Selasa, 08 Februari 2011

Teori hubungan hukum dengan politik


Philippe Nonet dan Philip Selznick, dalam law and society in transistion to word responsive law, 1978, memperkenalkan tiga karakter hukum dalam masyarakat, dengan mengaitkan hubungan hukum dengan politik, yaitu :
1)      Hukum represif, yakni hukum merupakan alat kekuasaan represif atau menindas.
2)      Hukum otonom, yakni hukum sebagai pranata yang mampu menjinakkan represi (penindasan) dan melindungi integritas sendiri.
3)      Hukum responsif, yakni hukum merupakan sarana merespon atas kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Menurut Philippe Nonet dan Philip Selznick, hukum berkembang sesuai perkembangan masyarakat  sebagaimana halnya suatu evolusi, hukum berkembang dari tipe yang kurang ideal (represif), menuju ideal (otonom) sampai tipe paling ideal (responsif). Di bawah ini diuraikan tentang batasan dan ciri-ciri dari ketiga macam tipe hukum tersebut, yaitu :[1]
(1)   Hukum represif
Dalam tipe hukum represif, hukum di pandang sebagai abdi kekuasaan yang bersifat menekan/memaksa dan merupakan perintsh ysng berdaulat (pemegang kekuasaan politik), yang memiliki kewenangan sangat leluasa tanpa batas, maka hukum dan politik/kekuasaan tidak  terpisah, sehingga hukum menjadi instrument/alat kekuasaan yang represif.
Dalam hubungan dengan kekuasaan, bentuk sistematis hukum represif memiliki ciri-ciri  sebagai berikut :
-          Institusi-institusi hukum langsung berakses kepada kekuasaan politik, hukum diidentifikasikan dengan Negara dan tunduk kepada kepentingan dengan sendiri (“rasion d etat”)
-          Kelestarian kekuasaan adalah tugas dari pengakuan hukum.
-          Badan-badan pengawasan khusus seperti polisi, menjadi pusar kekuasaan yang bebas, yang terisolasi dari konteks sosialyang moderat dan mampu melawan otoritas politik.
-          Suatu resim “hukun rangkap” melembagakan keadilan kelas, dengan mengkosolidasikan dan mengesahkan polah-polah sub –ordinasi social.
-          Perundang-undang pidana mencerminkan dominasi atas adat istiadat atau kebudayaan dan sangat menonjolkan moral yang legal (legal moralism).
(2)   Hukum Otonom
Dalam tipe hukum otonom,hukum di pandang sebagai institusi  atu pranata  yang mampu mengendalikan  represi dan melindungi integritas sendiri. Tatanan hukum berintikan “Rule of law”. Penegakan kepada aturan-aturan hukum sebagai upaya utama untuk mengawasi kekuasaan resmi dan swasta,serta terdapatnya pengadilan yang bebas dan mandiri dan tidak dimanipulasi oleh kekuasaan politik dan ekonomi yang memiliki otoritas eksklusif untuk mengadili pelanggaran hukum, baik oleh pejabat umum maupun oleh individu-individu swasta.
Dalam hubungan kekuasaan Hukum otonom dikenal dengan cirri-ciri sebagai berikut :
-          Hukum terpisah dari politik, sifatnya yang khas adalah terdapatnya sistem yang mengakui peradilan yang independen dan adanya pembagian yang jelas antara fungsi ligislatif dan yudikatif.
-          Tata hukum mendukung “model aturan-aturan”.
-          Prosedur adalah sebagai inti dari hukum atau keadilan procedural;
-          Hukum mengikat baik kepada yang memerintah maupun kepada yang di perintah;
-          Ketaatan kepada hukum adalah di mengerti sebagai kepatuhan yang ketat kepada aturan hukum positif. Kritik tehadap hukum positif  harus dilakukan melalui proses politik.
(3)   Hukum Responsif
Dalam tipe hukum responsif, hukum di pandang sebagai fasilitator atau sarana menanggapi kebutuhan dan aspirasi social. Tipe hukum responsif mengimplikasikan dua hal, yaitu :
a.       Hukum harus fungsional pragmatis, bertujuan dan rasional.
b.      Tujuan adalah menetapkan standar bagi kritik terhadap apa yang berjalan ; yang  berarti tujuan sebagai norma kritik. Dengan demikian mengendalikan kebebasan administratif serta mengurangi resiko “kelemahan lembaga”.
Ciri-ciri hukum responsif :
-          Tujuan hukum berdasar kompetensi :
-          Keadilan substansi yang di cari :
-          Aturan hukum tunduk kepada prinsip/asas/doktrin dan kebijaksanaan.
-          Moralitas kerja sama (moralitas rakyat).
-          Aspirasi hukum dan politik berintegrasi.
Tipe hukum represif, hukum otonom, dan hukum responsif adalah merupakan konsepsi abstrak, yang dalam kenyataan tidak akan di temukan bentuknya yang murni, karena tiap-tiap tatanan hukum memiliki sifat campuran yang mengandung aspek dari ketiga tipe hukum tersebut. Hanya dengan pengamatan yang cermat bahwa postur dasar suatu tatanan hukum akan memperlihatkan kecendrungan yang mirip karakteristik dengan salah tipe dari hukum represif, hukum otonom, dan hukum responsif. Factor pembeda yang pokok dari ke tiga tipe hukum tersebut adalah adanya peranan “paksaan”. Di dalam hukum represif “paksaan” nampak dominan, tetapi dalam hukum otonom “paksaan” agak di kurangi, sedangkan di dalam hukum responsif “paksaan” nampak tenggelam/tidak di tonjolkan.
Dalam kaitan hubungan hukum dan politik, pada tipe hukum represif, hukum tunduk kepada politik/kekuasaan, hukum sub-ordinat dari kekuasaan, tetapi dalam hukum otonom, hukum terpisah dari dari politik/kekuasaan, sedangkan dalam hukum responsif, hukum sebagai fasilitator atau sarana menanggapi kebutuhan/aspirasi politik. Dalam menjawab pertanyaan tentang apakah hukum yang mempengaruhi politik ataukah politik yang mempengaruhi hukum, Moh. Mahfud MD. Mengajukan tiga macam jawaban alternative, yaitu :
Pertama, hukum determinan atas politik, dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum;
Kedua, politik determinan atas hukum, karena hukum merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinterkasi dan bahkan saling bersaingan;
Ketiga, politik dan hukum sebagai sub-sistem sosial berada pada posisi yang derajat determinasinya setara antara satu sama lain, karena meksipun hukum merupakan produk keputusan politik, tetapi begitu hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum.[2]
Lebih lanjut untuk menentuk kapan hukum determinan atas politik atau sebaliknya politik determinan atas hukum atau kapan kedudukan hukum dan politik sederajat, Moh. Mafud MD, mengajukan jawaban yang bersifat hipotesis sebagai berikut : “konfigurasi politik yang demokratis senantiasa melahirkan produk hukum yang berkarakter responsif, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter melahirkan produk hukum yang berkarakter kosservatif.
Karakter responsif atau konsevatif, di tandai antara lain, oleh hal-hal sebagai berikut :
(1)   Dalam pembuatannya produk hukum yang responsif menyerap aspirasi masyarakat seluas-luasnya (partispatif), sedangkan produk hukum yang konservatif lebih di dominasi lembaga-lembaga Negara terutama pihak eksekutif (sentralistik);
(2)   Cerminan isi produk hukum yang responsif adalah aspiratif, dalam arti mencerminkan mencerminkan kehendak-kehendak dan anspirasi umum masyarakat, sedangkan produk hukum yang konservatif adalah positifitik-instrumentalistik, dalam arti mencerminkan kehendak atau memberikan justifikasi bagi kehendak-kehendak dan program pemerintah;
(3)   Cakupan isi hukum yang responsif itu biasanya rinsi, mengatur hal-hal secara jelas dan cukup detail, sehingga tidak dapat ditafsir secara sepihak oleh lembaga eksekutif, sedangkan pada hukum konservatif  biasanya di muat hal-hal yang pokok-pokok dan ambigu (makna ganda), sehingga memberi peluang bagi pemerintah untuk membuat penafsiran secara sepihak melalui berbagi peraturan pelaksanaan (interpretative).


[1] Philippe Nonet dan Philip Selznick, law and society in transistion to word responsive law, Harper & Row, New York, Hagerstown, San Fransisco, London, 1978. Bab II, III dan bab IV.
[2] Moh. Mafud MD, Politik Hukum, LP3ES, Jakarta, 1995, hal. 85-90.

Tidak ada komentar: