Jadi persetujuan itu hanya untuk paling lama 5 tahun dan tidak bisa misalnya diperjanjikan sampai anak-anak menjadi dewasa.
Dari pasal tersebut dan dengan adanya alasan asas kebebasan berkontrak, pada dasarnya para ahli waris bisa membuat kesepakatan atau perjanjian mengenai pembagian warisan dan penundaan pembagian warisan, tetapi bagaimana jika ada wasiat dan para ahli waris baik ahli waris testamentair maupun legitimaris membuat kesepakatan atau perjanjian untuk tidak melaksanakan wasiat tersebut atau mengenyampingkan wasiat tersebut, padahal wasiat merupakan keinginan terakhir dari pewaris, seperti dalam ilustrasi ini : Almarhum/ah meninggalkan wasiat yang mengecualikan salah satu ahli waris legitimaris (punya hak mutlak/LP) dan almarhum/ah mengangkat seorang pelaksana wasiat (bukan termasuk ahli warisnya), kemudian para ahli waris sepakat akan menjual harta warisan dengan mengadakan kesepakatan dengan ahli waris yang dikecualikan, disinilah masalah hukum itu muncul apakah semudah itu wasiat dikecualikan oleh para ahli waris pada hal wasiat bukan merupakan perjanjian sebab asasnya perjanjian adalah bentuknya bebas.
Pada hal, di dalam pasal 1005 ayat 1 KUHPerdata mengenai pelaksana wasiat, pengangkatan dan menetapkannya dalam akta wasiat, wasiat dibawah tangan (codicil) atau akta notaris khusus, dimana di dalam akta/surat tersebut dapat diangkat seorang atau lebih (jika lebih dari seorang maka mereka bertanggung jawab secara tanggung renteng  (pasal 1005 ayat 2 KUHPerdata jo pasal 1016 KUHPerdata) dan pelaksana wasiat adalah orang yang melakukan perbuatan hukum atas nama orang lain, yaitu para ahli waris dalam urusan harta peninggalan, berdasarkan perintah orang lain, yaitu pewaris, yang pelaksanaannya tidak tergantung pada para ahli waris, namun sementara terikat oleh karena pelaksanaan perintah itu sendiri.
Akan tetapi dalam Pasal 1008 KUHPerdata berbunyi “jika semua waris bersepakat, mereka dapat menghentikan penguasaan tersebut, asal saja mereka memberikan kesempatan kepada para pelaksana wasiat itu untuk membayar atau menyerahkan segala hibah wasiat yang bersahaja dan tak bersyarat, ataupun membuktikan bahwa hibah-hibah itu sudah dipenuhi”. Pasal tersebut memberikan peluang bagi semua ahli waris untuk dapat bersepakat menghentikan penguasaan pelaksana wasiat.
Pembuatan wasiat sangat penting, karena walaupun bersifat personal pembuatan wasiat adalah untuk melindungi harta yang diperoleh bertahun-tahun yang penuh perjuangan dan memberikan kepastian hukum bagi pewaris dan ahli waris baik testamentair maupun legitimaris.
Jadi untuk pembagian warisan akan kembali pada peraturan awal hukum waris yang dianut, apakah dia tunduk pada Hukum Perdata (KUHPerdata/BW), Hukum Islam, Hukum adat atau yang lain. Akta wasiat kalau dibuat menjadi semacam Undang-Undang bagi mereka. Karena dalam pembagian warisan jika ada wasiat akan berbeda dalam pembagian warisan berdasar wasiat. Kalau wasiat orang yang tidak ada hubungan darahpun bisa dapat wasiat, tetapi kalau Hukum Waris maka warisan akan dibagi kepada yang berhak sesuai dengan garis keturunan.


[1] Pasal 1 ayat 1 jo Pasal 15 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
[2] Wasiat termasuk dalam hukum mengenai pewarisan terdapat dalam Buku II KUHPerdata tentang kebendaan dalam bagian Wasiat.
[3] Adanya Pewaris, yaitu : seseorang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta peninggalan, dan harta peninggalan atau warisan yang di tinggalkan yang berupa aktiva dan passiva, serta Ahli waris, yaitu : orang-orang yang baik untuk seluruhnya atau untuk sebagiannya secara berimbangan berhak untuk menerima harta peninggalan dari pewaris. Dalam Eman Suparman, Hukum Waris Di Indoesia dalam Prespektif Islam, Adat dan BW, Refika Aditama, Bandung, 2005 hal. 27-30.
[4] Surat Keterangan Waris yang selama ini kita kenal merupakan terjemahan dari Verklaring Van Erfrecht. Kalau kita mau membaca Kamus Hukum Bahasa Belanda, kita akan menemukan arti atau pengertian mengenai Verklaring Van Erfrecht, terutama arti Verklaring. Bahwa Verklaring atau Verklarend mempunyai 2 (dua) arti, yang pertama berarti Menerangkan atau Menjelaskan, Keterangan, dan yang kedua berarti Menyatakan, Mendeklarasikan atau Menegaskan. Verklaring dalam arti menerangkan merupakan arti secara umum, yang dalam Bahasa Inggris disebut Information, jadi hanya merupakan pemberian keterangan dalam arti yang umum dan tidak mengikat secara hukum siapapun, baik yang memberikan keterangan maupun yang menerima keterangan. Sedangkan Verklaring dalam arti sebagai menyatakan berarti penjelasan dalam arti yang khusus dan mengikat secara hukum bagi yang menerima pernyataan, dan bagi mereka yang tidak menerima pernyataan tersebut wajib untuk membuktikannya secara hukum. Pernyataan seperti ini dalam Bahasa Inggris disebut Declaration. Dalam, Habib Adjie, Kesetaraan Dalam Pembuatan Bukti Sebagai Ahli Waris, dalam www.habibadjie.com, di akses tanggal 9 Juni 2009.
[5] Habib Adjie, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan tentang Notaris dan PPAT), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hal. 215.
[6] Habib Adjie, Pembuktian Sebagai Ahli Waris Dengan Akta Notaris (dalam bentuk akta keterangan ahli waris), Mandar Maju, Bandung, 2008, hal. 4-6.
[7] Ibid. hal. 7.
[8] Mengenai Pembuktian Kewarganegaraan sudah tidak berlaku lagi, karena sudah dicabut sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.
[9] Pasal 931 KUHPerdata : Surat wasiat hanya boleh dibuat, dengan akta olografis atau ditulis tangan sendiri, dengan akta umum atau dengan akta rahasia atau akta tertutup. Dan Pasal 932 KUHPerdata : Wasiat olografis harus seluruhnya ditulis tangan dan ditandatangani oleh pewaris. Wasiat ini harus dititipkan oleh pewaris kepada Notaris untuk disimpan. Dibantu oleh dua orang saksi, Notaris itu wajib langsung membuat akta penitipan, yang harus ditandatangani olehnya, oleh pewaris dan oleh para saksi, dan akta itu harus ditulis dibagian bawah wasiat itu bila wasiat itu diserahkan secara terbuka, atau di kertas tersendiri bila itu disampaikan kepadanya dengan disegel; dalam hal terakhir ini, di hadapan Notaris dan para saksi, pewaris harus membubuhkan di atas sampul itu sebuah catatan dengan tanda tangan yang menyatakan bahwa sampul itu berisi surat wasiatnya. Dalam hal pewaris tidak dapat menandatangani sampul wasiat itu atau akta penitipannya, atau kedua-duanya, karena suatu halangan yang timbul setelah penandatangan wasiat atau sampulnya, notaris harus membubuhkan keterangan tentang hal itu dan sebab halangan itu pada sampul atau akta tersebut.
[10] Grace Giovani, Wasiat dan Prosedurnya, dalam www.notarisgracegiovani.com, Tuesday, 16 September 2008, di akses tanggal 9 Juni 2009.
[11] Hak untuk menolak warisan diatur dalam Pasal 1045 jo Pasal 1051 KUHPerdata. Seorang ahli waris menurut Pasal 1045 KUHPerdata tidak harus menerima harta warisan yang jatuh kepadanya, bahkan apabila ahli waris tersebut telah meninggal dunia, maka ahli warisnya pun dapat memilih untuk menerima atau menolak warisan (pasal 1051 KUHPerdata).