1. Konsep Kontrak Politik.
Seperti yang telah di kemukakan dalam latar belakang, Idea atau gagasan tentang kontrak sosial (social contract) telah dikemukakan oleh Plato, seorang filsuf Yunani (Greek) lebih 2500 tahun yang lalu dalam tulisannya Republic. Ramai selanjutnya para pemikir besar bidang politik dan hukum yang terkemudian, menerangkan dan mengembangkan lebih lanjut konsep kontrak sosial ini, diantaranya adalah Hugo Grotius, Imanuel Kant, John Locke, Jean Jaques Rousseau dan Thomas Hobbes.
Perspektif filsafat Jean Jacques Rousseau (1588-1679) berpandangan bahwa manusia pada dasarnya adalah tidak baik dan tidak juga buruk, bukan egois dan bukan altruis. Manusia hidup dengan polos dan mencintai diri secara spontan. Kepolosan manusia itu terkoyak akibat pergumulannya di tengah masyarakat yang egoistis. Karena rebutan sebidang tanah, misalnya, manusia dengan mudah menumpahkan darah, saling berperang, dan membunuh satu sama lain. Agar kepemilikan manusia terjamin kepastiannya, dibatasi untuk tidak menjadi tak terbatas, bisa menghargai hak-hak satu sama lain, dan bisa hidup berdampingan secara damai, maka Rousseau menggagas perlunya kontrak sosial yang menjadi aturan main bersama agar tidak ada pihak yang dirugikan.[1] Sayangnya, kontrak itu tidak begitu jelas, apakah hanya semacam niat baik atau kontrak yang harus tertulis. “hitam di atas putih”, berisi hak dan kewajiban serta konsekuensinya secara rinci atau tidak?
J.J Rousseau ketika berbicara tentang kontrak sosial (social contract), tampak mengkaitkan kondisi perlunya keikutsertaaan rakyat untuk ikut menentukan nasib dan masa depan mereka sendiri dengan para calon pemimpin dan wakilnya yang akan duduk diberbagai posisi politik. Adanya Kontrak sosial, secara kontekstual, telah melahirkan sentimen moral publik, untuk boleh menentang setiap bentuk monopoli kebenaran dan kesewenang-wenangan terhadap masyarakat atas nama kekuasaan. Kesadaran tentang otoritas warga negara tersebut, dengan sendirinya melahirkan keniscayan dan telah memicu spirit kekritisan rakyat pemilih, terhadap kesewenang-wenangan kekuasaan politik. Dalam prakteknya, telah melahirkan revolusi sosial atau revolusi politik di Perancis (1789), dengan ciri ditegakkannya keadaaan umum atas dasar hubungan “kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan”.[2]
Filsafat politik Roousseau, menurut Sabine, cenderung mengagungkan soal perasaan moral dibandingkan cuma soal akal atau rasio. Roousseau beranggapan bahwa kebajikan-kebajikan moral, ada terdapat pada rakyat biasa, dalam bentuk yang murni yang ber-praxis diantara mereka, antara harapan dan kenyataan. Rakyat biasalah yang merupakan umat manusia, sumber kekuasaan dan legitimasi para wakil dan pemimpin. Apa yang tidak bersifat kerakyatan, kepentingan elit tertentu, sebaiknya tidak perlu diperhitungkan dan bila perlu layak dipertanyakan kepatutannya. Semua manusia adalah sama dalam semua barisan dan lapisan. Barisan atau lapisan terbesarlah yang cukup patut untuk mendapat kehormatan tertinggi untuk diperhatikan, mendahului yang tersedikit.[3]
Gagasan ini memang sudah mendapat kritik dan koreksi dari banyak pihak. Soal dampak buruk tyrani mayoritas, misalnya, dikoreksi dengan penegakan hukum dan demokrasi prosedural. Memang, faktanya belum tentu pihak yang terbanyak, itu yang terbaik dan terbenar jalannya. Walaupun begitu ada yang setuju bahwa suara rakyat terbanyak adalah suara Tuhan, yang telah mengalami proses uji coba dan perbaikan diantara orang banyak itu sendiri.[4]
Menurut Locke, sebuah negara dibangun atas dasar kesepakatan antara pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Hal ini menjadi pijakan dasar dari teori kontrak sosial. Hal ini juga dicatat oleh Sabine (1992;181) “kekuasaan demikian hanya dapat timbul dengan persetujuan, dan meskipun hanya dapat timbul dengan persetujuan, dan meskipun ini hanya dapat diberikan secara diam-diam, ia harus merupakan persetujuan dari tiap individu untuk dirinya sendiri.”
Meskipun Locke menunjuk pada watak sosial manusia serta kecenderungannya untuk mencari sekutu dengan orang lain, ia menyatakan bahwa individu masuk ke dalam masyarakat politik karena ketidakmemadaian kondisi alamiahnya bukan karena keadaan alam sendiri. Locke mengatakan bahwa manusia hidup dalam keadaan alamiah (state of nature), dimana Locke menyatakan bahwa keadaan alamiah selalu merindukan kehidupan yang alamiah sebelum terbentuknya negara. Menurutnya keadaan alamiah adalah keadaan dimana manusia hidup dalam kedamaian, kebajikan, saling melindungi, penuh kebebasan, tak ada rasa takut dan penuh kesetaraan. Manusia juga tidak akan merusak kehidupan, kesehatan dan hak-hak pemilikan manusia lainnya.
Karena manusia bebas “adalah manusia bebas, sederajat dan merdeka,” berarti bahwa tidak ada orang tanpa persetujuannya bisa dibenarkan tunduk pada otoritas politik orang lain. Untuk melengkapi tesisnya, Locke mengambil pola yang ada pada masanya dengan menggunakan piranti kontrak sosial. Orang saling setuju untuk masuk ke dalam masyarakat dan membangun lembaga politik di bawah satu pemerintahan tertinggi. Dengan perjanjian ini, orang-orang menyerahkan kekuasaan untuk menjalankan hukum alam, suatu kekuasaan yang mereka miliki secara sendiri-sendiri dalam keadaan alamiah, kepada komunitas yang baru terbentuk. (Schmandt,2002:338-339)
Beberapa sifat dari kontrak sosial Locke yang paling penting dan mendasar adalah : pertama, prinsip yang menggerakkan di balik persetujuan ini bukanlah rasa takut akan kehancuran tetapi keinginan untuk menghindari gangguan keadaan alamiah. Locke dengan tegas berpegang bahwa hak-hak dan kewajiban-kewajiban moral adalah intrinsik dan lebih dulu ada daripada hukum; pemerintah berkewajiban untuk memberi sanksi pada hukum-hukumnya terhadap apa yang secara moral dan alamiah adalah benar.
Kedua, individu tidak menyerahkan kepada komunitas tersebut hak-hak alamiahnya yang subtansial, tetapi hanya untuk melaksanakan hukum alam, bahwa tiap orang mempunyai hak menurut hukum alam atas sesuatu di mana dia telah mempergunakan tenaga untuk memperolehnya, seperti misalnya menutup dan mengerjakan tanah.
Ketiga, hak yang diserahkan oleh individu tidak diberikan kepada orang atau kelompok tertentu tetapi kepada seluruh komunitas.
Locke mengutamakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban moral sebagai esensi dari terbangunnya kontrak sosial, bahkan menempatkan lebih tinggi dari hukum. Hal ini menegaskan bahwa Locke memandang hak asasi sebagai referensi utama dalam menetapkan sebuah aturan. Kehadiran negara sebagai lembaga yang disepakati untuk melegitimasi (mengkonstitusionalkan) hukum alamiah tersebut. Meskipun konsep ini masih bersifat umum, akan tetapi konsep ini diyakini merupakan mata air inspirasi tumbuhnya sistem demokrasi di negara-negara di dunia.
Deskripsi Locke tentang perjanjian sosial (kontrak sosial) menjadi landasan yang prinsipil dan filosofis dalam melihat proses pembentukan sebuah negara. Locke bahkan menegaskan tentang pentingnya memisahkan aspek legislatif (pembuat undang-undang dan hukum) dan aspek eksekutif dan yudikatif (pelaksanaan undang-undang dan hukum) dalam sebuah sistem politik. Kedua aspek ini tidak boleh dipegang oleh satu tangan agar penyalahgunaan kekuasaan dapat dihindarkan.
Berbeda dengan John Locke dan Jean Jaques Rousseau, Jűrgen Habermas berpandangan bahwa, Dalam pandangan klasik, politik dipahami sebagai seni memperebutkan kekuasaan. Dan kekuasaan itu sendiri dipandang sebagai “barang” yang ketersediaannya begitu terbatas sedangkan banyak konsumen membutuhkannya. Kenyataan terbatasnya ketersediaan “barang” itu menegaskan kekuasaan harus diperebutkan. Merebut kekuasaan itulah tugas partai-partai politik. Bagi Habermas, jantung dari sebuah percaturan politik bukanlah memperebutkan kekuasaan melainkan berkomunikasi dan berwacana. Dalam pengertian ini, politik demokrasi bukan lagi soal membagi kekuasaan (seperti demokrasi republikan Rousseau atau seperti John Locke dan kelompok liberalisme modern). Politik demokrasi justeru berarti berkomunikasi dan berwacana untuk menemukan apa yang sesungguhnya terkubur sebagai harta karun, yang selama ini belum ditemukan.[5]
Konsep Habermas yang demikian bakal menghantar suatu masyarakat untuk memahami secara benar arti sebuah partisipasi yang otentis. Bahwa dengan berkomunikasi dan berwacana dalam suatu ruang yang disebut Habermas sebagai “ruang publik”, ide tentang kemakmuran bersama bisa diwujudkan. Dalam hal ini suatu komunitas justeru diperkaya karena orang bisa mendalami dan merasakan nilai yang dimiliki orang lain. Di dalam suatu komunitas yang diwarnai komunikasi dan wacana yang baik, setiap anggota dituntun untuk saling memahami. Dan kesalingpahaman itu akan bergerak menuju tercipatanya solidaritas. Itulah hal yang selalu memperkaya kehidupan bersama.[6]
Bisa dibayangkan, bila terjadi suatu komunitas (apalagi komunitas politik) tidak memiliki komunikasi yang baik atau tidak memiliki anggota-anggota yang mampu membangun suatu komunikasi yang jujur. Tentu saja, bila suatu komunitas tanpa kemampuan komunikatif, cepat atau lambat akan runtuh. Suatu komunio perlu membangun komunikasi terutama komunikasi tentang kepentingan-kepentingan publik yang kerap direduksi kepada kepentingan golongan. Hal yang terakhir ini (reduksi kepentingan publik kepada golongan) bisa terjadi bila orang melihat politik sebagai usaha memperebutkan kekuasaan.
Di dalam suatu komunitas politik yang disebut sebagai Negara, politik, tak lagi dimengerti sebagai adu kekuatan. Politik berarti pertukaran komunikasi yang tujuannya adalah mencapai kesepakatan (konsensus) melalui jalan rasional. Karena mengandalkan jalan rasional dalam dunia kehidupan bersama, maka entah dalam ruang privat maupun dalam ruang publik, dalam ranah kehidupan etika maupun politik, diperlukan satu keyakinan bersama bahwa kesepakatan itu benar-benar ada. Dalam kondisi kehidupan yang demikian itu, politik tidak lain adalah tata dan cara komunikasi. Karena itu, hal-hal yang selalu dihindari adalah terjadinya orang berbohong, manipulasi, dan timbulnya kekacauan dan kesalahpahaman.
Habermas, berkaitan dengan suatu komunitas yang komunikatif, hendak menandaskan komunikasi intersubyektif. Bagi Habermas, intersubyektivitas adalah realitas yang mendahului otonomi subyek. Dalam komunitas, komunikasi intersubyektif sama sekali tidak meniadakan subyek yang otonom sebagai pelaku komunikasi. Sebab dengan menyampaikan sesuatu, sang subyek selalu mengandaikan bahwa ia sanggup membela kebenaran dari apa yang telah ia sampaikan. Itulah yang oleh Habermas disebut sebagai Universellen Geltungsanspruch (semacam tuntutan yang mengandaikan bahwa apa yang saya katakan dapat diterima secara universal), yang melekat dalam setiap tindakan, di mana orang menggunakan bahasa untuk menyampaikan pendapatnya.[7]
Habermas beranggapan bahwa dalam setiap bahasa yang kita pakai untuk berkomunikasi dalam suatu komunitas sesungguhnya sudah terkandung rasionalitas. Oleh karena rasionalitas itu maka diandaikan bahwa isi komunikasi itu bisa diterima oleh sesama anggota yang menjadi partner dalam suatu pembicaraan. Dengan kata lain, rasionalitas itulah yang melekat pada setiap tindak komunikasi. Karena realitas itu juga maka segala bentuk perbedaan pendapat dapat dihindari dengan argumen-argumen yang rasional (masuk akal) pula. Dengan demikian suatu komunitas yang komunikatif bisa tercipta untuk membangun proses menuju kesepahaman.[8]
Berbicara soal ide atau gagasan kontrak sosial dan dalam konteks penelitian ini di-rekonstruksi dalam jarak antar ruang dan waktu, yang klasik dan yang terkini, menjadi konsep akta kontrak politik atau proposal politik[9], dalam literatur ilmu politik hal ini terkait erat dengan rangkaian pengembangan buah pemikiran John Locke, Jean Jaques Rousseau dan Jűrgen Habermas, terdahulu dan apa yang selayaknya kini ada.
Akta kontrak politik atau proposal politik adalah aplikasi lanjutan dari kontrak sosial untuk memecahkan persoalan rendahnya tingkat keterwakilan politik di Indonesia selama ini. Tanpa mekanisme kepastian hukum, yang dituangkan dalam kebijakan publik, dalam format tertulis kontrak hitam di atas putih yang berisi dan rinci, maka proses keterwakilan dan pemilihan umum pejabat eksekutif dan legislatif hanya akan menjadi kabur, formalitas dan tidak bisa di-tanggunggugatkan terhadap para pemilih (popular/public accountibility).
Filsafat sosial yang dikembangkan Rousseau antara lain adalah individualisme sistematis, yang diadopsi dari pemikiran John Locke yaitu adanya nilai bahwa setiap kelompok sosial terdiri atas upaya pencapaian kebahagian atau kepuasan diri dan adanya perlindungan otoritas untuk mempunyai dan menikmati hak milik setiap warga negara. Pada hakekatnya manusia tergerak untuk bekerja sama disebabkan kepentingan dan keuntungan pribadi masing-masing, yang perlu dihimpun sebagai kehendak umum bersama.
Tentang keadaan state of nature atau keadaan alami, Rousseau berbeda tegas dengan Hobbes, keadaan perang yang menurut Hobbes dialami oleh manusia secara individual sesungguhnya dialami oleh persona publik (public person) makhluk moral yang disebut kedaulatan (moral beings called soverigns). Manusia tidak bertempur sebagai individu yang terpisah dari orang lain, tetapi sebagai warga negara. Manusia tidak memiliki kecakapan moral di luar masyarakat.
Masyarakat manusia adalah suatu impian yang telah terbukti, umat manusia saja bukanlah masyarakat, sebab kesamaan belaka belum tentu melahirkan keadaaan persatuan atau harmoni yang nyata. Padahal masyarakat adalah kumpulan pribadi susila (moral beings) yang lahir dari suatu ikatan (liason) yang nyata. Suatu kesalahan berfikir bila orang-orang mengira bahwa niat baik, akal atau rasio saja yang akan mempersatukan manusia. Rasio atau niat baik saja tidak cukup, tapi perlu ada kontrak dan mekanisme yang mengikat antara pemilih, wakil dan pemimpinnya.
Rousseau dalam tulisannya Plan for a Constitution of Corsica mengatakan negara seharusnya menjadi satu-satunya pemilik, karena bilamana negara tidak menjamin hak-hak manusia, termasuk hak milik, maka harta kekayaan bukanlah suatu hak alamiah. Pada periode akhir hidupnya, Rousseau terlihat pesimis, ia melihat bahwa kemiskinan yang memilukan di dalam suatu kelas, berarti kelas tersebut dikorbankan untuk kemewahan kelas lain, eksploitasi ekonomi dengan sendirinya mengakibatkan despotisme politik.[10] Terhadap masyarakat yang jahat itu, Rousseau menempatkan cita-cita terbentuknya suatu masyarakat sederhana yang diagungkan, yang merupakan jalan tengah yang adil antara sikap kemalasan yang primitif dan egoisme yang beradab. Masyarakat yang ada adalah jahat dan harus disederhanakan.[11]
Pemikiran politik Rousseau yang paling khas yang tampaknya dijadikan miliknya (karena diduga merupakan buah pikiran Diderot) adalah konsep tentang kehendak umum (general will, volonte generale) dan kemudian dikembangkannya lagi menjadi teori social contract, yaitu : bahwa suatu masyarakat mempunyai kepribadian hukum atau moi Cummun yaitu bandingan organis untuk suatu lingkungan kemasyarakatan. Kehendak umum dari kepribadian hukum itu sendiri yang kemudian meletakkan ukuran-ukuran moral (kesusilaan) yang mengikat anggota-anggotanya, karena itu suatu pemerintahan adalah tidak lebih dari pada sebuah lembaga dari kehendak umum tersebut.
Persamaan jenis manusia saja tidaklah membuat umat manusia atau individu membentuk masyarakat tetapi hanya suatu pertalian psiokolgis atau spiritual, karena itu diperlukan suatu badan hukum yaitu suatu makhluk moral yang memiliki kehendak yang terbentuk dari kehendak umum (volonte general, general will). Kehendak umum tersebut merupakan sumber hukum, condong untuk mempertahankan kelangsungan dan kesejahteraan keseluruhan dan setiap bagian, menjadi pedoman tentang apa yang benar dan apa yang salah untuk semua anggota negara baik dalam hubungannya terhadap satu sama lain maupun hubungan terhadap negara.[12]
Kecenderungan untuk membentuk masyarakat adalah tabiat yang universal. Di mana saja individu-individu mempunyai kepentingan bersama maka mereka membentuk masyarakat yang bersifat tetap atau sementara. Setiap masyarakat mempunyai kehendak umum yang mengatur tingkah laku angota-anggotanya. Selanjutnya Rousseau menempatkan sikap patriotisme sebagai kebajikan tertinggi dan sumber dari semua kebajikan lainnya. Patriotisme adalah perasaan yang halus dan bersemangat yang menjiwai cinta akan kebajikan sehingga menjadi semangat kepahlawanan yang tanpa cacat.
Manusia harus menjadi warga negara lebih dahulu sebelum ia menjadi orang, akan tetapi agar menjadi warga negara, pemerintah harus memberikan kemerdekaan di bawah jaminan hukum, menjamin kesejahteraan material dan menghilangkan ketidaksamaan yang besar dalam pembagian kekayaan negara dan harus membuat sistem pendidikan umum agar anak-anak dibiaskan untuk memandang individualitas mereka hanya dalam hubungannya dengan negara.
Menurut Rousseau juga dalam social contract-nya, yang diterbitkan pada tahun 1762, masyarakat kecil, seperti negara kota adalah contoh terbaik untuk berlakunya kehendak umum. Tentang ciri kontrak atau perjanjian umum masyarakat, dalam buku Sabine disebutkan ciri-cirinya sebagai berikut :
Pertama, kontrak tidak ada sangkut pautnya dengan hak dan kekuasaan pemerintah, sebab pemerintah hanyalah sebuah lembaga kedaulatan rakyat dan sama sekali tidak mempunyai kekuasaan sendiri, sehingga pemerintah tidak bisa menjadi subyek perjanjian. Kontrak ini antara lain berisi kesediaan para individu warga negara untuk membayar pajak dan mematuhi hukum (kebijakan publik) yang dibuat bersama.
Jika dipahami dalam alam modern, kebersediaan individu membayar pajak mirip dengan pembeliaan saham oleh para pemegang saham suatu perusahaan terbuka. Para stakeholders itulah yang menentukan apa dan bagaimana jalannya perusahaan. Rakyat pembayar pajaklah pemegang saham terbesar suatu negara. Sehingga ia perlu didengar, ada mekanisme dan bisa menuntut haknya dengan menunjukkan slip pajak dan retribusi yang ia bayarkan, bila suatu ketika mereka berinteraksi dengan pengurus partai politik, para eksekutif dan legislatif.
Kedua, Hak- hak dan kebebasan para individu tidak ada sama sekali kecuali telah menjadi anggota masyarakat. Masyarakat adalah suatu persatuan (associatioan), suatu keperibadian moral yang kolektif. Manusia secara individual mendapat keuntungan jika menjadi anggota masyarakat, dari pada mereka tinggal terpencil.
Kehendak umum adalah suatu kenyataan unik dari masyarakat yaitu terkandung didalamnya kebaikan kolektif. Masyarakat mempunyai kehendak sendiri yaitu kehendak umum (volonte generale) dan negara adalah suatu pribadi moral yang hidupnya terdapat di dalam persatuan anggota-anggotanya yaitu warga negara. Usaha negara yang terpenting adalah untuk mempertahankan diri, karena itu negara harus mempunyai kekuatan yang universal dan memaksa agar dapat mengatur agar setiap bagian sedemikian rupa menguntungkan untuk keseluruhan. Jadi peran atau tugas negara dalam hal ini eksekutif untuk menyediakan rasa aman, keteraturan, ketersediaan public goods dan public utilities, dan persamaan kesempatan yang adil.
Hak warga negara adalah memperoleh kemerdekaan, kesamaan dan hak milik yang merupakan hukum alami. Manusia menjadi sederajat (equal) disebabkan oleh kebiasaan dan menurut hukum, berbeda dengan Hobbes yang berpendapat manusa sederajat karena kekuatan fisik yang pada hakekatnya sama. Hak yang dimiliki oleh setiap individu atas miliknya selalu tunduk kepada hak yang dimiliki oleh masyarakat atas semua.
Pemikiran Rousseau dinilai Sabine banyak mengandung paradoks, bahwa kekuasaan soverign itu, sekalipun mutlak, keramat dan tidak dapat diganggu gugat, tetapi tidak dapat melampaui batas-batas kebiasaan dan kehendak umum. Pada hakekatnya Rousseau bergerak maju mundur sekehendak hatinya antara kehendak umum, hak-hak individu dan wewenang pemerintah.
Selanjutnya kita lihat petikan tentang konteks interpretasi pemikiran Jean Rousseau yang lainnya untuk kemajuan manusia (Human Progress) :
“…. in France the philosopher Jean Rousseau stated in The Nature of Man his ideals on the social contract of the people in France. Rousseaus, like Locke, thought that togetherness would corporate as one. He believes that the state controls all the goods, but if you take goods from the members of society then you cannot take that good away from them. Roousseau explains if you disobey the social contract there are penalties. The people need a social commitment and if there are people that do not commit than they are to be banished. The people are banished for disobeying the laws and not providing duty for the country, and he who states a disagreement will deserve the death penalty. Religion is in the hands of the people, they can have their own views. He decides that religion is not determined by the State and the people can practice the religion of their choice. Roousseau thinks that the government should be divided into small powers a legislative, executive, and judicial groups. "They make sovereign a being of fancy, composed of separate pieces, which would be like putting a man together from several bodies." Each groups doing their jobs separately but for the same goal to make the country better as a whole. These people in power work like the peoples agents, they work to compromise between the common good and for the good of France. If the country is to go to war with another country the state needs a defense group. He explains that if you are giving money to the state they can use the money to supply troops with needs and supply weapons for combat. In doing this, the people are not obligated to fight in war if one occurs, yet if demanded need they must defend. In other words the people are paying to have a war fought for them. This is good that the people have the decision to fight in a war and the supply of money will help the country grow a better defense. The social contract shows Roousseau's ideas on how the community should be governed and how the community should change the way of life for the better”.[13]
Petikan kutipan di atas mengingatkan tentang perlunya kebersamaan dalam membangun suatu negara, keniscayaan adanya kontrak antara para pemilih, para wakil pengawas dan pemimpin terpilih, tentang suatu ketentuan apa yang akan dilakukan sebagai penalties, bila tidak satu kata dan perbuatan, antara janji saat kampanye dan cidera janji setelah berkuasa. Hal-hal yang perlu dituangkan dalam proposal politik “orang menyebutnya visi, misi, program/platform” tapi umumnya hanya formalitas belaka dan tidak rinci tentang cara operasional pencapaiannya, tanpa kerangka waktu yang jelas dan tanpa sanksi bila itu tidak dilaksanakan oleh para politisi.
