Minggu, 23 Januari 2011

Konsep Perikatan


Dalam Burgerlijk Wetboek (BW) yang kemudian diterjemahkan oleh Prof. R. Subekti, SH dan R. Tjitrosudibio menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)[1] bahwa mengenai hukum kontrak atau perjanjian diatur dalam Buku III tentang Perikatan, dimana hal tersebut mengatur dan memuat tentang hukum kekayaan yang mengenai hak-hak dan kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak tertentu. Sedangkan menurut teori ilmu hukum, hukum kontrak atau perjanjian digolongkan kedalam Hukum tentang Diri Seseorang dan Hukum Kekayaan karena hal ini merupakan perpaduan antara kecakapan seseorang untuk bertindak serta berhubungan dengan hal-hal yang diatur dalam suatu perjanjian yang dapat berupa sesuatu yang dinilai dengan uang. Keberadaan suatu perjanjian atau yang saat ini lazim dikenal sebagai kontrak, tidak terlepas dari terpenuhinya syarat-syarat mengenai sahnya suatu perjanjian atau kontrak seperti yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata, antara lain sebagai berikut :
1.            Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2.            Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.            Suatu hal tertentu;
4.            Suatu sebab yang halal.
 Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.
Istilah hukum perjanjian atau kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu contract law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah overeenscomsrecht. sebagaimana diatur dalam buku III  Kitab Undang-undang  Hukum Perdata  (KUH Perdata) tentang Perikatan. Pasal 1313 KUH perdata merumuskan bahwa ”suatu persetujuan dengan suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perikataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Perikatan adalah suatu perhubungan hukum anatara dua orang atau dua pihak, berdasarkan yang mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Maka hubungan hukum antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan. Hubungan hukum adalah hubungan yang menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum disebabkan karena timbulnya hak dan kewajiban, dimana hak merupakan suatu kenikmatan, sedangkan kewajiban merupakan beban. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan anatara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Dengan demikian perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya.[2] Namun pengertian perjanjian ini begitu banyak mendapatkan kritikan karena rumusannya terlalu luas dan mengarah pada perbutan hukum sepihak. Menurut Abdul Kadir Muhammad, kelemahan tersebut, antara lain :[3]
 “seolah-olah perjanjian tersebut bersifat sepihak saja, padahal perjanjian pada dasarnya bersifat dua pihak, hal ini dilihat dari perumusan”…satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih lainnya”. Perkataan “mengikatkan” disini sifat hanya datang dari satu pihak saja, bukan dari kedua belah pihak. Perumusan itu seharusnya “…saling mengikatkan dirinya…”, sehingga dengan begitu terdapat consensus antara pihak-pihak. Jadi, perjanjian baru akan terjadi apabila sudah ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Perkataan “perbuatan” dalam perumusan pasal 1313 KUH perdata mengandung pengertian menyangkut juga tindakan atau perbuatan tanpa consensus. termasuk juga disini perbuatan melawan hukum pengunaan kata yang lebih tepat adalah dengan memakai kata persetujuan”. 
Selain itu Adul Kadir Muhammad juga menegaaskan bahwa pengertian perjanjian dalam pasal 1313 KUH perdata terlalu luas, hal ini disebabkan karena pengertian perjanjian Yang dirumuskan dalam pasal 1313 KUH perdata tersebut mencakup juga pengertian perjanjian dalam lapangan hukum keluarga, sedangkan yang dimaksud adalah hubungan hukum yang terjadi antara debitur dan kreditur yang terletak dalam lapangan hukum harta kekayaan. Demikian juga selanjutnya, keberadaan perjanjian dimaksudkan juga tanpa menyebutkan tujuannya yang menimbulkan akibat hukum bagi para pihak, sehingga menimbulkan pengertian yang terlalu luas.[4]
Berdasarkan kelemahan tersebut, Abdul Kadir Muhammad merumuskan bahwa “perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.[5] Sedangkan pengertian perjanjian atau kontrak menurut Black’s Law Dictionary adalah “agreement between two or more parties crating obligations that are enforceable or otherwise recognizationat law”.[6] Terjemahan bebas dari kontrak adalah persetujuan antara dua pihak atau lebih yang melahirkan kewajiban-kewajiban yang bersifat memaksa atau sebaliknya dapat diakui berdasarkan hukum. Sedangkan pengertian sederhana dan diakui secara luas diberikan oleh the restatement (second) of contract, yaitu “A contract is a promise or a set of promise for the breach of which the law gives a remedy or the performance of which the law in some way recognizes a duty”.[7]
Pengertian yang senada jaga diberikan oleh Jonathan Roseneor yang menyatakan “A contrach may be described as a promise or grup of promises, which the law will enforce, or the performance of it in some way recognizes a duty”.[8] Kemudian Catherine Tay Swee Kian dan Richard Kau Yong Meng juga merusmuskan kontrak dalam rumusan yang hampir senada menyatakan “A contract is an agreement which binds the parties concemend and enforceable by law”.[9]
Adapun unsur-unsur yang tercantum dalam hukum perjanjian atau kontrak dapat dikemukakan sebagai berikut :[10]
1.      Adanya kaidah hukum
Kaidah dalam hukum perjanjian dapat terbagi menjadi dua macam, yakni tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum perjanjian tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum perjanjian tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat, seperti: jual beli lepas, jual beli tahunan, dan lain sebagainya. Konsep-konsep hukum ini berasal dari hukum adat.
2.      Subyek hukum
Istilah lain dari subjek hukum adalah rechtperson. Rechtperson diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Dalam hal ini yang menjadi subjek hukum dalam hukum kontrak adalah kreditur dan debitur. Kreditur adalah orang yang berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang berutang.
3.      Adanya Prestasi
Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur. Suatu prestasi umumnya terdiri dari beberapa hal sebagai berikut :
1.   memberikan sesuatu;
2.   berbuat sesuatu;
3.   tidak berbuat sesuatu.
4.      Kata sepakat
Di dalam Pasal 1320 KUHPerdata ditentukan empat syarat sahnya perjanjian seperti dimaksud diatas, dimana salah satunya adalah kata sepakat (konsensus). Kesepakatan ialah persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak.
5.      Akibat hukum
Setiap Perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban.


[1] R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, “Kitab Undang-undang Hukum Perdata=Burgerlijk Wetboek (terjemahan),” Cet. 28, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1996, hal. 323. 
[2] Subekti, “Hukum Perjanjian,” Cet. XII, PT. Intermasa, Jakarta, 1990, hal. 1. 
[3] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 77.
[4] Ibid. hal. 77-78.
[5] Ibid. hal. 78.
[6] Bryan A Garner (ed), Black Law dictionary, Sevent Edition, West Grup, St. Minn, 1999, page 318.
[7] Henry R Cheesemen, Contemporary Business Law, third Edition, Prentice Hall, Inc New Jersey, 2000, page 187.
[8] Jonathan Rosenoer, Cyberlaw : The Law of Internet, Springer-verlag, New York, 1997, page 237.
[9] Catherine Tay Swee Kian dan Richard Kau Yong Meng, E-Commerce Law : What You Need Now, Times Book Internasional, Singapore, 2000, page 29.
[10] Salim H.S, “Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak,” Cet. II, Jakarta, Sinar Grafika, 2004, hal. 4.

Tidak ada komentar: