Rabu, 05 September 2012

PROSEDUR PENDIRIAN PT. PMA

Dalam mendirikan suatu Perseroan Terbatas (PT) disyaratkan bahwa seluruh pemegang sahamnya adalah Warga negara Indonesia . Dalam hal terdapat unsur asing baik sebagian ataupun seluruhnya, maka PT tersebut harus berbentuk PT. PMA (Penanaman Modal Asing), TERMASUK JUGA APABILA SALAH SATU PENDIRINYA MERUPAKAN PT PMA. Suatu PT biasa yang dalam perkembangannya memasukkan pemodal baru yang berstatus asing (baik itu perorangan maupun badan hukum) maka PT tersebut harus merubah statusnya menjadi PT. PMA.


Secara umum, syarat-syarat dan tahapan-tahapan untuk mendirikan PT. PMA adalah sebagai berikut:

A.  PENGAJUAN IJIN SEMENTARA/IJIN PRINSIP  UNTUK PENDIRIAN PT PMA MELALUI BPKM

1.            Identitas perusahaan yang akan didirikan, yang meliputi:

a.            Nama Perusahaan;
b.            Kota sebagai tempat domisili usaha, termasuk rencana lokasi pelaksanaan proses produksi atrau kegiatan usahanya (JIKA BERBEDA DENGAN DOMISILI USAHA);;
c.            Jumlah Modal;
d.            Nama pemegang saham dan presentase modal;
e.            Susunan Direksi dan Komisaris;
f.              Maksud dan tujuan kegiatan usaha (lingkup usahanya)


2.            Pengajuan permohonan tersebut harus mengisi surat permohonan (INVESTMENT APPLICATION UNDER THE FOREIGN INVESTMENT LAW – terlampir) dengan melampirkan dokumen2 sebagai berikut:

a.            PENDIRI ASING, melampirkan:

1) Anggaran dasar Perusahaan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris     berikut seluruh perubahan-perubahannya, pengesahannya ataupun     pelaporan/pemberitahuannya atau
2) Copy passport yang masih berlaku dari pemegang saham individual

b.            PERUSAHAAN PMA, melampirkan:

1)  Anggaran dasar Perusahaan dalam bahasa Indonesia atau  bahasa Inggris     berikut seluruh perubahan-perubahannya, pengesahannya ataupun     pelaporan/pemberitahuannya;
2)  NPWP Perusahaan

c.            PENDIRI INDONESIA , melampirkan:

1) Anggaran dasar Perusahaan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris     berikut seluruh perubahan-perubahannya, pengesahannya ataupun     pelaporan/pemberitahuannya atau KTP untuk individual;
2)  NPWP pribadi;


d.       1.   Flowchart proses produksi dan bahan baku (raw materials) yang dibutuhkan untuk proses industri tersebut
                          2.   Descripsi/explanation untuk proses kelangsungan bisnis;

e.        Asli surat kuasa (dalam hal pendiri diwakili oleh orang/pihak lain) ;

f.              Kelengkapan data lain yang dibutuhkan oleh Departemen terkait (bila ada)        dan dinyatakan dalam “Technical guidance’s book on investment        implementation”. Untuk sector tertentu, contohnya sector pertambangan yang melakukan      kegiatan ekstraksi, sektor energi, perkebunan kelapa sawit dan perikanan, membutuhkan Surat Rekomendasi dari Departemen teknis terkait.

g.            Dalam sektor bisnis yang diperlukan dalam hal kerja sama:

1)  Perjanjian kerja sama (bisa berupa Joint Venture, Joint   Operation, MOU, dll) antara pengusaha kecil dan pengusaha menengah/besar yang menyebutkan pihak-pihaknya, system kerjasamanya, hak dan kewajibannya.
2)   Surat Pernyataan dari perusahaan kecil yang memenuhi criteria sebagai   Perusahaan Kecil berdasarkan Peraturan No. 9/1995.

Catatan: untuk persyaratan poin f akan dikoordinasikan oleh BKPM dengan institusi/Departemen terkait.
Setelah berkas lengkap, ijin baru dapat diproses di BKPM selama jangka waktu + 2 bulan
Ijin BKPM tersebut berlaku sebagaimana halnya Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP) pada PT biasa

B.          PEMBUATAN AKTA PENDIRIAN PT PMA

C.          PENGURUSAN DOMISILI

D.          PENGURUSAN NPWP YANG KHUSUS UNTUK PT. PMA DAN SEKALIGUS BISA MENGURUS SURAT PKP (PENGUSAHA KENA PAJAK)  PADA KPP KHUSUS PMA

E.           PEMBUKAAN REKENING ATAS NAMA PT DAN PENYETORAN MODAL SAHAM DALAM BENTUK UANG TUNAI KE KAS PERSEROAN

F.           PENGAJUAN PENGESAHAN KE KEMENTRIAN HUKUM DAN HAM RI

G.          PENGURUSAN TDP DAN WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN

H.          MENUNGGUH HASIL PENGUMUMAN BNRI

 Apabila merupakan industri, maka harus diurus Ijin Lokasi, Undang-Undang gangguan (HO) nya, Surat Ijin Usaha Industri.

Dalam hal perusahaan tersebut akan memasukkan mesin-mesin pabrik, karena berstatus PT PMA, maka ada subsidi atau keringanan pajak bea masuk atas mesin-                                                                              mesin tersebut. Namun untuk itu, PT tersebut harus mengurus Ijin lagi di BKPM,
yaitu: Masterlist dan APIS.

Setelah itu, pada saat mesin akan masuk, ybs harus mengurus surat bebas bea
masuknya pada KPP PT PMA,  yang disebut: “SKBPPN” dan dilanjutkan dengan
ijin dari Bea cukai berupa Surat Registrasi Produsen (SRP) atau Surat Registrasi Importir (SRI). 

Setelah perusahaan berjalan beberapa waktu, maka akan dilanjutkan dengan pengurusan Ijin Usaha Tetap (IUT) pada BKPM.

Bagan ini termasuk untuk Pendirian PT bukan PMA :




CANGA : Sailing In Dangerous Waters


Bajak laut dan perompakan di perairan Asia Tenggara memiliki akar sejarah yang panjang dan belum tergerus oleh waktu. Hingga tahun 1994, ingatan tentang perompak Tobelo dari abad ke-19 masih dipakai oleh masyarakat di beberapa wilayah Sulawesi Tengah untuk menakuti anak-anak agar patuh . Orang Tobelo,digambarkan sebagai predator tak kenal belas kasihan, aktif di abad ke-19, adalah satu dari banyak kelompok di mana perompakan merupakan sumber yang penting bagi penghidupan di perairan bagian timur Indonesia. Artikel ini menguraikan bagaimana kelompok perompak ini berfungsi sebagai bagian dari sistem politik di Indonesia Timur dan kemudian berakhir dengan ekspansi maritim dari penguasa kolonial di abad ke sembilan belas.

  Kelompok bersenjata yang bersiliweran adalah pemandangan biasa di kepulauan Indonesia bagian timur pada abad 17 dan 18. Mereka aktif bukan saja pada masa perang tetapi juga di masa-masa yang relatif damai. Perompak adalah sebagian dari kelompok yang memiliki mobilitas tinggi dan terkait dengan pembajakan, kegiatan politik, dan perdagangan. Kelompok-kelompk ini juga terkait dengan pusat-pusat kekuasaan di berbagai wilayah  dan khususnya aktif di batas luar suatu kerajaan dan mereka juga sering menjalin hubungan dengan elit penguasa lokal dan menetap untuk waktu yang lama.

Dua pusat kekuasaan yang utama di Indonesia Timur adalah Ternate dan Bone. Lingkungan pengaruh dari keduanya didasarkan pada aliansi dengan vassal (penguasa bawahan) masing-masing dan dengan para pedagang, bangsawan, masyarakat laut dan perompak. Berbeda dengan sistem ideal Belanda yaitu sistem penataan hubungan politik yang terpusat di mana pengusahaan keamanan dan ketertiban serta mediasi merupakan fungsi yang penting, sistem vassal (tributary sistem) terdiri dari rangkain perjanjian perdamaian (non-agression pacts) yang dinegosiasikan secara terpisah antara pusat kekuasaan dengan masing-masing vassal. Sebuah pusat kekuasaan tidak bisa mengontrol pergerakan dan tindakan dari kerajaan bawahan tapi dapat melakukan tindakan militer untuk membalas tantangan atau kelalaian dalam pemberian upeti, yang mana tindakan militer ini melibatkan kelompok perompak dan kerajaan bawahan lainnya.
Bagi sebuah pusat kekuasan, adalah penting untuk mengatur dengan cara-cara yang menjamin bahwa potensi kekerasan tidak akan diarahkan kepada mereka. Dan agar kerajaan bawahan dan para perompak tidak bersekutu melawan mereka.Atas alasan ini, adalah penting untuk mengarahkan kekerasan keluar perbatasan dengan mengizinkan kerajaan bawahan dan para bangsawan  dengan pengikut bersenjatanya untuk melakukan aktifitas kekerasan jauh dari pusat kekuasaan . Pantai timur Sulawesi dengan tiga kerajaan maritimnya yaitu Buton, Tobungku, dan Banggai terletak di antara lingkungan pengaruh Bone dan Ternate. Sebagai konsekuensinya, ketiganya merasakan dampak dari kelompok perompak dari kedua pusat kekuasaan tersebut dan harus mencari perlindungan dari keduanya dengan – dengan hasil  yang fluktuatif.

Pada tahun 1743, sebuah perjanjian dinegosiasikan oleh Ternate untuk menyelesaikan konflik antara dua vassal yaitu Banggai dan Tobungku, sehingga keduanya bisa berpartisipasi dalam ekspedisi militer yang dipimpin oleh Ternate. Ketentuan akhir dari perjanjian ini, menetapkan bahwa Sultan Ternate berhak menerima bagian dari rampasan perang.
Dengan perluasan kekuasaan oleh kekuasaan kolonial pada awal abad ke -19, perompakan dianggap sebagai tindakan kriminal  dan harus dibasmi. Belanda harus berurusan tidak hanya dengan perompakan tetapi juga dengan sistem ekonomi dan politik yang melibatkan para perompak. Perompakan adalah sebuah cara untuk meningkatkan upeti, meningkatkan kekayaan dan membiayai perang yang terjadi dalam skala besar di timur Nusantara pada era Perang Nuku melawan VOC.

Pada dekade 1820-an dan 1830-an beberapa beberapa usaha yang kemudian gagal dilakukan untuk mengubah kelompok perompak semi-nomadik  menjadi masyarakat nelayan dan petani yang menetap dengan jalan negosiasi dan pemberian lahan. Usaha terbesar ialah di era pengganti Nuku, raja Jailolo II, Muhammad Asgar yang diberikan tanah di pantai utara Seram . Disini ribuan pengikut raja Jailolo yang hidup berkelana selama Perang Nuku diharapkan menetap secara permanen. Tanah yang kurang subur menyebabkan kekurangan makanan dan juga diduga karena kontak yang terus-menerus dengan para perompak menyebabkan usaha ini berakhir dalam kegagalan.

Dua usaha yang serupa dalam skala yang lebih kecil dilakukan oleh pemerintah Belanda untuk memukimkan dan menenangkan perompak Tobelo di sekitar Flores, yang juga terdiri dari bekas pengikut Nuku. Yang pertama dilakukan oleh Daeng Magasing, bangsawan dari Bonerate yang memiliki hubungan dengan para bajak laut. Dia menggunakan kearifan lokal dan statusnya untuk berhubungan dengan para perompak dan memukimkan mereka di Tanah Jampea. Pulau kecil di Selatan Selayar ini kehabisan penduduk karena serangan yang berkelanjutan. Disini para perompak akan dimukimkan dan diharapkan menjadi petani dan hidup dengan damai dalam perlindungan pemerintah Belanda. Pada tahun 1830, 15 orang pemimpin bajak laut Tobelo menandatangani perjanjian damai yang diperkuat dengan sumpah dengan Daeng Magasing. Tiga tahun kemudian usaha ini gagal karena terbukti bahwa Daeng Magasing sendiri terlibat dalam aksi pembajakan dengan menggunakan suplai yang diberikan oleh Belanda.

Usaha kedua untuk ‘menjinakkan’ orang Tobelo dilakukan oleh petualang Belanda, Jan Nicholas Vosmaer, yang membangun pos perdagangan di pantai timur Sulawesi. Dia didukung oleh pemerintah Belanda. Vosmaer melakukan negosiasi dengan banyak pemimpin perompak Tobelo sama seperti yang pernah dilakukan Daeng Magasing, tapi kematiannya membuat usaha ini harus terhenti di tengah jalan. Seandainya pun dia tetap hidup diragukan jika dia bisa menjinakkan para perompak karena keamanannya sendiri tergantung kepada seorang pemimpin yang terkait dengan bajak laut. Usaha awal untuk mengubah dan memukimkan bajak laut gagal selama Belanda hanya memiliki kontrol yang terbatas di perairan timur dan tidak memiliki daya untuk mencegah kerja sama antara pembajak dan elit politik lokal.
Pemberantasa bajak laut merupakan salah satu pembenaran utama bagi ekspansi penguasa kolonial di perairan timur Indonesia di paruh kedua abad ke-19.

Efek samping yang tidak diharapkan dari operasi pemberantasan bajak laut di sekitar Flores adalah peningkatan perompakan di pantai timur Sulawesi.

Tahun 1846, tiga pemimpin bajak laut Tobelo dan para pengikutnya tiba di Banggai dimana mereka disambut sebagai sekutu oleh para bangsawan Ternate yang sedang menghadapi pemberontakan oleh penguasa lokal (era ini Banggai diperintah oleh Raja Agama.Karena keterlibatan para bajak laut Tobelo, maka perang untuk memadamkan pemberontakan tersebut dinamakan “Perang Tobelo”). Tahun berikutnya perang dimenangkan oleh Ternate dan para bajak laut, dan orang Tobelo kemudian merompak di sepanjang pantai wilayah tersebut dan berbagi hasil jarahan dengan para bangsawan Ternate yang menjadi pelindung mereka terhadap Belanda. Para bangsawan Ternate juga menjadi penadah bagi budak hasil tangkapan para bajak laut Tobelo.

Belanda kemudian menyadari bahwa menekan para perompak memerlukan kerja sama dengan sekutu mereka. Tahun 1853 sultan Ternate mengeluarkan dekrit yang menyerukan orang Tobelo untuk pulang ke Ternate dalam waktu satu tahun atau jika tidak akan diperlakukan sebagai bajak laut oleh Belanda. Banyak orang Tobelo  yang mengalir ke Sulawesi Timur untuk melapor ke wakil Ternate tapi dicegat oleh kapal perang Belanda dan langsung di angkut dan dipulangkan ke Ternate. Pada tahun 1870-an dan 1880-an, ekspedisi anti-bajak laut tidak lagi dilakukan dengan kapal-kapal Eropa tapi dengan menggunakan perahu kora-kora yang bisa memasuki perairan dangkal dan mampu bermanuver untuk mengejar kapal-kapal kecil. Para penguasa lokal dan para bangsawan dikenakan denda yang berat jika diketahui menjalin hubungan dengan bajak laut Tobelo dan perompak lainnya. Perompak Tobelo terakhirdi angkut dari timur Sulawesi pada tahun 1880-an. Sebagai dampak langsungnya, terjadi pemukiman kembali di pesisir pantai Sulawesi, kebangkitan perdagangan lokal, dan booming dalam produksi kopra. Perairan timur Sulawesi akhirnya ditenangkan bagi penguasa kolonial.

Artikel di IIAS Newsletter edisi 36 Maret 2005
Didasarkan pada disertasi Phd Esther Velthoen di Murdoch University tahun 2002 dengan judul “Contested Coastlines : Diaspora,Trade and Colonial Expansion in Eastern Sulawesi 1680-1905”

Terjemahan Edward Djawa

peta aktifitas Canga

 http://www.facebook.com/notes/adrian-noel/canga-sailing-in-dangerous-waters/10151046582369502

CANGA II

Pada abad ke-19, beberapa perairan penting di Indonesia dihantui oleh perompakan-perompakan yang dilakukan para bajak laut. Aksi-aksi para bajak laut ini sangat memusingkan Pemerintah Kolonial Belanda dan angkatan lautnya. Perairan-perairan yang menjadi sasaran operasi bajak laut antara lain perairan Manado, Kepulauan Sulawesi Tenggara, pantai timur Sulawesi, Nusa Tenggara, pantai utara Jawa Timur, serta Maluku. Sampai paruh pertama abad ke-19 ini, pelaku perompakan terutama terdiri dari orang-orang Filipina Selatan, yakni orang Balangigi, Mindanao dan Sulu.

J.A. Muller19 melaporkan bahwa Komandan kapal Willem I, Wolterbeek Muller, mengalami musibah karam kapalnya ketika tengah mengejar bajak laut “Maluku.” Tetapi, para bajak laut tersebut ternyata orang Mindanao yang perahunya dilengkapi dengan senjata api.

Bajak laut Mindanao yang terkenal ketika itu adalah gerombolan yang dipimpin Syarif Takala. Gerombolan ini beroperasi di sekitar pantai timur Kalimantan dan Sulawesi Utara. Pada 1835, Syarif Takala tertangkap di Batu Putih oleh kapal perang Heldin, dan bersamanya ikut diringkus anak buahnya yang baru selesai beroperasi di Sungai Berau. Ketika ditangkap, Syarif Takala baru saja menikahi puteri Sultan Paji Alam dari Kesultanan Panjang.

Disamping gerombolan Syarif Takala, ada gerombolan bajak laut Filipina terkenal lainnya pimpinan Dato Kaiya, yang juga berhasil diringkus Belanda. Baik Syarif  Takala maupun Dato Kaiya diseret ke pengadilan kemudian dihukum.

Setelah tertangkapnya kedua pentolan bajak laut Filipina itu, perompakan di perairan Kalimantan mereda untuk sementara waktu. Tetapi, dengan ketatnya patroli angkatan laut di kawasan tersebut, para bajak laut Filipina Selatan memindahkan daerah operasinya ke perairan Nusa Tenggara – Flores, Bima dan sekitarnya – serta Kepulauan Maluku.

Sekitar pertengahan abad ke-19, gerombolan perompak Filipina selatan mendapat saingan baru: gerombolan bajak laut Tobelo-Galela. Pada 1850, angkatan laut Belanda melaporkan bahwa Kepulauan Bawean di pantai utara Jawa Timur diserang oleh tidak kurang dari 15 perahu bajak laut. Perahu-perahu yang digunakan para perompak cukup besar dan dikayuh puluhan orang – tiap perahu memuat sekitar 60 orang – serta dilengkapi meriam, senjata api, dan amunisi.

Perahu-perahu bajak laut itu mendarat di perkampungan ketika kaum lelakinya tengah berlayar untuk berdagang. Rumah-rumah penduduk dibakar setelah harta bendanya dirampok.Sementara perempuan dan anak-anak ditangkap untuk dijadikan budak belian. Patroli angkatan laut yang dikirim ke tempat kejadian melaporkan bahwa perompakan dilakukan oleh bajak laut domestik, bukan perompak Filipina Selatan.

Pada 1852, angkatan laut juga melaporkan terjadinya serangkaian aksi perompakan di perairan Flores dan Sumbawa. Dari para perompak yang berhasil ditangkap, diketahui bahwa para bajak laut itu berasal dari Tobelo, selain sebagiannya berasal dari Filipina Selatan.Laporan-laporan tahun selanjutnya mengungkapkan bahwa muncul pula bajak laut yang berasal dari Galela. Bahkan, secara insidental, ditemukan pula orang-orang Loloda, Patani dan Gebe yang terlibat dalam aksi-aksi perompakan.

Karena aksi-aksi perompakan yang dilakukan para bajak laut asal Tobelo dan Galela begitu meresahkan, Pemerintah Belanda mendekati para sultan Maluku dan meminta bantuan mereka – terutama Sultan Ternate dan Bacan yang kawulanya termasuk orang Tobelo dan Galela – untuk menanggulanginya. Tetapi, upaya ini tidak segera menunjukkan hasil. Bahkan, para perompak, selain menyerang daerah-daerah seperti Banggai, Buton, dan Tombuku, beroperasi di depan mata para sultan sendiri, seperti di Bacan, Obi, Sanana dan Seram. Pulau-pulau yang berdekatan dengan Tidore dan Ternate, semisal Moti, Makian, dan Mare, tidak luput dari sasaran operasi para bajak laut Tobelo dan Galela.

Salah satu pemimpin bajak laut Tobelo yang sangat ditakuti adalah Laba, yang pada 1855 tertangkap sedang bersembunyi di kampungnya di Tobelo. Residen Ternate, Stierling, setelah menerima informasi bahwa Laba berada di Gamhoku, Tobelo, segera mengirim kapal perang Visivius dan menuntut penyerahan Laba yang berada dalam perlindungan penduduk Gamhoku.

Tetapi, penduduk kampung ini menolak tuntutan tersebut. Akibatnya, Stierling memerintahkan kapal perangnya menembaki dan membakar kampung Gamhoku. Setelah kampung itu rata dengan tanah, penduduknya dipindahkan dari Gamhoku (“kampung yang terbakar”) ke Gamsungi (“kampung baru”), yang kemudian menjadi ibukota Kecamatan Tobelo hingga sekarang.Laba sendiri tertangkap dan diseret ke pengadilan di Ternate, serta dijatuhi hukuman pengasingan ke Bengkulu dan meninggal di tempat pengasingannya itu.

Dari laporan angkatan laut Belanda yang didasarkan pada wawancara dengan para perompak yang tertangkap maupun tawanan para bajak laut yang dibebaskan, diketahui bahwa hampir semua gerombolan bajak laut ketika itu dipimpin oleh orang Tobelo atau Galela.

Gerombolan-gerombolan perompak ini beroperasi dengan menggunakan perahu-perahu yang dapat mengangkut puluhan pendayung dan ratusan pembajak. Disamping itu, perahu-perahunya dipersenjatai dengan meriam dan senjata api. Bila kepergok kapal patroli Belanda, mereka melakukan perlawanan dan sering terjadi tembak-menembak dengan kapal-kapal Belanda itu.

Dalam melakukan aksinya, para bajak laut Tobelo-Galela tidak diskriminatif. Pada Nopember 1874, perahu Sultan Buton dirompak dan sultan sendiri ikut bertempur menghadapi para perompak Galela. Para bajak laut Tobelo merompak perahu Sultan Banggai dalam perjalanannya ke Ternate, ketika ia akan beraudiensi dengan Sultan Ternate. Semua isi perahu dikuras habis, termasuk sejumlah upeti yang akan dipersembahkan kepada Sultan Ternate. Pada tahun yang sama, perompak Tobelo berhasil menguras sebuah kapal niaga di Seram.

Tetapi, dalam perompakan di pantai timur Sulawesi, misalnya, aparat Kesultanan Ternate yang ditempatkan di Banggai juga turut terlibat. Utusan Ternate dan Sekretaris Kerajaan Banggai, keduanya orang Ternate, merupakan penadah hasil rompakan. Mereka juga menjadi “sole agent” pembelian budak hasil tangkapan para perompak Tobelo-Galela.

Berkenan dengan bajak laut Tobelo-Galela ini, A.B. Lapian antara lain mencatat:


  1. Bahwa angka-angka yang dilaporkan Pemerintah Belanda mungkin masih berada jauh di bawah angka sesungguhnya, baik dalam jumlah perahu maupun yang menjadi pelakunya, serta yang menjadi korban sebagai budak.
  2. Penamaan kampung Gamhoku dan Gamsungi, dengan demikian, muncul belakangan, pasca penembakan dan pembakaran yang dilakukan Belanda. Nama kampung Gamhoku sebelum kebakaran tidak begitu jelas.Daerah operasi para perompak itu sangat luas. Pada masa puncaknya, wilayah yang dijangkau para bajak laut sampai ke Laut Jawa. Bahkan, dengan bekerjasama dengan orang-orang Filipina Selatan, wilayah operasi mereka mungkin lebih luas lagi.
  3. Atas dasar hal-hal tersebut, orang-orang Tobelo-Galela yang menjadi bajak laut itu menunjukkan kemampuan mereka mengorganisasikan diri dalam suatu kekuatan yang tangguh menghadapi angkatan laut Belanda.
  4. Kemampuan managemen dan logistik serta kepemimpinan yang piawai dan pengetahuan navigasi serta pelayaran yang luas, dengan demikian, dimiliki para bajak laut Tobelo – Galela.

Untuk menanggulangi ulah bajak laut asal Tobelo-Galela, pada 1878 Said Muhammad, seorang keturunan Arab yang bermukim di Makian, mengorganisasi sebuah badan anti bajak laut yang beranggotakan 125 orang. Kelompok ini mengejar dan menangkap para bajak laut yang ditemukannya. Pada tahun pertama setelah badan ini berdiri, Said Muhammad dan anak buahnya berhasil menangkap 140 bajak laut Tobelo-Galela, yang langsung digiring ke Ternate.

Keberhasilan kelompok Said Muhammad turut berperanserta dalam mengurangi aksi-aksi perompakan, terutama di Kepulauan Bacan dan Sanana-Taliabu. Disamping itu, Sultan dan Residen Ternate mengeluarkan peraturan bersama yang mewajibkan semua perahu orang Galela dan Tobelo memiliki pas jalan apabila hendak berlayar. Perahu yang tidak memiliki pas jalan dianggap sebagai perahu bajak laut.

Pada akhir abad ke-19, gangguan bajak laut yang dilakukan orang Tobelo-Galela berkurang secara drastis, kemudian berakhir. Menurut van Fraassen, berakhirnya aksi perompakan ini secara alami dikarenakan mulai berkembangnya pelayaran kapal-kapal laut.


Gubernur Jenderal Turun-tangan Membasmi Pembajakan
Gubernur jenderal Hindia Belanda, Pahud, mengunjungi Ternate pada Januari tahun 1861. Setiba di Ternate, ia melakukan perundingan dengan Sultan Ternate dan Tidore. Agenda pokok yang dirundingkan adalah usaha-usaha preventif yang harus diambil untuk mencegah kawula kedua kesultanan itu melakukan perompakan, dan bantuan untuk mengatasinya, terutama untuk kasus-kasus pembajakan yang tejadi di Maluku.

Sementara itu, setelah mengetahui bahwa para bajak laut kebanyakan terdiri dari orang Tobelo dan Galela, Pemerintah Hindia Belanda mencoba mendekati Sultan Ternate untuk mengatasinya, karena Tobelo dan Galela berada dalam wilayah hukum Kesultanan Ternate.

Sultan Muhammad Arsyad berjanji akan mengatasinya, seperti telah disebutkan di atas. Bersama Residen Ternate, Sultan kemudian men geluarkan peraturan bahwa semua perahu orang Tobelo dan Galela yang hendak berlayar harus memiliki surat ijin berlayar yang dbubuhi cap Sultan dan Residen. Yang tidak memiliki surat ijin atau pas jalan akan diperlakukan sebagai bajak laut dan ditindak tegas.

Keluarnya peraturan tersebut cukup efektif dalam menurunkan angka perompakan yang melibatkan orang Tobelo-Galela. Pada tahun 1862, misalnya, hanya ditemukan satu perahu Tobelo yang yang melakukan perompakan di pulau Buru, dan beberapa tahun berikutnya tidak terdengar lagi adanya pembajakan yang dilakukan orang Tobelo dan Galela. Baru pada bulan Pebruari 1868, terjadi pembajakan yang dilakuan orang Tobelo terhadap perahu Binongko di Buano, Seram Barat. Dalam kejadian ini, isi perahu ludes dirampok dan awaknya dibunuh.

Pada 1861, Pemerintah Belanda menempatkan satu regu tentara, terdiri dari 6 prajurit pribumi dan seorang kopral Belanda, di Dodinga untuk mengawasi lalu lintas antara Bobaneigo dan Dodinga. Lalu lintas di daerah itu mulai ramai sebagai rute perdagangan darat antara Halmahera dan Ternate. Detasemen tentara tersebut menempati Benteng Dodinga, yang kini tidak ada bekasnya lagi karena digunakan untuk membangun jalan.

Barangkali atas desakan Belanda, Kesultanan Ternate dalam tahun ini melakukan pemecatan terhadap Sangaji Tobelo, Manis. Ia dipecat berkenan dengan maraknya aksi pembajakan di laut yang dilakukan orang Tobelo dan Galela. Demikian pula, Sangaji Galela dipecat dengan alasan yang sama.



 
 http://www.facebook.com/notes/adrian-noel/canga-ii/10151075235129502

CANGA : Our Ancestors Are Sea-Pirates


 Hingga abad ke-19, Asia Tenggara merupakan pusat perdagangan dunia selain Fenesia. Dan sejarahwan mencatat, bahwa siapapun yang menguasai selat Malaka, dia mencengkeram Fenesia. Maraknya perdagangan memunculkan kelompok-kelompok perompak yang berperan sebagai sebuah sub-sistem dari kegiatan perdagangan.
Perairan-perairan yang menjadi sasaran operasi bajak laut antara lain perairan Manado, Kepulauan Sulawesi Tenggara, pantai timur Sulawesi, Nusa Tenggara, pantai utara Jawa Timur, serta Maluku.Membahas perompakan  di kepulauan Nusantara berarti berbicara tentang bajak laut Mangindanao, Dayak Laut dan Tobelo. Kelompok-kelompok bajak laut tersebut menjadikan kepulauan Nusantara sebagai episentrum pembajakan dunia di abad ke-19.

Bajak laut Mangindanao berasal dari Philipina bagian selatan dan terdiri dari orang-orang Iranun (Lanun), Sulu, Balangingi (Samal) dan Tausog (juga sering dilafalkan Toasug). Tapi yang paling terkenal dari kelompok ini adalah Iranun atau Lanun. Orang Iranun berasal dari danau Ranao di pulau Mindanao, yang karena letusan gunung berapi kemudian bermigrasi ke kepulauan Sulu. Mereka adalah kelompok bajak laut yang memiliki sejarah yang panjang. Keberhasilan mereka dalam pembajakan di laut antara lain dikarenakan mereka adalah kelompok yang terorganisasi secara baik dan memiliki sponsorship yang kuat dari para datu Tausog. Orang-orang kaya Tausog menyediakan persenjataan dan perahu, kemudian menampung budak hasil tangkapan untuk kemudian dipasarkan di Jolo, pasar budak terbesar di kepulauan Sulu. Wilayah operasi bajak laut Mangindanao mencakup Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Sumatera, Malaya, Siam dan para sejarahwan meyakini mereka juga beraksi sampai ke teluk Benggala.

 Dayak Laut adalah nama yang diberikan oleh orang barat kepada kelompok penjelajah sungai dari Sarawak. Di kalangan orang Dayak, mereka disebut Orang Iban. Walaupun disebut Dayak Laut, mereka sebenarnya tidak memiliki tradisi maritim dan keterlibatan mereka dalam perompakan adalah karena kerja sama dengan bajak laut Mangindanao.

Orang Tobelo adalah penduduk rimba Halmahera disekitar Danau Lina yang kemudian berpindah ke pantai timur Halmahera Utara setelah lenyapnya orang Moro dari daerah tersebut. Sedangkan sebutan “bajak laut Tobelo” sebenarnya mengacu pada kelompok perompak Tobelo dan Galela. Keterlibatan orang Tobelo dan Galela dalam pembajakan di laut  bisa ditelusuri hingga akhir abad ke-18. Ketika pangeran Nuku dari Tidore mencetuskan pemberontakan, ia berhasil mempersatukan berbagai kekuatan maritim di bagian timur Indonesia, antara lain orang Maba, Patani, Weda, Gebe, Raja Ampat, Biak dan orang-orang Tobelo-Galela yang bermukim di wilayah kesultanan Tidore. Untuk membiayai pemberontakan, mereka melakukan pembajakan dan penangkapan budak serta menyerang kapal dagang dan berbagai kepentingan Ternate dan Belanda di berbagai tempat. Kelompok ini dalam catatan Belanda disebut “Papua Zeerover”, bajak laut Papua. Aktifitas kelompok ini mencakup daerah Ambon, Buru, Seram, kepulauan Aru-Kei, Tanimbar, Sula, Banggai dan Sulawesi Utara.

Untuk mengatasi kelompok bajak laut tersebut, Belanda dan Ternate mengirim sejumlah ekspedisi. Tahun 1780 Belanda mengirim ekspedisi langsung ke jantung para bajak laut. Tim ekspedisi ini terdiri dari 59 tentara Eropa, 22 orang Makassar, 57 orang Bali di bawah pimpinan Captain Heinrich dan penerjemah van Dijk serta kurang lebih 3.000 orang Tobelo dan Galela di bawah pimpinan Letnan Maffa Mira.

Tanggal 20 November 1780, negeri Wossi dan Maba diserang dan berhasil dihancurkan keesokan harinya. Serangan ke Patani tanggal 17 Desember gagal sebab orang-orang Tobelo dan Galela menolak untuk menyerang karena persoalan penjatahan makanan. Pertempuran secara sporadis terus berlangsung di laut, dan tanggal 26 April Patani diserang dan dibakar. Pangeran Nuku dan pengikutnya melarikan diri ke Papua. Selama beberapa tahun orang-orang Tobelo dan Makeang dilibatkan dalam pasukan gabungan Ternate dan Belanda untuk memburu Nuku dan pengikutnya.

Pukulan berat terhadap para bajak laut menyebabkan banyak dari mereka yang menyerah dan mengalihkan kesetiaanya kepada Belanda dan Ternate. Masa tersebut merupakan masa yang paling berat dari perjuangan Nuku. Tapi tahun 1792 merupakan titik balik bagi Nuku setelah ia berhasil membentuk aliansi dengan orang Tobelo, Galela dan Tobaru. Bergabungnya orang-orang Tobelo, Galela dan Tobaru dalam barisan Nuku berhasil mengembalikan motivasi dari mantan pengikut Nuku yang sudah memihak Ternate dan Belanda untuk kembali berjuang di pihak Nuku.

Awal mula keterlibatan orang Tobelo dalam pembajakan digambarkan sebagai berikut :

“Delapan kampung orang Tobelo terletak di pedalaman di tepi sebuah danau. Mereka dikenal sebagai orang-orang yang “kejam dan mematikan”, dan hanya orang-orang Galela dan Tobaru yang berani mengunjungi mereka. Mereka digambarkan memiliki banyak sekali emas dan perak – beberapa dari mereka menggunakan tiga, empat bahkan lima gelang emas atau perak sekaligus. Sumber Belanda mengungkapkan bahwa Sultan Sibori Amsterdam pernah membujuk 600 pejuang Tobelo dengan banyak emas dan perak untuk ikut serta dalam perang melawan VOC pada tahun 1779-1781.

Orang-orang Gamrange (Maba dan Patani), orang Seram Timur dan pemimpin-pemimpin Tidore berperan dalam pembentukan aliansi dengan Tobelo. Aliansi ini dilaporkan terjadi pada tahun 1792. Alferis Hassan dari Tidore melaporkan bahwa sebuah paduakang (jenis kapal) telah merapat di Morotai dengan membawa lima orang Seram Timur serta beberapa orang Maba dan Patani dan mereka telah melakukan upacara tukar-menukar hadiah dengan delapan penduduk Tobelo-tai dan Kao. Orang-orang Seram Timur dan pemimpin-pemimpin Gamrange menghadiahkan dua ekor merpati, sebuah pedang dan tombak kepada anak perempuan Afir, seorang Kapita Laut dari Tobelo. Setelah upacara tukar-menukar hadiah, empat puluh kora-kora disiapkan untuk ekspedisi pembajakan ke Manado”

Dengan demikian aksi para bajak laut terus berlanjut dan bersama Inggris mereka merupakan kekuatan utama yang mengantar Nuku menduduki takhta Tidore dan kemudian menundukkan kekuatan gabungan Ternate - Belanda.

Pada awal abad ke-19 mulai muncul kelompok bajak laut Tobelo yang menjalin kerja sama dengan bajak laut Mangindanao. Para bekas pengikut Nuku yang menyingkir ke Seram Timur bersama raja Jailolo Muhammad Asgar banyak yang bergabung dengan kelompok bajak laut tersebut karena tanah yang kurang subur di Seram Timur tidak mampu mendukung keberadaan kelompok tersebut dan menyebabkan kekurangan pangan. Para bekas pengikut Nuku tersebut terdiri dari kebanyakan orang-orang Halmahera Timur dan orang-orang Tobelo.

Dengan demikian, sejarah maritim di Indonesia Timur mencatat kemunculan kelompok bajak laut Tobelo, dan belakangan muncul pula bajak laut Galela dengan  Seram Timur sebagai salah satu jalur transit sekaligus pemukiman para bajak laut.
Wilayah operasi bajak laut Tobelo mencakup wilayah yang luas, dari perairan Flores di selatan hingga Toli-Toli di utara Sulawesi. Dari kepulauan Maluku hingga pantai utara Jawa Timur. Untuk mendukung operasinya, para bajak laut membangun beberapa pemukiman seperti Tanah Jampea di depan Selayar, Tobungku di pantai Timur Sulawesi dan Toli-Toli di utara Sulawesi. Perairan Flores merupakan wilayah “operasi bersama” antara bajak laut Tobelo dan Mindanao dari Pilipina Selatan. Tetapi pada tahun 1822 Belanda melakukan sebuah operasi anti bajak laut di pulau Sape yang bukan saja berhasil mengalahkan para bajak laut, tetapi juga mengakhiri kerja sama antara bajak laut Tobelo dan bajak laut Mindanao di wilayah perairan Flores. Kelompok bajak laut Mindanao mem-fokus-kan operasinya di Sulawesi Utara, Kalimantan dan Philipina sedangkan bajak laut Tobelo memfokuskan operasinya di pantai timur Sulawesi.

Perbedaan wilayah operasi membuat perbedaan dalam penyebutan kata bajak laut. Di wilayah yang di dominasi oleh bajak laut Mindanao seperti di wilayah pantai barat Sulawesi, Kalimantan,Sumatera dan Malaya, “Lanun” yang berasal dari kata Iranun merupakan sebutan generik bagi bajak laut. Bagi masyarakat Sulawesi Utara, kata Mangindanao adalah sinonim untuk bajak laut. Penduduk kepulauan Sanger menganggap tabu untuk menyebut kata Mangindanao terutama jika sementara berada di tengah lautan. Dalam “sasahara” (bahasa rahasia) penduduk kepulauan Sanger, kata untuk bajak laut adalah Malanghingin, dari kata Balangingi, kelompok bajak laut Philipina Selatan. Sedangkan bagi penduduk pantai timur Sulawesi yang di dominasi oleh bajak laut Tobelo, kata untuk menyebut bajak laut adalah Tobelo, Pabelo, atau Belo.

Setelah orang Iranun meninggalkan perairan Flores dan pantai timur Sulawesi, orang Tobelo merubah modus operandinya, dari perompakan berskala besar menjadi perompakan dalam kelompok-kelompok kecil tetapi menyebar sehingga sulit terdeteksi dan makin menyulitkan pemerintah Belanda dalam operasinya membasmi para bajak laut. (Kelompok terbesar bajak laut Tobelo yang pernah dicatat tahun 1872 adalah yang terlihat di Teluk Tomini yaitu sejumlah 48 perahu. Kelompok tersebut terdiri dari kumpulan perahu kecil yang masing-masing memuat 10 - 60 pembajak. Perahu-perahu ini diikat menjadi satu dan setelah sampai di lokasi tertentu mereka kemudian menyebar ke berbagai arah untuk melakukan pembajakan dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 40-50 pembajak.) Beberapa aksi bajak laut Tobelo yang terekam dalam catatan pemerintah Belanda bisa dilihat disini.

Tahun 1846 tiga orang pemimpin bajak laut Tobelo tiba di Banggai, dimana mereka disambut sebagai sekutu oleh orang-orang Ternate yang sementara menghadapi pemberontakan bersenjata oleh penguasa Banggai, Raja Agama yang didukung oleh orang-orang Makassar. Para bajak laut yang bahu-membahu dengan tentara Ternate berhasil memadamkamkan pemberontakan tersebut dan Sorani, salah satu pemimpin bajak laut diizinkan bermukim di salah satu pulau di kepulauan Banggai dan melakukan penangkapan budak di wilayah tersebut. Para pembesar Ternate menjadi penadah budak hasil tangkapan para bajak laut.

Sementara itu, sebagian bajak laut Tobelo membangun pemukiman di Toli-Toli, dan dari situ melakukan “operasi bersama” dengan para bajak laut Mindanao, Dayak Laut (Iban), dan kelompok perompak lainnya. Toli-Toli merupakan basis untuk operasi di pantai barat Sulawesi, Sulawesi Utara dan Kalimantan. Sebuah catatan pada tahun 1812 menggambarkan Toli-Toli sebagai “the great piratical establishment”. Kerja sama antara berbagai kelompok bajak laut merupakan hal yang lumrah. Merujuk pada sebuah catatan dari tahun 1830, pulau Tanah Laut, di sebelah selatan pulau Kalimantan, merupakan pemukiman kelompok bajak laut yang terdiri dari orang Iranun, gerombolan Haji Jawa dari Kalimantan, orang-orang Tobelo dan orang Bajau.

Selain merompak dan menangkap budak, para bajak laut ini seringkali berfungsi sebagai mercenary (tentara bayaran). Pada tahun 1820-an, para bajak laut membantu sultan Sulu untuk menaklukkan kesultanan Brunei. Sultan Buton pernah menawarkan 100 orang budak bagi para bajak laut Tobelo yang menetap di Kendari untuk membunuh Vosmaer, seorang Belanda yang mendirikan pos perdagangan di Kendari. Permintaan ini ditolak oleh para pemimpin bajak laut, Dagi-dagi dan Kapita Tobungku karena hubungan baik yang telah terjalin antara para bajak laut dan Vosmaer.

Terkadang para penguasa melakukan pembiaran bagi para bajak laut yang beroperasi di wilayahnya karena para bajak laut dapat berperan untuk melemahkan suku-suku yang memiliki potensi untuk menyaingi kekuatan para sultan. Hal ini terjadi misalnya di Nusa Tenggara di mana para sutan Bima membiarkan suku Manggarai diserang oleh para bajak laut. Dengan demikian para sultan Bima meminjam tangan para bajak laut untuk melemahkan suku yang diragukan kesetiaannya terhadap para sultan. Serangan yang berkelanjutan menyebabkan orang Manggarai yang mulanya bermukim di tepi pantai akhirnya berpindah ke pedalaman.

Motivasi di balik Pembajakan di Laut

Menyimak mobilitas dari para bajak laut, penting untuk menggali motivasi yang mendorong sekelompok orang untuk melakukan berbagai aksi pembajakan di laut yang bukan hanya berbahaya, tetapi juga dilakukan dengan taruhan nyawa.

Bagi orang-orang Iranun, menjadi bajak laut merupakan sesuatu yang sudah mendarah-daging. Mereka adalah kelompok manusia yang merasa “dilahirkan untuk membajak di laut” dan perbudakan merupakan aspek penting dalam struktur sosial orang Iranun. Separuh penduduk kepulauan Sulu adalah budak (disebut oripen atau baniaga) yang dipekerjakan di berbagai bidang, dari penangkapan ikan, sebagai pendayung perahu, sampai pengumpulan sarang burung.

Kelompok Dayak Laut (Iban) merompak dengan satu tujuan : memburu kepala. Harga diri dan kehormatan suatu pemukiman orang Iban sangat tergantung pada jumlah kepala yang berhasil dikumpulkan. Kepala juga penting dalam penyelenggaraan berbagai upacara dari awal masa tanam, panen, upacara kelahiran, kematian dan sebagainya. Setiap tahun ribuan budak hasil tangkapan dari Philipina mengalir ke Jolo, pasar budak terbesar di kepulauan Sulu. Tahun 1845 pemerintah kolonial Spanyol menempatkan Juan Bautista Barrera di Jolo dengan tugas menebus warga Philipina yang tertangkap oleh para bajak laut. Sejumlah catatannya menggambarkan kemarahan karena ketidakmampuannya menebus banyak sekali budak karena seringkali ia kehabisan uang tunai dan barang berharga untuk dibayarkan kepada para bajak laut. Para budak yang tidak ditebus biasanya langsung dikapalkan ke Kalimantan dan diserahkan kepada orang Iban yang membayar dengan teripang dan sarang burung. Mengumpulkan teripang dan sarang burung untuk ditukarkan dengan budak merupakan cara alternatif bagi orang Iban untuk mendapatkan kepala selain dengan merompak dan menyerang pemukiman suku lain.

Banyak sejarahwan sepakat bahwa selain faktor ekonomi, faktor politik merupakan motif bagi orang-orang Tobelo dan Galela untuk terjun dalam kegiatan pembajakan di laut. Menjadi bajak laut merupakan respon bagi tekanan politik para sultan yang secara semena-mena memonopoli dan menetapkan harga berbagai komoditi penting seperti teripang, mutiara, hingga perahu dan beras. Sedangkan pemerintah Belanda dan pedagang Cina memonopoli perdagangan pakaian, peralatan keramik dan barang-barang logam. Menjadi bajak laut merupakan ekspresi ketidakpuasan terhadap para penguasa dan oleh sebab itu para bajak laut seringkali menyerang kapal-kapal dagang milik sultan Ternate.

Faktor lain adalah hasrat bertualang yang dilandasi oleh “spiritualitas Halmahera”, terutama konsep triatomik masyarakat Halmahera yang memandang manusia terdiri dari tiga bagian, roehe (raga), gikiri (roh), dan gurumi (jiwa, semangat, manna, kekuatan batin). Kehormatan seorang Halmahera terletak dalam kekuatan guruminya. Oleh karenanya dilakukan usaha-usaha untuk membangkitkan gurumi seseorang antara lain lewat ritual hokara. Pengalaman menempuh bahaya dan tantangan (seperti dalam kegiatan perompakan) juga dianggap dapat memperkuat gurumi seseorang dan kemenangan-kemenangan dalam menaklukkan musuh dapat membuat seseorang “dipenuhi gurumi”.

Penjinakan Bajak Laut

Selain melakukan operasi bersenjata untuk mengatasi keganasan para bajak laut, pemerintah kolonial juga melakukan usaha-usaha dalam rangka untuk menjinakkan kelompok bajak laut tersebut. Pada dekade 1820-an dan 1830-an beberapa usaha yang kemudian gagal dilakukan untuk mengubah kelompok perompak semi-nomadik  menjadi masyarakat nelayan dan petani yang menetap dengan jalan negosiasi dan pemberian lahan. Usaha terbesar ialah di era pengganti Nuku, raja Jailolo Muhammad Asgar, yang diberikan tanah di pantai utara Seram . Disini ribuan pengikut raja Jailolo yang hidup berkelana selama Perang Nuku diharapkan menetap secara permanen. Tanah yang kurang subur menyebabkan kekurangan makanan dan juga diduga karena kontak yang terus-menerus dengan para perompak menyebabkan usaha ini berakhir dalam kegagalan.

Dua usaha yang serupa dalam skala yang lebih kecil dilakukan oleh pemerintah Belanda untuk memukimkan dan menenangkan perompak Tobelo di sekitar Flores. Yang pertama dilakukan oleh Daeng Magasing, bangsawan dari Bonerate yang memiliki hubungan dengan para bajak laut. Dia menggunakan kearifan lokal dan statusnya untuk berhubungan dengan para perompak dan memukimkan mereka di Tanah Jampea. Pulau kecil di Selatan Selayar ini kehabisan penduduk karena serangan yang berkelanjutan. Disini para perompak akan dimukimkan dan diharapkan menjadi petani dan hidup dengan damai dalam perlindungan pemerintah Belanda. Pada tahun 1830, 15 orang pemimpin bajak laut Tobelo menandatangani perjanjian damai yang diperkuat dengan sumpah dengan Daeng Magasing. Tiga tahun kemudian usaha ini gagal karena terbukti bahwa Daeng Magasing sendiri terlibat dalam aksi pembajakan dengan menggunakan suplai yang diberikan oleh Belanda.

Usaha kedua untuk ‘menjinakkan’ orang Tobelo dilakukan oleh petualang Belanda, Jan Nicholas Vosmaer, yang membangun pos perdagangan di pantai timur Sulawesi. Dia didukung oleh pemerintah Belanda. Vosmaer melakukan negosiasi dengan banyak pemimpin perompak Tobelo sama seperti yang pernah dilakukan Daeng Magasing, tapi kematiannya membuat usaha ini harus terhenti di tengah jalan. Seandainya pun dia tetap hidup diragukan jika dia bisa menjinakkan para perompak karena keamanannya sendiri tergantung kepada seorang pemimpin yang terkait dengan bajak laut. Usaha awal untuk mengubah dan memukimkan bajak laut gagal selama Belanda hanya memiliki kontrol yang terbatas di perairan timur dan tidak memiliki daya untuk mencegah kerja sama antara pembajak dan elit politik lokal.
Belanda kemudian menyadari bahwa menekan para perompak memerlukan kerja sama dengan sekutu mereka. Tahun 1853 sultan Ternate mengeluarkan dekrit yang menyerukan orang Tobelo untuk pulang ke Ternate dalam waktu satu tahun atau jika tidak akan diperlakukan sebagai bajak laut oleh Belanda. Banyak orang Tobelo  yang mengalir ke Sulawesi Timur untuk melapor ke wakil Ternate tapi dicegat oleh kapal perang Belanda dan langsung diangkut dan dipulangkan ke Ternate. Pada tahun 1870-an dan 1880-an, ekspedisi anti-bajak laut tidak lagi dilakukan dengan kapal-kapal Eropa tapi dengan menggunakan perahu kora-kora yang bisa memasuki perairan dangkal dan mampu bermanuver untuk mengejar kapal-kapal kecil. Para penguasa lokal dan para bangsawan dikenakan denda yang berat jika diketahui menjalin hubungan dengan bajak laut Tobelo dan perompak lainnya.

Larangan perdagangan budak oleh pemerintah Belanda juga menurunkan motivasi para perompak karena budak merupakan komoditas yang paling berharga. Larangan terhadap perbudakan lebih dulu diberlakukan di Indonesia Timur ketimbang di daerah lain mengingat akutnya penangkapan budak di wilayah tersebut. Perompakan di perairan Nusantara juga berakhir sebagai dampak dari perkembangan teknologi dengan berkembangnya transportasi dengan kapal uap yang mampu bergerak dengan cepat dalam melakukan pengejaran terhadap para bajak laut. Tahun 1866 Belanda melakukan operasi pengejaran di perairan Flores dengan menggunakan kapal uap dengan didukung ribuan prajurit kesultanan Bima. Operasi tersebut merupakan pukulan berat bagi para bajak laut.

Pada akhir abad ke-19, gangguan bajak laut yang dilakukan orang Tobelo-Galela berkurang secara drastis, kemudian berakhir. Orang Tobelo tidak banyak menyisakan  jejak di wilayah-wilayah tempat mereka beraksi sebagai perompak karena sebagian besar kembali pulang ke Halmahera, tetapi mereka meninggalkan reputasi mengerikan sebagai bajak laut tangguh yang belum lekang hingga saat ini.

(dari berbagai sumber)

peta jalur operasi dan pemukiman bajak laut Tobelo dan Mindanao

http://www.facebook.com/notes/adrian-noel/canga-our-ancestors-are-sea-pirates/10151327327769502

ORANG MORO


Ketika Portugis tiba di maluku pada pertengahan abad ke-16, mereka menemukan bahwa pantai timur Halmahera, yang disebut Morotia, dan pulau Morotai dihuni oleh orang-orang yang dikenal sebagai “Orang Moro”.Di wilayah -yang sekarang ini dihuni oleh orang Tobelo dan Galela- orang Moro banyak membangun perkampungan di pesisir pantai. Di tahun 1556, ada 46 atau 47 perkampungan Moro, yang masing-masing kampung berpenduduk sekitar 700 sampai 800 penduduk. Di jazirah utara,perkampungan Moro ditemukan dari Tanjung Bisoa di utara sampai Cawa di selatan - dekat kota Tobelo sekarang ini. Pulau Morotai dan pulau Rau yang lebih kecil dihuni secara eksklusif oleh orang Moro. Pada tahun 1588 ada sekitar 29 pemukiman di sana. Jumlah yang sama dilaporkan pada pada tahun 1608.

Populasi orang Moro sangat besar dibandingkan dengan suku-suku di dekatnya, bahkan jika kita mambaca perhitungan dari misionaris Portugis dengan kritis. Pertengahan abad ke 16 , menurut perkiraan yang paling konservatif orang Moro berjumlah sekurang-kurangnya 20.000 orang. Jumlah populasi yang signifikan ini adalah bukti dari kenyataan bahwa, setelah orang Moro menhilang pada pertengahan abad ke-17, jumlah populasi  penduduk yang tersisa di Halmahera berkurang sangat drastis.

Pemukiman orang Moro terletak jauh dari suku tetangga mereka seperti  Tobelo, Galela dan Tobaru di satu pihak. Pemukiman dari ketiga suku ini terletak jauh di pedalaman dan tidak masuk dalam dalam empat pemukiman utama (Tolo, Sugala, Mamuya di Morotia dan Cawo di Morotai) yang merupakan wilayah orang Moro pada tahun 1536, dan pemukiman Tobelo, Galela, dan Tobaru juga tidak dimasukkan dalam pembagian delapan distrik yang dilakukan tahun 1588 (Sugala, Sakita, Mamuya, Tolo, Cawa, Sopi, Mira dan Cawo). Sangaji yang di tunjuk untuk distrik-distrik Moro ini tidak memiliki otoritas terhadap Tobelo, Galela dan Tobaru.

Negeri Moro memiliki hubungan dalam hal pemberian upeti (tributary relationship) dengan Ternate. Mereka menyediakan persediaan makanan bagi Ternate, dan juga bagi Jailolo dan Tidore dalam jumlah yang lebih kecil. Pada tahun 1536 dilaporkan bahwa “...raja-raja Maluku memiliki sebuah negeri yang dibagi-bagi di antara mereka...raja-raja itu tidak memiliki persediaan atau hasil alam untuk menopang kerajaan mereka kecuali yang mereka datangkan dari Moro dimana ada banyak beras dan sagu, daging dan ayam... orang-orang Moro adalah hamba (escravos) dari raja-raja ini”. Dalam pembagian wilayah Moro, Ternate mendapatan bagian terbesar. Tampaknya orang Moro juga berpartisipasi dalam ekspedisi militer Ternate. Sekitar 5000 sampai 6000 penduduk Moro di Mamuya dan Tolo dikabarkan mengambil bagian dalam pasukan Ternate yang membantu Gubernur Portugis Tristao de Ataide untuk menaklukkan Jailolo dan mengalahkan pasukan Spanyol pada tahun 1533.

Portugis kemudian membangun pertahanan yang kuat di Mamuya. Hal ini kemudian memulai gangguan bagi “tributary relationship” antara Moro dan Ternate, karena setelah itu para penduduk Moro “menolak untuk memberikan suplai makanan” bagi Ternate.

Tahun 1536 Katarabumi, penguasa Jailolo, didukung oleh persekutuan dengan Tidore dan Bacan mengusir Portugis dari Moro dan menaklukkan negeri Moro. Para prajurit Tobaru dari lembah sungai Ibu mengambil bagian aktif. Sumber-sumber Portugis mengungkapkan mereka (orang Tobaru) sangat ditakuti karena kemampuan untuk bergerak di dalam hutan tanpa terlihat dan menyerang dengan tiba-tiba. “mereka dikabarkan bisa menghilang (turn themselves invisible)”. Pada tahun berikutnya, pasukan Portugis berhasil merebut kembali negeri Moro (kecuali Sugala). Tapi pada tahun berikutnya, penduduk Moro di  Tolo dan Mamuya menderita terutama oleh serangan Tobaru, dan penduduk Moro di Morotai karena serangan Jailolo.

Sekitar dekade 1540-an, Jailolo telah menaklukkan pemukiman Moro di Tolo, sebuah pemukiman yang digambarkan oleh Rebelo sebagai “yang terbesar, yang paling banyak penduduknya, dan terkuat dari antara seluruh pemukiman di kepulauan Moro”. Pada 1549 Sultan Hairun dari Ternate bertolak untuk merebut kembali Moro dengan bantuan Portugis. Sementara melakukan pengepungan, gunung di dekat Tolo meletus. Tolo kembali direbut dan para tentara pendudukan dari Jailolo dikejar ke pegunungan.

Para pemimpin Gamkonora (terletak di pantai barat jazirah utara Halmahera) dan Sultan Ternate terus mengancam keberadaan negeri Moro. Pada tahun 1570, Pune di dekat Mamuya dan pemukiman lainnya diserang dan dihancurkan oleh Sultan Babullah dari Ternate. Pada dekade-dekade selanjutnya populasi orang Moro semakin berkurang karena serangan yang berkelanjutan.

Pada tahun 1606, ketika Belanda telah mengusir Portugis dari Tidore,sebuah armada Spanyol mendekati Ternate yang disambut dengan tembakan dari sebuah kapal Belanda.Dengan bantuan Tidore, Spanyol merebut Ternate.
Segera setelah pimpinan Spanyol membuang Sultan Ternate ke Filipina, Tidore memperoleh kesempatan untuk sekali lagi menjarahi negeri Moro.Penduduk Moro masih juga diserang dari pedalaman. Di Tolo,misalnya, penduduk Samafo dan Cawa mengungsi untuk menyelamatkan diri dari serangan orang-orang Tobelo dan Galela yang bermukim 8  mil di pedalaman. Hal ini memaksa Spanyol untuk menempatkan pasukan untuk melindungi “penduduk yang bersahabat dari serangan orang Tobelo dan Galela”. Mereka kemudian ditarik kembali untuk mempertahankan Tidore dari serangan pasukan gabungan Belanda dan Ternate. Seorang misionaris bernama Simi membujuk penduduk Tolo untuk mengungsi ke Morotai tetapi mereka memilih berangkat ke Bicoli. Sementara berkemah di pantai Bicoli,mereka ditangkap oleh pasukan Ternate. Tolo dimusnahkan sama sekali. Tahun 1617 dikabarkan tempat tersebut diliputi hutan dan tidak menunjukkan tanda-tanda pernah dihuni.

Ketakutan menghadapi nasib yang sama, penduduk Moro di pulau Morotai bersekutu dengan Ternate tapi tidak ada faedahnya. Sesudah pasukan Spanyol ditarik, di bawah pimpinan Sultan Modafar dari Ternate (berkuasa dari 1610-1627), penduduk Cawo,Sopi, Mira dan Sakita dipindahkan ke Dodinga dan Jailolo. Di bawah pengganti Modafar, sisa 800 orang Moro dijadikan budak di Ternate. Sebelumnya, sebagian penduduk yang dipindahkan ke Tidore “dimana putra mahkota Tidore telah melakukan serangan besar-besaran ...dan memperoleh banyak tawanan, laki-laki, perempuan dan anak-anak, dan menjadikan mereka budak Tidore.

Kemudian tak ada lagi catatan sejarah tentang Moro.

DIKUTIP DARI : TOBELO, MORO, TERNATE: THE COSMOLOGICAL VALORIZATION OF HISTORICAL EVENTS
J.D.M.  PLATENKAMP

 http://www.facebook.com/notes/adrian-noel/orang-moro/10151000697584502

Jumat, 31 Agustus 2012

TOBELO


Menurut laporan Portugis, penduduk pemukiman Tobelo, Galela, dan terutama Tobaru, adalah pelaku kekejaman dan kekerasan tanpa belas kasihan yang mana mereka menyerang pemukIman orang Moro sepanjang abad ke-16. “Di pulau ini hidup orang-orang yang disebut Tavaros (Tobaru). Mereka orang-orang primitif yang kesenangannya hanya ada dalam membunuh siapapun yang bisa dibunuh. Dan dikabarkan seringkali mereka membunuh istri dan anak-anaknya jika tidak menemukan orang lain yang bisa dibunuh”. Sementara orang Tobaru hidup di lembah sungai Ibu, orang Galela tinggal di pemukiman dengan nama Galela, di tepi Danau Galela dan berada di bawah pemerintahan penguasa Gamkonora di pantai barat jazirah utara Halmahera. Mereka berulangkali menyerang pemukiman orang Moro di Mamuya dan di tahun 1606 juga menyerang Tolo.

Nama Tobelo muncul pertama kalinya di tahun 1606, ketika orang Moro di Samafo dan Cawa mengungsi ke Tolo untuk menghindari serangan dari penduduk pemukiman bernama Tobelo yang letaknya delapan mil di pedalaman. Lima puluh tahun kemudian, dua pemukiman Tobelo di catat yaitu Tobelo-tia, dan Tobelo-tai. Keduanya terletak di pedalaman, jauh dari jangkauan penguasa Gamkonora dan Ternate. Tahun 1686, Tobelo-tia digambarkan terletak di tepi sebuah danau (diduga sebagai Danau Lina) di pedalaman sebelah utara distrik Kao. Pemukiman tersebut dibagi dalam delapan wilayah dan merupakan wilayah bawahan dari penguasa Gamkonora yang diwakili oleh seorang “hukum”. Sumber yang sama menjelaskan bahwa Tobelo-tai terletak satu hari berlayar ke selatan dari Galela. Dalam peta yang digambar oleh Isaac de Graaf, hanya tiga pemukiman di sepanjang jazirah utara yang dicatat : Galeta (Galela), Tomueway (di lokasi desa Mawea sekarang ini) dan Tubella (Tobelo),terletak di Danau Lina.

Dari sini, kita kemudian bisa merekonstruksi perkembangannya. Di akhir abad ke-16, hanya ada satu pemukiman Tobelo yang terletak delapan mil di pedalaman dari pemukiman orang Moro yaitu Samafo dan Cawa. Ingatan tentang pemukiman tunggal orang Tobelo masih melekat dalam ingatan orang Ternate pada abad ke-19. Tahun 1858 ada informasi dari dewan Ternate (Ternaten Court) yang menyebutkan bahwa pada jaman dulu ada tujuh negeri kecil (petty states) yang independen di jazirah utara Halmahera yaitu Jailolo, dan Loloda masing-masing dibawah seorang kolano, Sahu,Tobaru, Tolofuo dan Kau dibawah seorang sangaji dan Tobelo dan Galela yang merupakan kampung-kampung yang besar yang memiliki pemerintahan sendiri dan independen dari Gamkonora.

Pemukiman orang Tobelo terbagi menjadi dua antara tahun 1606 sampai tahun 1656. Kedua komunitas terletak di pedalaman sampai sebelum tahun 1686, salah satunya bergerak ke tepi pantai dan menempati tanah tidak bertuan yang dulunya merupakan pemukiman orang Moro. Disana mereka membangun pemukiman, Tobelo-tai dan pada akhir abad ke-17 pemukiman di pinggir pantai yaitu Mawea ditambahkan. Komunitas yang lain, Tobelo-tia tetap berada di Danau Lina.

(kemudian tidak ada catatan sejarah tentang Tobelo selama sekitar 150 tahun)

Baru pada tahun 1855 nama Tobelo kembali muncul, saat penduduk “kampong Tobelo” menolak untuk menyerahkan seorang bajak laut bernama bernama Laba kepada komandan kapal perang “Vesuvius”. Sang komandan kemudian memerintahkan untuk memborbardir kampung tersebut. Di lokasi tersebut,dikenal sebagai “Berera Ma Nguku” (‘kampung terbakar’ dalam bahasa Tobelo) yang saat ini letaknya di desa Gamhoku (‘kampung terbakar’ dalam bahasa Ternate). Setelah penghancuran, penduduknya dipindahkan ke lokasi yang berhadapan dengan pulau Kumo, dimana Gubernur Belanda untuk Maluku memerintahkan membangun pemukiman baru. Kampung ini dikenal sebagai “Berera Ma Hungi” (‘kampug baru’ dari bahasa Tobelo) dan sekarang dikenal dengan nama dari bahasa Ternate yaitu Gamsungi, dengan arti yang sama (kampung baru). Tapi pada saat itu, pemukiman orang Tobelo sudah menyebar di sepanjang pantai daerah Tobelo sekarang dan beberapa bagian pulau Morotai. Tahun 1856, penduduk Tobelo dikabarkan hidup  di sembilan domain (negeri atau hoana) yang mana empat diantaranya dihuni yaitu Liena (Lina), Liebatto (Huboto), Laboewah-lamo (Hibua Lamo) dan Nomo (Momulati). Negeri-negeri yang lain ditambahkan pada ke-empat negeri ini dan “tidak lagi menyandang nama negeri”. Pengurangan dari sembilan ke empat negeri ini kemudian dihubungkan dengan administrasi pemerintah Belanda. Campen melaporkan pada tahun 1883 bahwa kesembilan negeri (hoana) ini adalah Katana,Mawea,Patja,Jaro,Saboea Lamo,Lina,Sibotto, Momulati dan Mede tapi “pemerintahan kita (Belanda) membuat pembagian yang sewenang-wenang ke dalam tujuh bagian (hoana), kemudian menjadi lima, dan sekarang...... pembagian ke dalam empat negeri dikembangkan”. Keempat negeri , yaitu Momulati, Lina, Sibotto dan Saboea Lamo, bersama-sama membentuk ibu kota (hoofplast) Tobello. Sebagai tambahan, Campen menyusun daftar dua puluh empat pemukiman Tobelo, hampir semuanya dinamai sesuai dengan nama sungai, atau bentukan pantai (tanjung,teluk atau pulau) dimana mereka tinggal. Dan satu abad kemudian, pada awal 1980-an, ini adalah bentuk yang mana orang Tobelo mengidentifikasi wilayahnya: dua puluh dua pemukiman, yang semuanya terletak di pinggir pantai dan dinamai sesuai dengan kali,sungai, atau teluk dimana mereka tinggal, dikelompokkan ke dalam empat (atau lima) wilayah domain (ma hoana) yaitu Lina, Huboto, Momulati, dan Hibua Lamo (hoana Hibua Lamo berasal dari hoana Gura dan kemudian menggantikan hoana tersebut). Bersama-sama, keempat hoana ini membentuk O Tobelohoka manga ngi, “wilayah Tobelo”.

 http://www.facebook.com/notes/adrian-noel/tobelo/10151049875094502

Kamis, 10 Mei 2012

Konsep Kontrak Politik


1.      Konsep Kontrak Politik.
Seperti yang telah di kemukakan dalam latar belakang, Idea atau gagasan tentang kontrak sosial (social contract) telah dikemukakan oleh Plato, seorang filsuf Yunani (Greek) lebih 2500 tahun yang lalu dalam tulisannya Republic. Ramai selanjutnya para pemikir besar bidang politik dan hukum yang terkemudian, menerangkan dan mengembangkan lebih lanjut konsep kontrak sosial ini, diantaranya adalah Hugo Grotius, Imanuel Kant, John Locke, Jean Jaques Rousseau dan Thomas Hobbes.
Perspektif filsafat Jean Jacques Rousseau (1588-1679) berpandangan bahwa manusia pada dasarnya adalah tidak baik dan tidak juga buruk, bukan egois dan bukan altruis. Manusia hidup dengan polos dan mencintai diri secara spontan. Kepolosan manusia itu terkoyak akibat pergumulannya di tengah masyarakat yang egoistis. Karena rebutan sebidang tanah, misalnya, manusia dengan mudah menumpahkan darah, saling berperang, dan membunuh satu sama lain. Agar kepemilikan manusia terjamin kepastiannya, dibatasi untuk tidak menjadi tak terbatas, bisa menghargai hak-hak satu sama lain, dan bisa hidup berdampingan secara damai, maka Rousseau  menggagas perlunya kontrak sosial yang menjadi aturan main bersama agar tidak ada pihak yang dirugikan.[1] Sayangnya, kontrak itu tidak begitu jelas, apakah hanya semacam niat baik atau kontrak yang harus tertulis. “hitam di atas putih”, berisi hak dan kewajiban serta konsekuensinya secara rinci atau tidak?
J.J Rousseau ketika berbicara tentang kontrak sosial (social contract), tampak mengkaitkan kondisi perlunya keikutsertaaan rakyat untuk ikut menentukan nasib dan masa depan mereka sendiri dengan para calon pemimpin dan wakilnya yang akan duduk diberbagai posisi politik. Adanya Kontrak sosial, secara kontekstual, telah melahirkan sentimen moral publik, untuk boleh menentang setiap bentuk monopoli kebenaran dan kesewenang-wenangan terhadap masyarakat atas nama kekuasaan. Kesadaran tentang otoritas warga negara tersebut, dengan sendirinya melahirkan keniscayan dan telah memicu spirit kekritisan rakyat pemilih, terhadap kesewenang-wenangan kekuasaan politik. Dalam prakteknya, telah melahirkan revolusi sosial atau revolusi politik di Perancis (1789), dengan ciri ditegakkannya keadaaan umum atas dasar hubungan “kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan”.[2]
Filsafat politik Roousseau, menurut  Sabine, cenderung mengagungkan soal perasaan moral dibandingkan cuma soal akal atau rasio. Roousseau beranggapan bahwa kebajikan-kebajikan moral, ada terdapat pada rakyat biasa, dalam bentuk yang murni yang ber-praxis diantara mereka, antara harapan dan kenyataan. Rakyat biasalah yang merupakan umat manusia, sumber kekuasaan dan legitimasi para wakil dan pemimpin. Apa yang tidak bersifat kerakyatan, kepentingan elit tertentu, sebaiknya tidak perlu diperhitungkan dan bila perlu layak dipertanyakan kepatutannya. Semua manusia adalah sama dalam semua barisan dan lapisan. Barisan atau lapisan terbesarlah yang cukup patut untuk mendapat kehormatan tertinggi untuk diperhatikan, mendahului yang tersedikit.[3]
Gagasan ini memang sudah mendapat kritik dan koreksi dari banyak pihak. Soal dampak buruk tyrani mayoritas, misalnya, dikoreksi dengan penegakan hukum dan demokrasi prosedural. Memang, faktanya belum tentu pihak yang terbanyak, itu yang terbaik dan terbenar jalannya. Walaupun begitu ada yang setuju bahwa suara rakyat terbanyak adalah suara Tuhan, yang telah mengalami proses uji coba dan perbaikan diantara orang banyak itu sendiri.[4]
Menurut Locke, sebuah negara dibangun atas dasar kesepakatan antara pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Hal ini menjadi pijakan dasar dari teori kontrak sosial. Hal ini juga dicatat oleh Sabine (1992;181) “kekuasaan demikian hanya dapat timbul dengan persetujuan, dan meskipun hanya dapat timbul dengan persetujuan, dan meskipun ini hanya dapat diberikan secara diam-diam, ia harus merupakan persetujuan dari tiap individu untuk dirinya sendiri.”
Meskipun Locke menunjuk pada watak sosial manusia serta kecenderungannya untuk mencari sekutu dengan orang lain, ia menyatakan bahwa individu masuk ke dalam masyarakat politik karena ketidakmemadaian kondisi alamiahnya bukan karena keadaan alam sendiri. Locke mengatakan bahwa manusia hidup dalam keadaan alamiah (state of nature), dimana Locke menyatakan bahwa keadaan alamiah selalu merindukan kehidupan yang alamiah sebelum terbentuknya negara. Menurutnya keadaan alamiah adalah keadaan dimana manusia hidup dalam kedamaian, kebajikan, saling melindungi, penuh kebebasan, tak ada rasa takut dan penuh kesetaraan. Manusia juga tidak akan merusak kehidupan, kesehatan dan hak-hak pemilikan manusia lainnya.
Karena manusia bebas “adalah manusia bebas, sederajat dan merdeka,” berarti bahwa tidak ada orang tanpa persetujuannya bisa dibenarkan tunduk pada otoritas politik orang lain. Untuk melengkapi tesisnya, Locke mengambil pola yang ada pada masanya dengan menggunakan piranti kontrak sosial. Orang saling setuju untuk masuk ke dalam masyarakat dan membangun lembaga politik di bawah satu pemerintahan tertinggi. Dengan perjanjian ini, orang-orang menyerahkan kekuasaan untuk menjalankan hukum alam, suatu kekuasaan yang mereka miliki secara sendiri-sendiri dalam keadaan alamiah, kepada komunitas yang baru terbentuk. (Schmandt,2002:338-339)
Beberapa sifat dari kontrak sosial Locke yang paling penting dan mendasar adalah : pertama, prinsip yang menggerakkan di balik persetujuan ini bukanlah rasa takut akan kehancuran tetapi keinginan untuk menghindari gangguan keadaan alamiah. Locke dengan tegas berpegang bahwa hak-hak dan kewajiban-kewajiban moral adalah intrinsik dan lebih dulu ada daripada hukum; pemerintah berkewajiban untuk memberi sanksi pada hukum-hukumnya terhadap apa yang secara moral dan alamiah adalah benar.
Kedua, individu tidak menyerahkan kepada komunitas tersebut hak-hak alamiahnya yang subtansial, tetapi hanya untuk melaksanakan hukum alam, bahwa tiap orang mempunyai hak menurut hukum alam atas sesuatu di mana dia telah mempergunakan tenaga untuk memperolehnya, seperti misalnya menutup dan mengerjakan tanah.
Ketiga, hak yang diserahkan oleh individu tidak diberikan kepada orang atau kelompok tertentu tetapi kepada seluruh komunitas.
Locke mengutamakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban moral sebagai esensi dari terbangunnya kontrak sosial, bahkan menempatkan lebih tinggi dari hukum. Hal ini menegaskan bahwa Locke memandang hak asasi sebagai referensi utama dalam menetapkan sebuah aturan. Kehadiran negara sebagai lembaga yang disepakati untuk melegitimasi (mengkonstitusionalkan) hukum alamiah tersebut. Meskipun konsep ini masih bersifat umum, akan tetapi konsep ini diyakini merupakan mata air inspirasi tumbuhnya sistem demokrasi di negara-negara di dunia.
Deskripsi Locke tentang perjanjian sosial (kontrak sosial) menjadi landasan yang prinsipil dan filosofis dalam melihat proses pembentukan sebuah negara. Locke bahkan menegaskan tentang pentingnya memisahkan aspek legislatif (pembuat undang-undang dan hukum) dan aspek eksekutif dan yudikatif (pelaksanaan undang-undang dan hukum) dalam sebuah sistem politik. Kedua aspek ini tidak boleh dipegang oleh satu tangan agar penyalahgunaan kekuasaan dapat dihindarkan.
Berbeda dengan John Locke dan Jean Jaques Rousseau, Jűrgen Habermas berpandangan bahwa, Dalam pandangan klasik, politik dipahami sebagai seni memperebutkan kekuasaan. Dan kekuasaan itu sendiri dipandang sebagai “barang” yang ketersediaannya begitu terbatas sedangkan banyak konsumen membutuhkannya. Kenyataan terbatasnya ketersediaan “barang” itu menegaskan kekuasaan harus diperebutkan. Merebut kekuasaan itulah tugas partai-partai politik. Bagi Habermas, jantung dari sebuah percaturan politik bukanlah memperebutkan kekuasaan melainkan berkomunikasi dan berwacana. Dalam pengertian ini, politik demokrasi bukan lagi soal membagi kekuasaan (seperti demokrasi republikan Rousseau atau seperti John Locke dan kelompok liberalisme modern). Politik demokrasi justeru berarti berkomunikasi dan berwacana untuk menemukan apa yang sesungguhnya terkubur sebagai harta karun, yang selama ini belum ditemukan.[5]
Konsep Habermas yang demikian bakal menghantar suatu masyarakat untuk memahami secara benar arti sebuah partisipasi yang otentis. Bahwa dengan berkomunikasi dan berwacana dalam suatu ruang yang disebut Habermas sebagai “ruang publik”, ide tentang kemakmuran bersama bisa diwujudkan. Dalam hal ini suatu komunitas justeru diperkaya karena orang bisa mendalami dan merasakan nilai yang dimiliki orang lain. Di dalam suatu komunitas yang diwarnai komunikasi dan wacana yang baik, setiap anggota dituntun untuk saling memahami. Dan kesalingpahaman itu akan bergerak menuju tercipatanya solidaritas. Itulah hal yang selalu memperkaya kehidupan bersama.[6]
Bisa dibayangkan, bila terjadi suatu komunitas (apalagi komunitas politik) tidak memiliki komunikasi yang baik atau tidak memiliki anggota-anggota yang mampu membangun suatu komunikasi yang jujur. Tentu saja, bila suatu komunitas tanpa kemampuan komunikatif, cepat atau lambat akan runtuh. Suatu komunio perlu membangun komunikasi terutama komunikasi tentang kepentingan-kepentingan publik yang kerap direduksi kepada kepentingan golongan. Hal yang terakhir ini (reduksi kepentingan publik kepada golongan) bisa terjadi bila orang melihat politik sebagai usaha memperebutkan kekuasaan.
Di dalam suatu komunitas politik yang disebut sebagai Negara, politik, tak lagi dimengerti sebagai adu kekuatan. Politik berarti pertukaran komunikasi yang tujuannya adalah mencapai kesepakatan (konsensus) melalui jalan rasional. Karena mengandalkan jalan rasional dalam dunia kehidupan bersama, maka entah dalam ruang privat maupun dalam ruang publik, dalam ranah kehidupan etika maupun politik, diperlukan satu keyakinan bersama bahwa kesepakatan itu benar-benar ada. Dalam kondisi kehidupan yang demikian itu, politik tidak lain adalah tata dan cara komunikasi. Karena itu, hal-hal yang selalu dihindari adalah terjadinya orang berbohong, manipulasi, dan timbulnya kekacauan dan kesalahpahaman.
Habermas, berkaitan dengan suatu komunitas yang komunikatif, hendak menandaskan komunikasi intersubyektif. Bagi Habermas, intersubyektivitas adalah realitas yang mendahului otonomi subyek. Dalam komunitas, komunikasi intersubyektif sama sekali tidak meniadakan subyek yang otonom sebagai pelaku komunikasi. Sebab dengan menyampaikan sesuatu, sang subyek selalu mengandaikan bahwa ia sanggup membela kebenaran dari apa yang telah ia sampaikan. Itulah yang oleh Habermas disebut sebagai Universellen Geltungsanspruch (semacam tuntutan yang mengandaikan bahwa apa yang saya katakan dapat diterima secara universal), yang melekat dalam setiap tindakan, di mana orang menggunakan bahasa untuk menyampaikan pendapatnya.[7]
Habermas beranggapan bahwa dalam setiap bahasa yang kita pakai untuk berkomunikasi dalam suatu komunitas sesungguhnya sudah terkandung rasionalitas. Oleh karena rasionalitas itu maka diandaikan bahwa isi komunikasi itu bisa diterima oleh sesama anggota yang menjadi partner dalam suatu pembicaraan. Dengan kata lain, rasionalitas itulah yang melekat pada setiap tindak komunikasi. Karena realitas itu juga maka segala bentuk perbedaan pendapat dapat dihindari dengan argumen-argumen yang rasional (masuk akal) pula. Dengan demikian suatu komunitas yang komunikatif bisa tercipta untuk membangun proses menuju kesepahaman.[8]
Berbicara soal ide atau gagasan kontrak sosial dan dalam konteks penelitian ini di-rekonstruksi dalam jarak antar ruang dan waktu, yang klasik dan yang terkini, menjadi konsep akta kontrak politik atau proposal politik[9], dalam  literatur ilmu politik hal ini terkait erat dengan rangkaian pengembangan buah pemikiran John Locke, Jean Jaques Rousseau dan Jűrgen Habermas, terdahulu dan apa yang selayaknya kini ada.
Akta kontrak politik atau proposal politik adalah aplikasi lanjutan dari kontrak sosial untuk memecahkan persoalan rendahnya tingkat keterwakilan politik di Indonesia selama ini. Tanpa mekanisme kepastian hukum, yang dituangkan dalam kebijakan publik, dalam format tertulis kontrak hitam di atas putih yang berisi dan rinci, maka proses keterwakilan dan pemilihan umum pejabat eksekutif dan legislatif hanya akan menjadi kabur, formalitas dan  tidak bisa di-tanggunggugatkan terhadap para pemilih (popular/public accountibility).
Filsafat sosial yang dikembangkan Rousseau antara lain adalah individualisme sistematis, yang diadopsi dari pemikiran John Locke yaitu adanya nilai bahwa setiap kelompok sosial terdiri atas upaya pencapaian kebahagian atau kepuasan diri  dan adanya perlindungan otoritas untuk mempunyai dan menikmati hak milik setiap warga negara. Pada hakekatnya manusia tergerak untuk bekerja sama disebabkan kepentingan dan keuntungan pribadi masing-masing, yang perlu dihimpun sebagai kehendak umum bersama.
Tentang keadaan state of nature atau keadaan alami, Rousseau berbeda tegas dengan Hobbes, keadaan perang yang menurut Hobbes dialami oleh manusia secara individual sesungguhnya dialami oleh persona publik (public person) makhluk moral yang disebut kedaulatan (moral beings called soverigns). Manusia tidak bertempur sebagai individu yang terpisah dari orang lain, tetapi sebagai warga negara. Manusia tidak memiliki kecakapan moral di luar masyarakat.
Masyarakat manusia adalah suatu impian yang telah terbukti, umat manusia saja bukanlah masyarakat, sebab kesamaan belaka belum tentu melahirkan keadaaan persatuan atau harmoni yang nyata. Padahal masyarakat adalah kumpulan pribadi susila (moral beings) yang lahir dari suatu ikatan (liason) yang nyata. Suatu kesalahan berfikir  bila orang-orang mengira bahwa niat baik, akal atau rasio saja yang akan mempersatukan manusia. Rasio atau niat baik  saja tidak cukup, tapi perlu ada kontrak dan mekanisme yang mengikat antara pemilih, wakil dan pemimpinnya.
Rousseau dalam tulisannya Plan for a Constitution of Corsica mengatakan negara seharusnya menjadi satu-satunya pemilik, karena bilamana negara tidak menjamin hak-hak manusia, termasuk hak milik, maka harta kekayaan bukanlah suatu hak alamiah. Pada periode akhir hidupnya, Rousseau terlihat pesimis, ia melihat bahwa kemiskinan yang memilukan di dalam suatu kelas, berarti kelas tersebut dikorbankan untuk kemewahan kelas lain, eksploitasi ekonomi dengan sendirinya mengakibatkan despotisme politik.[10] Terhadap masyarakat yang jahat itu, Rousseau menempatkan cita-cita terbentuknya suatu masyarakat sederhana yang diagungkan, yang merupakan jalan tengah yang adil antara sikap kemalasan yang primitif dan egoisme yang beradab. Masyarakat yang ada adalah jahat dan harus disederhanakan.[11]        
Pemikiran politik Rousseau yang paling khas yang tampaknya dijadikan miliknya (karena diduga merupakan buah pikiran Diderot) adalah konsep tentang kehendak umum (general will, volonte generale) dan kemudian dikembangkannya lagi menjadi teori social contract, yaitu : bahwa suatu masyarakat mempunyai kepribadian hukum atau moi Cummun yaitu bandingan organis untuk suatu lingkungan kemasyarakatan. Kehendak umum dari kepribadian hukum itu sendiri yang kemudian meletakkan ukuran-ukuran moral (kesusilaan) yang mengikat anggota-anggotanya, karena itu suatu pemerintahan adalah tidak lebih dari pada sebuah lembaga dari kehendak umum tersebut.
Persamaan jenis manusia saja tidaklah membuat umat manusia atau individu membentuk masyarakat tetapi hanya suatu pertalian psiokolgis atau spiritual, karena itu diperlukan suatu badan hukum yaitu suatu makhluk moral yang memiliki kehendak yang terbentuk dari kehendak umum (volonte general, general will). Kehendak umum tersebut merupakan sumber hukum, condong untuk mempertahankan kelangsungan dan kesejahteraan keseluruhan dan setiap bagian, menjadi pedoman tentang apa yang benar dan apa yang salah untuk semua anggota negara baik dalam hubungannya terhadap satu sama lain maupun hubungan terhadap negara.[12]
Kecenderungan untuk membentuk masyarakat adalah tabiat yang universal. Di mana saja individu-individu mempunyai kepentingan bersama maka mereka membentuk masyarakat yang bersifat tetap atau sementara. Setiap masyarakat mempunyai kehendak umum yang mengatur tingkah laku angota-anggotanya. Selanjutnya Rousseau menempatkan sikap patriotisme sebagai kebajikan tertinggi dan sumber dari semua kebajikan lainnya. Patriotisme adalah perasaan yang halus dan bersemangat yang menjiwai cinta akan kebajikan sehingga menjadi semangat kepahlawanan yang tanpa cacat.
Manusia harus menjadi warga negara lebih dahulu sebelum ia menjadi orang, akan tetapi agar menjadi warga negara, pemerintah harus memberikan kemerdekaan di bawah jaminan hukum, menjamin kesejahteraan material dan menghilangkan ketidaksamaan yang besar dalam pembagian kekayaan negara dan harus membuat sistem pendidikan umum agar anak-anak dibiaskan untuk memandang individualitas mereka hanya dalam hubungannya dengan negara.
Menurut Rousseau juga dalam social contract-nya, yang diterbitkan pada tahun 1762, masyarakat kecil, seperti negara kota adalah contoh terbaik untuk berlakunya kehendak umum. Tentang ciri kontrak atau perjanjian umum masyarakat, dalam buku Sabine disebutkan ciri-cirinya sebagai berikut :
Pertama, kontrak tidak ada sangkut pautnya dengan hak dan kekuasaan pemerintah, sebab pemerintah hanyalah sebuah lembaga kedaulatan rakyat dan sama sekali tidak mempunyai kekuasaan sendiri, sehingga pemerintah tidak bisa menjadi subyek perjanjian.  Kontrak ini antara lain berisi kesediaan para individu warga negara untuk membayar pajak dan mematuhi hukum (kebijakan publik) yang dibuat bersama.
Jika dipahami dalam alam modern, kebersediaan individu membayar pajak mirip dengan pembeliaan saham oleh para pemegang saham suatu perusahaan terbuka. Para stakeholders itulah yang menentukan apa dan bagaimana jalannya perusahaan. Rakyat pembayar pajaklah pemegang saham terbesar suatu negara. Sehingga ia perlu didengar, ada mekanisme dan bisa menuntut haknya dengan menunjukkan slip pajak dan retribusi yang ia bayarkan, bila suatu ketika mereka berinteraksi dengan pengurus partai politik, para eksekutif dan legislatif.
Kedua,  Hak- hak dan  kebebasan  para individu tidak ada sama sekali kecuali telah menjadi anggota masyarakat. Masyarakat adalah suatu persatuan (associatioan), suatu keperibadian moral yang kolektif. Manusia secara individual mendapat keuntungan jika menjadi anggota masyarakat, dari pada mereka tinggal terpencil.
Kehendak umum adalah suatu kenyataan unik dari masyarakat yaitu terkandung didalamnya kebaikan kolektif. Masyarakat mempunyai kehendak sendiri yaitu kehendak umum (volonte generale) dan negara adalah suatu pribadi moral yang hidupnya terdapat di dalam persatuan anggota-anggotanya yaitu warga negara. Usaha negara yang terpenting adalah untuk mempertahankan diri, karena itu negara harus mempunyai kekuatan yang universal dan memaksa agar dapat mengatur agar setiap bagian sedemikian rupa menguntungkan untuk keseluruhan.  Jadi peran atau tugas negara dalam hal ini eksekutif untuk menyediakan rasa aman,  keteraturan, ketersediaan public goods dan public utilities, dan persamaan kesempatan yang adil.
Hak warga negara adalah memperoleh kemerdekaan, kesamaan dan hak milik  yang merupakan hukum alami. Manusia menjadi sederajat (equal) disebabkan oleh kebiasaan dan menurut hukum, berbeda dengan Hobbes yang berpendapat manusa sederajat karena kekuatan fisik yang pada hakekatnya sama.  Hak  yang dimiliki oleh setiap individu atas miliknya selalu tunduk kepada hak yang dimiliki oleh masyarakat atas semua.
Pemikiran Rousseau dinilai Sabine banyak mengandung paradoks, bahwa kekuasaan soverign itu, sekalipun mutlak, keramat dan tidak dapat diganggu gugat, tetapi tidak dapat melampaui batas-batas kebiasaan dan kehendak umum. Pada hakekatnya Rousseau bergerak maju mundur sekehendak hatinya antara kehendak umum, hak-hak individu dan wewenang pemerintah. 
Selanjutnya kita lihat petikan tentang konteks interpretasi pemikiran Jean Rousseau yang  lainnya untuk kemajuan manusia (Human Progress) :
“…. in France the philosopher Jean Rousseau stated in The Nature of Man his ideals on the social contract of the people in France. Rousseaus, like Locke, thought that togetherness would corporate as one. He believes that the state controls all the goods, but if you take goods from the members of society then you cannot take that good away from them. Roousseau explains if you disobey the social contract there are penalties. The people need a social commitment and if there are people that do not commit than they are to be banished. The people are banished for disobeying the laws and not providing duty for the country, and he who states a disagreement will deserve the death penalty. Religion is in the hands of the people, they can have their own views. He decides that religion is not determined by the State and the people can practice the religion of their choice. Roousseau thinks that the government should be divided into small powers a legislative, executive, and judicial groups. "They make sovereign a being of fancy, composed of separate pieces, which would be like putting a man together from several bodies." Each groups doing their jobs separately but for the same goal to make the country better as a whole. These people in power work like the peoples agents, they work to compromise between the common good and for the good of France. If the country is to go to war with another country the state needs a defense group. He explains that if you are giving money to the state they can use the money to supply troops with needs and supply weapons for combat. In doing this, the people are not obligated to fight in war if one occurs, yet if demanded need they must defend. In other words the people are paying to have a war fought for them. This is good that the people have the decision to fight in a war and the supply of money will help the country grow a better defense. The social contract shows Roousseau's ideas on how the community should be governed and how the community should change the way of life for the better”.[13]
Petikan kutipan di atas mengingatkan tentang perlunya kebersamaan dalam membangun suatu negara, keniscayaan adanya kontrak antara para pemilih, para wakil pengawas dan pemimpin terpilih, tentang suatu ketentuan apa yang akan dilakukan sebagai penalties, bila tidak satu kata dan perbuatan, antara janji saat kampanye dan cidera janji setelah berkuasa. Hal-hal yang perlu dituangkan dalam proposal politik “orang menyebutnya visi, misi, program/platform” tapi umumnya hanya formalitas belaka dan tidak rinci tentang cara operasional pencapaiannya, tanpa kerangka waktu yang jelas dan tanpa sanksi bila itu tidak dilaksanakan oleh para politisi.


[1] Jean Rousseau, Loc.cit.
[2] Revolusi Perancis meletakkan landasan moral-politik bagi ditegakkannya bangunan masyarakat madani. Sejak itu kontrol sosial terhadap kekuasaan muncul menjadi gagasan penting dalam diskursus politik modern; juga banyaknya partai, organisasi massa, perkumpulan, lembaga-lembaga sosial, menjamurnya penerbitan pers dan lain-lain, yang berusaha mengimbangi kekuasaan negara di satu sisi, dan di sisi lain menegaskan keterlibatan rakyat di dalam politik.
[3] Lihat G.H. Sabine, Teori-Teori Politik (2) Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya, Bandung, Binacipta, 1981, hal. 221-241. Lihat juga Rousseau, Jean. The Social Contract, Modem History Sourcebook.. 1763.
[4] Ibid.
[5] Wisma Rafael, Filsafat Sosial Politik, Demokrasi Republikan JJ. Rousseau dan Demokrasi Deliberatif Jürgen Habermas (Sebuah perbandingan), Sunday, 27. January 2008, dalam www.google.com, diakses tanggal 2 April 2009.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Pemilu sering dianggap sebagai proses kontrak sosial dalam jangka waktu tertentu (misalnya 5 tahun). Menurut penulis itu bisa jadi betul, tapi belum tentu benar. proses kontrak sosial Pemilu cenderung semu dan prematur. Pemilih seolah memberikan “cek kosong” kepada wakil untuk  diisi apa saja. Akad Politik adalah perjanjian sosial dalam konteks supremasi hukum, aktor, ruang dan waktu, yang dilakukan antara konstituen (pemilih) terhadap calon wakil atau calon pemimpin mereka (Capres/Wapres/caleg) dalam suatu proses Pemilu. Bentuknya didahului oleh proses dialogis, pembuatan proposal program dalam bentuk tertulis hitam di atas putih.
[10] Despotisme antara lain bisa diberi makna sebagai sistem pemerintahan dengan kekuasaan tidak terbatas dan sewenang-wenang. Lihat Frans M. Parera & T. Jakob Koekerits, Masyarakat Versus Negara, Paradigma Baru Membatasi Dominasi Negara. Jakarta, Penerbit Kompas, 1999, Hal. xii.
[11] Pada awal pemikirannya menurut Sabine, Rousseau melihat suatu masyarakat terbentuk  karena adanya dorongan kecerdasan moral dalam hidup manusia, tapi pada belakangan masyarakat di mata Rousseau tidak lagi tampak begitu.  Hal ini menurut Sabine adalah suatu keragu-raguan dalam  pemikiran  Rousseau. Selain itu Rousseau sangat meng-ideal-kan negara kota, karena dapat mewujudkan nilai tertinggi. Ia memimipikan adanya negara nasional berupa negara kota yang terdiri dari  antara lain kelas pekerja yang beretos kerja dan militan (katolikisme) di seberang lereng gunung Alp. Suatu pemikiran pada zamannya untuk kembali ke alam dan menjadi masyarakat yang sederhana lagi.
[12] Sabine mengutip Vaughon, Vol. I. p. 241, terjemahan edisi bhs. Inggris oleh G.D.H. Cole, p. 253.
[13] Lihat http://www.historians.org/teaching/aahe/Kelly/Pew/Portfolio/Student%20Work/sp001-06.htm,  artikel yang mengutip Rousseau, Jean. The Social Contract, Modem History Sourcebook.. 1763.