[1] Jean Rousseau, Loc.cit.
[2] Revolusi Perancis meletakkan landasan moral-politik bagi ditegakkannya bangunan masyarakat madani. Sejak itu kontrol sosial terhadap kekuasaan muncul menjadi gagasan penting dalam diskursus politik modern; juga banyaknya partai, organisasi massa, perkumpulan, lembaga-lembaga sosial, menjamurnya penerbitan pers dan lain-lain, yang berusaha mengimbangi kekuasaan negara di satu sisi, dan di sisi lain menegaskan keterlibatan rakyat di dalam politik.
[3] Lihat G.H. Sabine, Teori-Teori Politik (2) Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya, Bandung, Binacipta, 1981, hal. 221-241. Lihat juga Rousseau, Jean. The Social Contract, Modem History Sourcebook.. 1763.
[4] Ibid.
[5] Wisma Rafael, Filsafat Sosial Politik, Demokrasi Republikan JJ. Rousseau dan Demokrasi Deliberatif Jürgen Habermas (Sebuah perbandingan), Sunday, 27. January 2008, dalam www.google.com, diakses tanggal 2 April 2009.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Pemilu sering dianggap sebagai proses kontrak sosial dalam jangka waktu tertentu (misalnya 5 tahun). Menurut penulis itu bisa jadi betul, tapi belum tentu benar. proses kontrak sosial Pemilu cenderung semu dan prematur. Pemilih seolah memberikan “cek kosong” kepada wakil untuk diisi apa saja. Akad Politik adalah perjanjian sosial dalam konteks supremasi hukum, aktor, ruang dan waktu, yang dilakukan antara konstituen (pemilih) terhadap calon wakil atau calon pemimpin mereka (Capres/Wapres/caleg) dalam suatu proses Pemilu. Bentuknya didahului oleh proses dialogis, pembuatan proposal program dalam bentuk tertulis hitam di atas putih.
[10] Despotisme antara lain bisa diberi makna sebagai sistem pemerintahan dengan kekuasaan tidak terbatas dan sewenang-wenang. Lihat Frans M. Parera & T. Jakob Koekerits, Masyarakat Versus Negara, Paradigma Baru Membatasi Dominasi Negara. Jakarta, Penerbit Kompas, 1999, Hal. xii.
[11] Pada awal pemikirannya menurut Sabine, Rousseau melihat suatu masyarakat terbentuk karena adanya dorongan kecerdasan moral dalam hidup manusia, tapi pada belakangan masyarakat di mata Rousseau tidak lagi tampak begitu. Hal ini menurut Sabine adalah suatu keragu-raguan dalam pemikiran Rousseau. Selain itu Rousseau sangat meng-ideal-kan negara kota, karena dapat mewujudkan nilai tertinggi. Ia memimipikan adanya negara nasional berupa negara kota yang terdiri dari antara lain kelas pekerja yang beretos kerja dan militan (katolikisme) di seberang lereng gunung Alp. Suatu pemikiran pada zamannya untuk kembali ke alam dan menjadi masyarakat yang sederhana lagi.
[12] Sabine mengutip Vaughon, Vol. I. p. 241, terjemahan edisi bhs. Inggris oleh G.D.H. Cole, p. 253.
[13] Lihat http://www.historians.org/teaching/aahe/Kelly/Pew/Portfolio/Student%20Work/sp001-06.htm, artikel yang mengutip Rousseau, Jean. The Social Contract, Modem History Sourcebook.. 1763.