YUDI LATIF
Dewan Pendiri Nurcholish Madjid Society dan Direktur Eksekutif Reform Institute
Sebuah
sekte rahasia menciptakan tanda peringatan tentang pentingnya waktu di
ruang bawah tanah Gereja Santa Maria della Concezione, di puncak Stupa
Spanyol di Roma. Pada lantai ruangan biarawan Capuchin, di kaki gundukan
tulang-belulang manusia, tertulis sebuah inskripsi, ”What you are, they
once were/What they are, you will be.”
Maka, seperti tertulis
dalam Injil Matius (6:34), ”Jangan cemaskan esok hari karena hari esok
akan mencemaskan dirinya sendiri.” Dikatakan pula oleh Nabi Muhammad,
”Sekiranya engkau tahu kiamat terjadi esok hari, sedang di genggaman
tanganmu ada benih, maka tanamkanlah.”
Seorang muda bertanya
kepada syekh tua yang sedang menanam pohon. ”Untuk apa menanam sesuatu
yang tuan tak akan menikmati buahnya? Syekh itu pun menukas, ”Apakah
yang kamu makan adalah hasil yang kau tanam sendiri?”
Kecemasan
akan hari esok hanya bisa diatasi dengan menanam kebajikan hari ini.
Jika pandangan kita ke depan digayuti kabut kerisauan dan pesimisme,
sebab utamanya karena kita berhenti menanam harapan untuk masa depan.
Banyak
orang menyia-nyiakan waktu, seolah waktu itu berlimpah, berputar
melingkar. Sesungguhnya, waktu itu ibarat aliran sungai. ”Tak ada
seorang pun yang bisa melintasi sungai yang sama dua kali,” ujar
Heraclitus. Sungai terus mengalir, manusia terus berubah.
Waktu
adalah milik kita yang paling berharga. Dalam kaidah ekonomi, semakin
jarang sesuatu dan semakin sering digunakan, maka akan semakin bernilai.
Emas, misalnya, cadangannya terbatas, tetapi banyak digunakan, maka
nilainya sangat tinggi. Kebanyakan hal yang bisa dimiliki bisa diisi
ulang. Cadangan berlian dan emas bisa ditemukan, uang bisa dicetak
kembali, tetapi tidak dengan waktu. Waktu yang hilang tidak tergantikan.
Peribahasa ”waktu adalah uang” tidak sepenuhnya tepat. Waktu, sebagai
sumber daya yang paling jarang, jauh lebih berharga daripada uang.
Dalam
penggunaan waktu juga berlaku prinsip ”opportunity costs”. Bahwa apa
pun yang kita pilih untuk diperbuat berisiko hilangnya kesempatan
melakukan hal lain. Dengan uang, kita memiliki pilihan konservatif
dengan menyimpannya di bank, tetapi tidak dengan waktu. Kita
mengeluarkan waktu setiap saat. Kita ”adalah jam yang setiap saat waktu
berkata sendiri”, ujar Shakespeare.
Waktu bukanlah keabadian,
sekadar labirin tanda tanya yang di setiap ujung jeda dan pintunya
selalu sisakan misteri. Akan tetapi, setiap jejak tidaklah sia-sia.
Seperti samudra bermula dari tetes air. Setiap darma memberi harapan
masa depan. Lukisan masa depan adalah pilihan kita menggoreskan warna
pada kanvas masa kini.
Last Updated on Wednesday, 06 January 2010 11:43
Sumber : http://www.reform-institute.org/analisa-berita/108-waktu.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar