TANAH ini diwakafkan untuk dijadikan tempat dibangunnya masjid, atau
tanah
ini diwakafkan untuk dijadikan kuburan kaum muslim. Demikian kata-kata
yang
sering kita lihat dan baca pada sebuah bangunan atau lahan. Begitu
seringnya
kita temukan. Tetapi tahukan Anda bagaimana sebenarnya aturan dan
hukum
tentang wakaf?
Dalam pasal 1 ayat (1), Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
ditentukan wakaf adalah perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau
untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah
dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Wakaf menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah, perbuatan hukum
seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari
benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat
atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam (pasal 215) Dalam
pelaksanaannya, wakaf harus memenuhi unsur-unsur wakaf. Dalam Pasal 6 UU No.41
Tahun 2004 dikatakan, unsur wakaf :
a. Wakif
b. Nazhir
c. Harga Benda Wakaf
d. Ikrar Wakaf
e. Peruntukan harta benda wakaf
f. Jangka waktu wakaf
Dalam ayat (2) disebutkan, Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda
miliknya.
Wakif meliputi: perseorangan, organisasi dan badan hukum (pasal
7)
Selanjutnya, dalam pasal 8 diatur dengan kriteria Wakif. Pasal 8 ayat (1)
menjelaskan, Wakif perseorangan hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi
persyaratan:
a. dewasa
b. berakal sehat
c. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum dan
d. pemilik sah harta benda wakaf
Sedangkan Wakif yang merupakan organisasi, dalam pasal 8 ayat (2), hanya
dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan
harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang
bersangkutan.
Pasal 8 ayat (3) disebutkan, Wakif badan hukum hanya dapat melakukan
wakaf apabila memenuhi ketentuan badan hukum untuk mewakafkan harta benda wakaf
milik badan hukum sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.
Sedangkan pihak yang menerima wakaf, sesuai dengan ayat (3) disebut
dengan Nazhir. Kemudian, Nazhir inilah yang akan mengelola dan mengembangkan
harta benda wakaf sesuai dengan peruntukannya. Nazhir meliputi, perseorangan,
organisasi dan badan hukum.
Pasal 10 UU No.41 Tahun 2004 ayat (1) lebih lanjut menjelaskan, Nazhir
perseorangan hanya dapat menjadi Nazhir jika memenuhi persyaratan:
a. warga Negara Indonesia
b. beragama Islam
c. dewasa
d. amanah
e. mampu secara jasmani dan rohani
f. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum
Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 219 huruf f
ditambahkan,
Nazhir harus bertempat tinggal di kecamatan tempat letak benda yang
diwakafkan.
Masih menurut KHI pasal 219 dalam ayat (3) disebutkan, Nazhir harus
didaftarkkan pada Kantor Urusan Agama kecamatan setempat. Nazhir juga harus
disumpah di hadapan KUA kecamatan dan harus disaksikan sekurang-kurangnya oleh 2
orang saksi. Biasanya menurut Kepala KUA Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar,
Drs.Sofyan Umar, biasanya Nazhir sedikitnya terdiri dari 3 orang dam paling
banyak 5 orang. Terdiri dari ketua, wakil ketua, sekretaris, bendahara dan
anggota.
Nazhir dalam pelaksanaan wakaf ini mempunyai tugas sebagaimana diatur
dalam pasal 11:
a. melakukan pengadministrasian harta benda wakaf
b. mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan,
fungsi dan peruntukkannya
c. mengawasi dan melindungi harta benda wakaf
d. melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf
Indonesia .
Dalam melaksanakan tugasnya sebagai Nazhir, maka Nazhir dapat menerima
imbalan dari harta bersih atas pengelolaan dan pengembngan harta benda wakaf
yang besarnya tidak melebihi 10 persen, demikian disebutkan dalam
Pasal 12.
Harga Benda Wakaf
Disebutkan Iskandar,SH yang merupakan salah satu Advokat Yayasan
Bungong
Jeumpa, peruntukan benda wakaf tidak semata-mata untuk kepentingan sarana
ibadah dan sosial. Melainkan dapat juga diarahkan untuk memajukan kesejahteraan
umum dengan cara meningkatkan potensi dan manfaat ekonomi benda wakaf. Yayasan
Bungong Jeumpa adalah salah satu lembaga yang fokus dalam melakukan advokasi
terhadap kewarisan dan pertanahan.
Pengelolaan dan pengembangan benda wakaf dilakukan secara produktif
antara
lain dengan cara pengumpulan, investasi, penanaman modal, produksi,
kemitraan, perdagangan, agrobisnis, pertokoan, perkantoran, sarana pendidikan
ataupun sarana kesehatan dan usaha-usaha yang tidak bertentangan dengan
syariah.
Adapun harta benda wakaf meliputi:
a. benda tidak bergerak
b. benda bergerak
Lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 16 ayat (2): benda yang tidak
bergerak:
a. hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang
berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar.
b. bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana
yang dimaksud pada huruf a
c. tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah
d. hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
e. benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan
peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan tanah wakaf atau tanoh wakeueh menurut adat Aceh diartikan
sebagai lembaga keagamaan, di mana seseorang yang memiliki tanah menyerahkan
sebagian daripadanya untuk keperluan seseorang tertentu atau keperluan bersama,
sesuai dengan hukum Islam. Biasanya, penyerahan wakaf ini dilakukan kepada
geuchik dan imam meunasah, dan pengurusan tanah ini selanjutnya dilakukan oleh
kedua aparat gampong tersebut. (Praktek Penyelesaian Formal dan Informal Masalah
Pertanahan, Kewarisan, dan Perwalian Paska Tsunami di Banda Aceh dan Aceh Besar,
A.Salim, IDLO, h.73)
Sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya dapat
diperuntukkan bagi:
·
sarana dan kegiatan ibadah
·
sarana dan kegiatan pendidikan serta
kesehatan
·
bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar,
yatim piatu dan beasiswa
·
kemajuan dan peningkatan ekonomi
umat
·
kemajuan kesejahteraan umum ainnya yang tidak
bertetangan
Dalam praktek, penyerahan harta benda untuk wakaf harus melewati beberapa
prosedur. Seperti harus adanya ikrar wakaf. ( pasal 1 ayat (3)).
Untuk mengurus Akta Ikrar Wakaf khusus tanah wakaf, Wakif harus mengisi
beberapa blanko di KUA setempat. Lebih lanjut dijelaskan Drs.Sofyan Umar,
sebelum mengisi blanko yang disediakan KUA, Wakif harus menyerahkan:
● bukti hak millik tentang harta yang akan
diwakafkan
● menyerahkan surat Model WK, surat keterangan kepala desa
tentang perwakafan tanah milik.
Surat ini kemudian diajukan ke
Kantor Pertanahan untuk pengurusan sertifikat tanah
● menyerahkan surat Model WD, surat pendaftaran tanah wakaf
sebelum keluarnya PP No.28/ 1977
Selanjutnya, blanko yang harus diisi, Bentuk W1,
surat keterangan wakaf
untuk
Wakif, Nazhir dan PPAIW. Blanko Bentuk W2,
surat ikrar wakaf yang akan
ditujukan sebagai surat permohonan
kepada kepala Kantor Pertanahan dan juga ditujukan kepada Pengadilan Agama/
Mahkamah Syar’iyah. Kemudian, salinan
Akta Ikrar Wakaf bentuk W2.A dibuat PPAIW yang ditujukan ke Wakif,
Nazhir, Kepala Departemen Agama Kabupaten/Kota. Untuk pengurusan Akta Ikrar
Wakaf khusus tanah wakaf ke kantor KUA ini tidak dikenai biaya, kecuali biaya
materai.
Ikrar wakaf ini kemudian dilaksanakan oleh Wakif kepada Nazhir di hadapan
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dengan disaksikan oleh dua orang saksi.
Ikrar ini kemudian dinyatakan secara lisan/tertulis serta dituangkan dalam akta
ikrar wakaf yang dibuat oleh PPAIW.
Tetapi jika dalam ikrar, Wakif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf secara
lisan
atau tidak dapat hadir dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena alasan yang
dibenarkan oleh hukum, Wakif dapat menunjuk kuasanya dengan
surat kuasa yang diperkuat oleh dua
orang saksi.
Perubahan Status Harta Benda Wakaf
Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang untuk dijadikan:
jaminan,
disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar atau dialihkan dalam
bentuk pengalihan hak lain.
Jika dilakukan, maka akan dapat dipidana sesuai dengan Pasal 67 ayat (1)
– (3).
Jika setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual,
mewariskan, mengalihkan, dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf
yang telah diwakafkan tanpa izin, maka dapat dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan /atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000
(lima ratus juta rupiah).
Jika setiap orang dengan sengaja mengubah peruntukan harta benda wakaf
tanpa izin, dapat dipidana dengan penjara paling lama 4 tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp 400.000.000 (empat ratus juta rupiah).
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas
atas hasil pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf, melebihi jumlah yang
ditentukan, dipidana paling lama 3 tahun dan/atau didenda Rp 3000.000.000 (tiga
ratus juta rupiah).
Disebutkan Iskandar,SH, penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui
musyawarah untuk mencapai mufakat dengan cara mediasi, yaitu meminta bantuan
pihak ketiga (mediator). Sementara, Drs.Sofyan Umar mengatakan, dapat juga
meminta bantuan KUA setempat. Tetapi jika tidak dapat diselesaikan secara
musyawarah, maka dibawa ke Mahkamah
Syar’iyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar