KEPASTIAN HUKUM HAK ATAS TANAH
Kepatian Subyek Hak Atas Tanah
Pada dasarnya setiap hak atas tanah adalah dikuasai oleh Negara, dan negara dapat menentukan jenis dan mendistribusikan hak-hak tersebut kepada masyarakat. Dalam Pasal 4 ayat 1 Undang Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) disebutkan bahwa “Atas dasar hak menguasai dari negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan hukum.”
Dari uraian pasal tersebut di atas dapat diketahui bahwa terdapat beberapa subyek hukum yang dapat memiliki hak atas tanah, yaitu: orang-orang secara individu; bersama-sama dengan orang lain; dan badan hukum. Untuk mengetahui kepatioan hak dari masing subyek hak atas tanah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Orang-orang secara Individu.
Orang, manusia (individu) dapat disebut sebagai Natuurlijk Persoon yaitu subyek hukum secara alami, karena secara alamiah hanya manusia yang dapat menjadi subyek hukum dan melakukan suatu tindakan atau hubungan hukum. Hak atas tanah dapat diberikan kepada manusia secara individu, perorangan, masing-masing atas suatu hak atas tanah tertentu. Sehingga dalam tanda bukti atas tanah tersebut dapat disebutkan nama tiap-tiap individu yang memiliki hak tas tanah, misalnya Sertifikat Hak Milik Atas Tanah No 56 Atas Nama Tuan BUDI. Ini berarti negara telah memberi hak kepada tuan Budi (secara personal) untuk menguasai tanah tersebut, sebagai sebuah subyek hukum. Jadi, kepastian hukum bagi Tuan BUDI sebagai subyek hak atas tanah dapat dilihat dari adanya sertifikat –sebagai tanda bukti hak atas tanah- yang dimiliki oleh Tuan Budi secara personal.
Dalam Hukum Agraria (UUPA), khususnya yang berkaitan dengan hak atas tanah, tidak semua individu dapat memiliki hak atas tanah, dengan kata lain hanya orang-orang yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu yang dapat mempunyai hak atas tanah. Misalnya, dalam Hak Milik, hanya warga negara Indonesia yang dapat memiliki hak milik atas tanah, sedangkan bagi warga negara asing hanya dapat memiliki hak pakai atas tanah.
- Orang-orang secara bersama-sama dengan orang lain
Hak atas tanah juga dapat diberikan kepada orang-orang secara bersama-sama, artinya sekelompok orang secara bersama-sama dapat memiliki hak atas tanah. Dalam UUPA hal ini dikenal dengan tanah ulayat. Dalam ketentuan Pasal 3 UUPA disebuitkan bahwa masyarakat hukum adat diakui oleh negara sepanjang dalam kenyataannya masih ada dan tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku dalam masyarakat kesatuan Negara Republik Indonesia.
Masyarakat adat tersebut memiliki wilayah hukum adat yang terdiri atas tanah yang dikelola dan dipergunakan secara bersama-sama dan pengurusannya pula diserahkan kepada masyarakat adat tersebut, yakni tanah ulayat. Hak atas tanah ulayat ini diberikan oleh negara kepada masyarakat hukum adat, dan penggunaannya dimaksudkan untuk kepentingan bersama, dimiliki atas nama bersama bukan untuk kepentingan atau atas nama individu. Misalnya Surat Tanda Bukti Hak Atas Tanah Ulayat No 11 atas Nama Masyarakat Hukum Adat Asmat, hal ini berarti hak atas tanah tersebut dimiliki atau dukuasi oleh sekelompok orang yang tergabung dalam masyarakat hukum adat Asmat.
- Badan Hukum
Selain dapat diberikan kepada orang perorangan dan bersama-sama dengan orang lain, hak atas tanah juga dapat diberikan kepada badan hukum. Badan hukum dapat disebut juga Recht Persoon, yaitu subyek hukum yang memiliki hak karena hukum yang menentukan dia sebagai subyek hukum. Terhadap badan hukum tersebut dapat juga mempunyai hak atas tanah, dengan syarat-syarat tertentu sesuai dengan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Misalnya: Untuk badan hukum, hanya badan-badan hukum tertentu saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, yaitu Basan Hukum yang bergerak dibidang sosial, keagamaan dan koperasi pertanian. Sedangkan untuk Badan Hukum komersial lainnya tidak dapat mempunyai hak milik atas tanah, tetapi dapat mempunyai Hak Guna Bangunan Hak Guna Usaha, dan sebagainya.
Kepastian Obyek Hak Atas Tanah
Obyek hak atas tanah adalah mengenai obyek hak (tanah) tertentu yang dapat dipunyai hak oleh subyek hukum. Obyek hak atas tanah tersebut dapat berasal dari tanah negara maupun tanah-tanah yang telah dimiliki hak sebelumnya. Obyek hak atas tanah tersebut juga berkaitan berkaitan dengan jenis-jenis hak atas tanah yang ditentukan dalam UUPA yaitu dalam Pasal 16. Dalam Pasal tersebut dijelaskan macam-macam hak atas tanah antara lain: Hak Milik; Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak membuka Tanah, Hak memungut Hasil Hutan, Hak-hak atas tanah yang akan ditentukan kemudian, dan Hak hak atas tanah yang bersifat sementara.
Untuk menjamin kepastian hukum, maka obyek hak atas tanah yang dipunyai oleh suatu subyek hak harus dituliskan atau dicatatkan secara jelas dan rinci mengenai jenis hak, batas wilayah dan jangka waktu (bila ada). Obyek tersebut digambarkan dalam peta situasi dan diukur oleh pejabat yang berwenang dan hasilnya akan dicatatkan dalam sertifikat sebagai bukti hak atas tanah.
Kesalahan dalam menentukan obyek hak atas tanah ini sering menjadi masalah krusial dalam masyarakat. Misalnya adanya tumpang tindih sertifikat terhadap tanah yang letaknya berbatasan.
Contoh Kasus:
Tuan Sujono memiliki sebidang tanah pekarangan seluas 500 meter persegi, dibuktikan dengan sertifikat Hak Milik Nomor 165 tahun 1995 yang terletak di Desa Sumberejo Kecamatan Kedungjajang Kabupaten Lumajang. Setahun setelahnya, yaitu pada bulan Maret Tahun 1996 Tuan Sujono menjual tanah tersebut kepada Tuan Misnadi. Pada waktu akan dilakukan balik nama, timbul permasalahan bahwa ternyata luas tanah yang dijual Tuan Sujono kurang dari 500 meter persegi, tepatnya 495. ketika dilakukan pengukuran ulang, 5 meter tersebut adalah tanah milik Tuan Sunarto yang berbatasan dengan tanah milik Tuan Sujono. Dari sinilah kemudian timbul sengketa bahwa Tuan Sujono bersikeras bahwa tanah miliknya adalah seluas 500 meter persegi, bukan 495 (sesuai yang tertera dalam sertifikat). Sedangkan tuan Sunarto-pun memiliki tanda bukti hak berupa sertifikat, dan disertifikat itu juga terdapat durat ukur yang menerangkan bahwa tanah tersebut termasuk dalam peta hak milik atas Tuan Sujono.
Jika terjadi kasus seperti ini, maka harus dilakukan pengecekan ulang antar serifikat baik yang dimiliki Tuan Sujono maupun Tuan Sunarto. Untuk melakukan pengukuran ulang tersebut, juga diperlukan tanda bukti hak yang lama (bukti-bukti sebelumnya) yang terdapat dalam buku kerawangan desa, maupun peta satelit ada di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Kasus seperti ini sering terjadi dalam masyarakat, beberapa hal yang menjadi penyebab adalah karena kesalahan manusia (human error) seperti kurang cermatnya petugas ukur atau petugas yang menggambar batas, dan bisa juga karena faktor alam, seperti perceseran lem[eng bumi dan adnaya bencana alam yang dapat merubah struktur tanah.
Dari kasus tersebut di atas dapat dilihat, bahwa kepastian akan obyek hak adalah masalah yang sangat urgen karena rentan menimbulkan sengketa. Kecermatan dan kehati-hatian dari pejabat ukur dan panitia pendaftaran tanah dalam menentukan obyek (tanah tertentu) dengan batas-batasnya menjadi faktor utama adanya jaminan kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah.
Eksistensi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPATS) dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus (PPAT Khusus)
Adanya lembaga PPAT merupakan sebuah amanah dari adanya UUPA khususny Pasal 19 tentang pendaftaran tanah, dan selanjutnya dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PPPT). Dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2) PPPT disebutkan bahwa Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT atau pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut peraturan pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Lebih lanjut tentang PPAT diatur tersendiri dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pengertian PPAT dalam peraturan tersebut adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.
Tugas pokok PPAT adalah melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai alat bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Perbuatan hukum yang dimaksud antara lain: Jual beli; tukar menukar; hibah; pemasukan kedalam perusahaan (inbreng); pembagian hak bersama; pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah hak milik; pemberian hak tanggungan; dan pemberian kuasa membebankan hak tanggungan.
Dari ketentuan tersebut dapat dilihat bahwa PPAT memiliki tugas yang sangat penting dalam pendaftaran tanah khususnya berkaitan dengan akta-akta. Sehingga seseorang yang menjadi PPAT memiliki kualifikasi tertentu yang ditentukan oleh undang-undang yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang akan menjadi PPAT. Eksistensi PPAT dalam masyarakat juga dapat dijadikan barometer pendaftaran tanah, dengan kata lain semakin banyaknya masyarakat yang mengenal atau menggunakan PPAT, maka semakin mudah pula proses pendaftaran tanah.
Selain adanya PPAT, dalam PP Nomo 37 Tahun 1998 juga dikenal adanya PPAT Sementara dan PPAT Khusus. PPATS yaitu pejabat pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT, PPATS ini biasanya dijabat oleh Camat setempat. Seangkan PPAT khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas pemerintah tertentu.
Jika dilihat sekilas PPAT, PPATS maupun PPAT khusus memiliki tugas dan wewenang yang sama, namun jika diperhatikan antara ketiganya memiliki perbedaan yang signifikan yaitu: PPAT (yang memenuhi kualifikasi dalam PP), memiliki kewenangan yang luas -sepanjang mengenai akta tanah- dan tidak dibatasi waktu tertentu. Artinya PPAT dapat menjalankan kewenangannya karena memang PP menghendaki profesi tersebut untuk dijalankan seseorang hingga batas pensiun.
Sedangkan PPATS hanya menjabat sebagai PPAT sementara waktu saja selama di daerah tersebut masih belum cukup terdia PPAT, seperti di daerah-daerah terpencil. Dengan demikian jika di daerah tersebut sudah terdapat cukup PPAT yang memberikan pelayanan kepada masyarakat maka PPATS (camat) tidak dibutuhkan lagi, dan masyarakat dapat menggunakan jasa PPAT. Begitu juga dengan PPAT khusus, PPAT ini hanya bertugas secara insidental, hanya diperlukan pada kondisikondisi khusus dan berdaasarkan program pemerintah, tujuannya adalah untuk mempermudah programn pendaftaran tanah yang dilakukan pemerintah.
Pada kenyataannya, saat ini masyarakat lebih mengenal PPATS dibanding dengan PPAT profesi. Meskipun di daerah tersebut telah tersedia jasa PPAT profesi, masyarakat cenderung lebih memilih PPATS dalam pembuatan surat atau akta-akta yang berkaitan dengan tanah. Hal ini disebabkan karena kultur nmasyarakat pedesaan lebih dekat dengan sosok Camat dari pada PPAT profesi atau sekaligus notaris, mereka juga beranggapan bahwa biaya yang dikeluarkan akan lebih mahal jika menggunakan jasa PPAT Notaris. Padahal jika ditelaah lebih lanjut PPAT Notaris dapat memberikan penjelasan atau pelayanan hukum yang lebih baik dibandingkan dengan PPATS karena memang mereka telah menempuh pendidikan lebih dan memiliki kualifikasi tertentu yang tidak diliki oleh PPATS maupun PPAT khusus.
Oleh sebab itu perlu adanya sosialisasi atau pemerataan penempatan PPAT untuk daerah-daerah terpencil agar masyarakat mendapatkan pelayanan dalam bidang pertanahan secara optimal. Dan untuk daerah-daerah yang sudah terdapat cukup pelayanan PPAT profesi, maka sudah selayaknya PPATS yang dijabat oleh Camat ditiadakan agar tidak terjadi kebingungan dalam masyarakat.
* Mahasiswi Magister Kenotariatan UB Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar