Jumat, 28 Januari 2011

Konsep Hukum Kontrak


Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa hukum kontrak atau perjanjian diatur dalam Buku III KUHPerdata, yang terdiri atas 18 bab dan 631 pasal. Dimulai dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1864 KUHPerdata. Secara garis besar, perjanjian yang diatur atau dikenal di dalam KUHPerdata adalah sebagai berikut : Perjanjian jual beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, kerja, persekutuan perdata, perkumpulan, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, bunga tetap dan abadi, untung-untungan, pemberian kuasa, penanggung utang dan perdamaian. Dalam teori ilmu hukum, perjanjian-perjanjian diatas disebut dengan perjanjian nominaat. Di luar KUHPerdata dikenal pula perjanjian lainnya, seperti kontrak joint venture, kontrak production sharing, leasing, franchise, kontrak karya, beli sewa, kontrak rahim, dan lain sebaginya. Perjanjian jenis ini disebut perjanjian innominaat, yakni perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan berkembang dalam praktik kehidupan masyarakat. Keberadaan perjanjian baik nominaat maupun innominaat tidak terlepas dari adanya sistem yang berlaku dalam hukum perjanjian itu sendiri.
1)      Sistem Pengaturan Hukum Kontrak            
Sistem pengaturan hukum kontrak adalah sistem terbuka (open system), yang mengandung maksud bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur di dalam undang-undang. Dalam pasal 1338 ayat (1) secara tegas menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jika dianalisa lebih lanjut maka ketentuan pasal tersebut memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :
1.         membuat atau tidak membuat perjanjian;
2.      mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
3.      menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta
4.      menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
Ditinjau dalam sejarah perkembangannya, hukum kontrak pada awalnya menganut sistem tertutup. Artinya para pihak terikat pada pengertian yang tercantum dalam undang-undang. Hal ini disebabkan adanya pengaruh dari ajaran legisme yang memandang bahwa tidak ada hukum di luar undang-undang. Hal serupa dapat ditemui dan dibaca dalam berbagai putusan Hoge Raad dari tahun 1910 sampai dengan tahun 1919.[1] Untuk diketahui bahwa putusan Hoge Raad (HR) 1919 tanggal 31 Januari 1919 merupakan putusan yang terpenting. Putusan ini tentang penafsiran perbuatan melawan hukum, yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Dalam putusan tersebut, definisi perbuatan melawan hukum, tidak hanya melawan undang-undang saja, tetapi juga melanggar hak-hak subyektif orang lain, kesusilaan dan ketertiban umum. Menurut HR 1919 yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum adalah berbuat atau tidak berbuat yang :
1.      Melanggar hak orang lain; yang diartikan melanggar sebagian hak-hak pribadi seperti integritas tubuh, kebebasan, kehormatan, dan lain-lain. Termasuk dalam hal ini hak-hak absolut sperti hak kebendaan, HKI, dan sebagainya.
2.      Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku; yakni hanya kewajiban yang dirumuskan dalam aturan undang-undang.
3.      bertentangan dengan kesusilaan; artinya perbuatan yang dilakukan oleh seseorang itu bertentangan dengan sopan santun yang tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
4.      Bertentangan dengan kecermatan yang harus diindahkan dalam masyarakat;
Aturan tentang kecermatan terdiri atas dua kelompok, yakni:
  1. aturan-aturan yang mencegah orang lain terjerumus dalam bahaya, dan
  2. aturan-aturan yang melarang merugikan orang lain ketika hendak menyelenggarakan kepentingannya sendiri. 
Putusan HR 1919 tidak lagi terikat kepada ajaran legisme, namun telah secara bebas merumuskan pengertian perbuatan melawan hukum, sebagaimana yang dikemukakan diatas. Dengan demikian, sejak terbitnya putusan HR 1919 maka sistem pengaturan hukum kontrak berubah menjadi sistem terbuka. Jika ditelaah lebih lanjut maka definisi perbuatan melawan hukum yang dimaksud dalam HR 1919 serupa dengan salah satu syarat sahnya perjanjian yang keempat, yaitu suatu sebab yang halal, yang kemudian dikaitkan dengan Pasal 1337 KUHPerdata. Dengan demikian, penafsiran HR terhadap perbuatan melawan hukum itu mengacu kepada Pasal 1337 diatas mengenai suatu sebab yang terlarang, antara lain dilarang UU, berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.  
2)      Karakteristik Kontrak           
Seperti diketahui bersama bahwa Hukum kontrak adalah bagian hukum perdata (privat). Hukum ini memusatkan perhatian pada kewajiban untuk melaksanakan kewajiban sendiri (self imposed obligation). Disebut sebagai bagian dari hukum perdata disebabkan karena pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam kontrak, murni menjadi urusan pihak-pihak yang berkontrak.[2]
Kontrak, dalam bentuk yang paling klasik, dipandang sebagai ekspresi kebebasan manusia untuk memilih dan mengadakan perjanjian. Kontrak merupakan wujud dari kebebasan (freedom of contract) dan kehendak bebas untuk memilih (freedom of choice).[3]
Sejak abad ke-19 prinsip-prinsip itu mengalami perkembangan dan berbagai pergeseran penting. Pergeseran demikian disebabkan oleh: pertama, tumbuhnya bentuk-bentuk kontrak standar; kedua, berkurangnya makna kebebasan memilih dan kehendak para pihak, sebagai akibat meluasnya campur tangan pemerintah dalam kehidupan rakyat; ketiga, masuknya konsumen sebagai pihak dalam berkontrak. Ketiga faktor ini berhubungan satu sama lain.[4] Tetapi, prinsip kebebasan berkontrak dan kebebasan untuk memilih tetap dipandang sebagai prinsip dasar pembentukan kontrak. 


[1] Ibid, hal. 8.  
[2] Atiyah, “The Law of Contract,” Clarendon Press, London, 1983, hal. 1. 
[3] Ibid, hal. 5.
[4] Ibid, hal. 13.

Tidak ada komentar: