I
think the more you want to become more and more creative you have to not only
elicit other peoples’ (plural) strategies and replicate them yourself, but also
modify others’ strategies and have a strategy that creates new creativity
strategies based on as many wonderful states as you can design for yourself.
Therefore, in a way, the entire field of NLP™ is a creative tool, because I
wanted to create something new.
(Richard Bandler)
(Richard Bandler)
Dalam bahasa
sehari-hari Khrisnamurti (I
am not sure that this was the right spelling), kala kita berpikir
bahwa suatu barang ringan, maka ringanlah dia.
Sebelum kita semua
tertawa, mari kita lihat dulu siapa sebenarnya Richard Bandler ini.
Bandler adalah seorang
ahli matematika yang bersama John Grinder, seorang ahli bahasa, pada pertengahan
1970-an mulai mengembangkan NLP. Ketertarikan mereka dipicu beberapa hal.
Pertama, orang-orang yang sukses. Kedua, psikologi. Ketiga, bahasa. Keempat,
pemrograman komputer. NLP jelas bukan satu hal yang mudah didefinisikan. Untuk
menjelaskan hal itu pun, bahkan para ahlinya kerap menggunakan satu metafora
bahwa NLP merupakan satu peranti lunak bagi otak untuk membuat otak bekerja
karena pada dasarnya kita tidak diberikan manual saat diberikan otak oleh Tuhan.
Prinsip-prinsip NLP
sangat bergantung pada beberapa hal. Pertama, gagasan tentang pikiran bawah
sadar yang secara terus-menerus mempengaruhi pikiran dan tindakan. Kedua,
perilaku dan tuturan metaforis, terutama yang dibangun di atas metode-metode
yang digunakan Freud dalam interpretasi mimpi. Ketiga, hipnoterapi Milton
Erickson. NLP juga dipengaruhi pemikiran-pemikiran Noam Chomsky—dari wilayah
linguistik.
Pada dasarnya,
NLP mengajarkan pada orang berbagai skill komunikasi dan persuasi dan
mengubah serta memotivasi orang dengan menggunakan metode-metode hipnotis-diri.
Bhakan beberapa tokoh NLP–seperti juga Khrisnamurti— mengklaim bahwa mereka bisa
mengajarkan satu metode yang tak mungkin salah untuk mengetahui ketika seseorang
berbohong atau tidak, namun ahli NLP lain menyatakan bahwa itu tidak mungkin
dilakukan.
Satu prinsip dasar NLP
yang mengandung fallacy
yang
kental disertai warna metafisika yang kuat adalah bahwa ”jika seseorang bisa
melakukan sesuatu, maka orang-orang lain pun akan dapat melakukannya” . Perbedaan
antara kita Einsten dan Maradona berarti hanya dipisahkan oleh NLP!
NLP dikatakan sebagai
studi struktur pengalaman subyektif, namun fokus perhatian lebih diarahkan pada
langkah-langkah pengamatan perilakau dan mengajarkan kepada orang bagaimana cara
membaca bahasa tubuh. Padahal, bahasa tubuh merupakan satu hal yang maknanya
hanya bisa ditemukan secara kultural dan sosial. Artinya, tidak ada makna
inheren dalam satu bahasa tubuh karena tidak ada universalitas di dalamnya.
Selain itu,
interpretasi atas bahasa tubuh tersebut pun tidak dapat diverifikasi sehingga
sulit untuk dianggap sebagai pengetahuan, apalagi diperlakukan sebagai
scintific
method. Misalnya, jika saya
mengatakan bahwa saat saya melihat seorang gadis tersenyum ke arah saya, saya
mengartikan bahwa senyum itu bermakna sang gadis menyukai saya dan pikirannya
bekerja memikirkan rasa sukanya. Dari mana saya bisa mengetahui apakah
interpretasi itu benar atau tidak? Jika sanga gadis mengonfirmasi interpretasi
saya tersebut, dari mana saya bisa tahu bahwa dia menjawab dengan jujur? Ini
sama saja dengan kerja seorang dukun yang menyatakan bahwa pada masa lalu saya
adalah seorang raja yang hidup di sebuah negeri yang amat kaya raya: Anda tidak
bisa menguji apakah itu benar atau tidak.
Dalam banyak
perspektif ilmu sosial, klaim-klaim NLP dianggap sebagai metafisik yang tak
berdasar. Jika ingin berkomentar lebih sopan, saya akan mengatakan bahwa NLP
tidak lebih dari upaya segelintir orang yang sedikit belajar ini-itu untuk
memunculkan satu pemikiran ilmiah yang menyerupai spiritualitas dengan
mengeksploitasi hasrat orang-orang dan pemikiran mainstream yang berkembang akan
gagasan-gagasan voluntaristik yang optimistis. Dalam kalimat pendek, menjajakan
NLP sama dengan memproduseri film dan sinetron murahan yang menggambarkan
bionic
woman
dan six
million dollar man!
Paradigma
voluntaristik yang kental membayangi premis-premis NLP rasanya lebih tepat
dimaknai sebagai satu hal yang kemunculannya dipicu oleh semangat agentif yang
kental, semangat ubermansch manusia yang lelah
menghadapi batasan-batasan alamiahnya. Pada rentang tertentu, ini masuk akal dan
dapat ditoleransi, namun jika kita harus menggunakan mantera-mantera ”kapas
ringan” untuk mengangkat sebuah truk gandeng, misalnya, ini jelas metafisik
alias tahayul.
Klaim-klaim NLP
tentang pikiran dan persepsi tidak pernah disertai dukungan dari neuroscience. Klaim-klaim tersebut
datang dari sumber yang gelap dan tak terverifikasi serta bersifat metafisik,
kurang lebih sama dengan konsep motivasi dalam teori strukturasi Anthony
Giddens.
Pembelaan dari NLP
bukan tidak ada. Pembelaan utama mereka adalah pengakuan dari para NLPers bahwa
metode-metode mereka memang bersifat pragmatis (baca pragmatisme John Dewey).
Yang penting berhasil. Pembelaan itu menjadi satu-satunya benteng NLP menghadapi
kritik atas tidak validnya klaim-klaim mereka. Tapi, ada satu hal yang membuat
saya berpikir. Kalau hanya untuk melakukan hal-hal hebat yang metafisik, masih
banyak metode pragmatis lain yang tidak perlu membuat kita menghabiskan puluhan
juta rupiah untuk mendapatkannya: jimat banten salah satunya. Iya
toh?
Tanpa pemaparan
tidakjelas tapi bergaya ilmiah plus lokakarya yang serupa dengan dolanan khas
Taman Indria, rasanya kita masih bisa mencapai hal-hal pragmatis dalam hidup
secara gempang kok….
What
a huge waste of money and time!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar