Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus hukum, yaitu liability dan responsibility. Liability merupakan istilah hukum yang luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung atau yang mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang. Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan, ketrampilan, kemampuan dan kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan. Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban politik.[1]
Mengenai persoalan pertanggungjawaban pejabat menurut Kranenburg dan Vegtig ada dua teori yang melandasinya yaitu:
a. teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi.
b. teori fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan kepada jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan berimplikasi pada tanggung jawab yang harus ditanggung.[2]
Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut:[3]
1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya.
Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu:
a. adanya perbuatan;
b. adanya unsur kesalahan;
c. adanya kerugian yang diderita;
d. adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.
Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Pengertian hukum tidak hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat.
2. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab
Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah.
Kata “dianggap” pada prinsip “presumption of liability” adalah penting, karena ada kemungkinan tergugat membebaskan diri dari tanggung jawab, yaitu dalam hal ia dapat membuktikan bahwa ia telah “mengambil” semua tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan terjadinya kerugian.[4]
Dalam prinsip ini, beban pembuktiannya ada pada si tergugat. Dalam hal ini tampak beban pembuktian terbalik (omkering van bewijslast). Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Namun jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas demikian cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada pada pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat harus menghadirkan bukti-bukti bahwa dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidak dapat sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan kesalahan tergugat.
3. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab
Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip yang kedua, prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas. Contoh dari penerapan prinsip ini adalah pada hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin atau bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Pihak yang dibebankan untuk membuktikan kesalahan itu ada pada konsumen.
4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua terminologi di atas.
Ada pendapat yang menyatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya pada keadaan force majeure. Sebaliknya absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya.
Menurut E. Suherman, strict liability disamakan dengan absolute liability, dalam prinsip ini tidak ada kemungkinan untuk membebaskan diri dari tanggung jawab, kecuali apabila kerugian yang timbul karena kesalahan pihak yang dirugikan sendiri. Tanggung jawab adalah mutlak.[5]
5. Prinsip Tanggung Jawab Dengan Pembatasan
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) ini sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian cuci cetak film, misalnya ditentukan, bila film yang ingin dicuci atau dicetak itu hilang atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas), maka si konsumen hanya dibatasi ganti kerugian sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru.
Dalam ketentuan pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ditentukan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan. Dalam kaitan dengan pelaksanaan jabatan notaris maka diperlukan tanggung jawab profesional berhubungan dengan jasa yang diberikan. Menurut Komar Kantaatmaja sebagaimana dikutip oleh Shidarta menyatakan tanggung jawab profesional adalah tanggung jawab hukum (legal liability) dalam hubungan dengan jasa profesional yang diberikan kepada klien. Tanggung jawab profesional ini dapat timbul karena mereka (para penyedia jasa profesional) tidak memenuhi perjanjian yang mereka sepakati dengan klien mereka atau akibat dari kelalaian penyedia jasa tersebut mengakibatkan terjadinya perbuatan melawan hukum.[6]
Tanggung jawab (responsibility) merupakan suatu refleksi tingkah laku manusia. Penampilan tingkah laku manusia terkait dengan kontrol jiwanya, merupakan bagian dari bentuk pertimbangan intelektualnya atau mentalnya. Bilamana suatu keputusan telah diambil atau ditolak, sudah merupakan bagian dari tanggung jawab dan akibat pilihannya. Tidak ada alasan lain mengapa hal itu dilakukan atau ditinggalkan. Keputusan tersebut dianggap telah dipimpin oleh kesadaran intelektualnya.[7] Tanggung jawab dalam arti hukum adalah tanggung jawab yang benar-benar terkait dengan hak dan kewajibannya, bukan dalam arti tanggung jawab yang dikaitkan dengan gejolak jiwa sesaat atau yang tidak disadari akibatnya.
Dalam memberikan pelayanannya, profesional itu bertanggung jawab kepada diri sendiri dan kepada masyarakat. Bertanggung jawab kepada diri sendiri, artinya dia bekerja karena integritas moral, intelektual dan profesional sebagai bagian dari kehidupannya. Dalam memberikan pelayanan sebagai bagian dari kehidupannya. Dalam memberikan pelayanan, seorang profesional selalu mempertahankan cita-cita luhur profesi sesuai dengan tuntutan kewajiban hati nuraninya, bukan karena sekedar hobi belaka. Bertanggung jawab kepada masyarakat, artinya kesediaan memberikan pelayanan sebaik mungkin tanpa membedakan antara pelayanan bayaran dan pelayanan cuma-cuma serta menghasilkan layanan yang bermutu, yang berdampak positif bagi masyarakat. Pelayanan yang diberikan tidak semata-mata bermotif mencari keuntungan, melainkan juga pengabdian kepada sesama manusia. Bertanggung jawab juga berani menanggung segala resiko yang timbul akibat dari pelayanannya itu. Kelalaian dalam melaksanakan profesi menimbulkan dampak yang membahayakan atau mungkin merugikan diri sendiri, orang lain dan berdosa kepada Tuhan.[8]
Dalam menjalankan jabatannya Notaris mempunyai tanggung jawab moral terhadap profesinya. Menurut Paul F. Camanisch sebagaimana dikutip oleh K. Bertens menyatakan bahwa profesi adalah suatu masyarakat moral (moral community) yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama. Kelompok profesi memiliki kekuasaan sendiri dan tanggung jawab khusus. Sebagai profesi, kelompok ini mempunyai acuan yang disebut Kode Etik Profesi.[9] Kode Etik tersebut secara faktual merupakan norma-norma atau ketentuan, yang ditetapkan dan diterima oleh seluruh anggota kelompok profesi.
[1] Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 335-337.
[2] Ibid, hlm. 365.
[3] Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 73-79.
[4] E. Suherman, Masalah Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat Udara Dan Beberapa Masalah Lain Dalam Bidang Penerbangan (Kumpulan Karangan), Cet. II, Alumni, Bandung, 1979, hlm. 21.
[5] Ibid, hlm. 23.
[6] Shidarta, op.cit., hlm. 82.
[7] Masyhur Efendi, Dimensi / Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional Dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 121.
[8] Abdulkadir Muhamad, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 60.
[9] E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum: Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, Kanisivs, Yogyakarta, 1995, hlm. 147.