Kedudukan Perjanjian Pengikatan jual Beli dalam Perspektif Hukum Kontrak
Berdasarkan teori lahirnya perjanjian, maka jual beli termasuk perjanjian yang bersifat konsensuil atau mengenal Asas Konsensualisme (Pasal 1320 ayat (1) KUHPer), dimana perjanjian lahir saat kedua belah pihak sepakat mengenai barang dan harga, walaupun pada saat itu barang belum diserahkan dan harga belum dibayarkan (1458 KUHperdata). Unsur esensial dari perjanjian jual beli adalah barang dan harga. Harga haruslah diartikan sebagai sejumlah uang yang digunakan (diakui) sebagai alat pembayaran yang sah sebab apabila tidak demikian, maka tidak ada perjanjian jual beli melainkan yang ada adalah perjanjian tukar menukar. Sedangkan barang yang menjadi obyek perjanjian jual beli adalah haruslah barang yang berada dalam lalu lintas perdagangan sebagaimana diatur dalam pasal 1332 KUHPerdata. Berdasarkan BW barang yang menjadi obyek perjanjian dapat diklasifikasikan menjadi barang yang sudah ada dan barang yang akan ada (relative dan absolut).
Jual beli diatur dalam buku III KUHPerdata, bab ke lima tentang “jual beli”. Dalam pasal 1457 KUHPerdata dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu (penjual) mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain (pembeli) untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikemukankan lebih lanjut bahwa perjanjian jual beli merupakan perjanjian timbal balik sempurna, dimana kewajiban penjual merupakan hak dari pembeli dan sebaliknya kewajiban pembeli merupakan hak dari penjual. Dalam hal ini, penjual berkewajiban untuk menyerahkan suatu kebendaan serta berhak untuk menerima pembanyaran, sedang pembeli berkewajiban untuk melakukan pembayaran dan berhak untuk menerima suatu kebendaan. Apabila hal tersebut tidak dipenuhi, maka tidak akan terjadi perikatan jual beli. KUHPerd mengenal tiga macam barang sebagai obyek Jual-Beli yaitu : barang bergerak, barang tidak bergerak (barang tetap), dan barang tidak berwujud seperti piutang, penagihan, atau claim.
Perjanjian jual beli saja tidak lantas menyebabkan beralihnya hak milik atas barang dari tangan penjual ke tangan pembeli sebelum dilakukan penyerahan (levering). Pada hakekatnya perjanjian jual beli itu dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap kesepakatan kedua belah pihak mengenai barang dan harga yang ditandai dengan kata sepakat (Jual beli) dan yang kedua, tahap penyerahan (levering) benda yang menjadi obyek perjanjian, dengan tujuan untuk mengalihkan hak milik dari benda tersebut.
Kesepakatan para pihak dalam perjanjian jual beli sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata melahirkan dua macam perjanjian, yaitu perjanjian obligatoir (perjanjian yang menimbulkan perikatan) dan perjanjian kebendaan (perjanjian untuk mengadakan, mengubah dan menghapuskan hak-hak kebendaan). Akibat pembedaan perjanjian tersebut, maka dalam perjanjian jual beli harus disertai dengan perjanjian penyerahan (levering), yaitu sebenarnya merupakan perjanjian untuk melaksanakan perjanjian jual beli
Pasal 1253 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perikatan adalah bersyarat, apabila digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan perikatan sehingga terjadinya peristiwa tersebut (syarat tangguh, Pasal 1263-1264 dan 1463 KUHPerdata) maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadinya atau tidaknya peristiwa itu (syarat batal, Pasal 1265-1266 KUHPerdata). Menurut hartono berdasarkan ketentuan pasal 1253 KUHPerdata tersebut, maka dapat diketahui bahwa ukuran dari pelaksanaan perikatan adalah adanya syarat terjadinya atau tidak terjadinya suatu peristiwa yang belum tentu akan terjadi. Apabila peristiwa itu merupakan peristiwa yang pasti akan terjadi, maka perikatan tersebut merupakan perikatan bersyarat dengan ketepatan waktu (syarat Positif, Pasal 1258 KUHPerdata).
Jadi Perjanjian Pengikatan jual Beli merupakan perikatan bersyarat seperti yang yang telah dijelaskan sebelumnya dan bukan perjanjian Pendahuluan karena dalam perjanjian Pendahuluan sifatnya seperti MOU dan belum masuk dalam perjanjian pokok serta dalam perjanjian Pendahuluan belum ada kata sepakat. sedangkan dalam perjanjian jual-beli mengenal asas Konsensualisme arti bahwa perjanjian cukup dengan kata sepakat saja sudah lahir atau dilahirkan suatu perikatan. Pada detik tersebut perjanjian sudah mengikat, dan bukannya pada detik-detik lain yang terkemudian atau sebelumnya.
2 komentar:
asalamalikum..saya seorang mahasiswa di salah satu perguruan di jakarta..
saya tertarik untuk mebahasa PPJB dalam skripsi hukum saya..
rumusan masalh yang saya buat adalah mengenai kepastian hukum dari PPJB ini sendiri..
seprti yang kita ketahui,PPJB ni merupkan bag dari akta jual beli, dimana perjanjian dikatakan sudah berakhir jika akta jual beli telah dikluarkan..
sebenarnya kekuatan hukum dari ppjb ini sejauh apa ya?mohon penjelasannya..terima kasih atas bantuannya..
pro justicia!
asalamalikum..saya seorang mahasiswa di salah satu perguruan di jakarta..
saya tertarik untuk mebahasa PPJB dalam skripsi hukum saya..
rumusan masalh yang saya buat adalah mengenai kepastian hukum dari PPJB ini sendiri..
seprti yang kita ketahui,PPJB ni merupkan bag dari akta jual beli, dimana perjanjian dikatakan sudah berakhir jika akta jual beli telah dikluarkan..
sebenarnya kekuatan hukum dari ppjb ini sejauh apa ya?mohon penjelasannya..terima kasih atas bantuannya..
pro justicia!
Posting Komentar