1. Pengertian dan Hukum
Wakaf
Ditinjau dari segi bahasa wakaf berarti menahan. Sedangkan menurut
istilah syarak, ialah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, untuk diambil
manfaatnya untuk kebaikan dan kemajuan Islam.
Menahan suatu benda yang kekal zatnya, artinya tidak dijual dan tidak diberikan
serta tidak pula diwariskan, tetapi hanya disedekahkan untuk diambil manfaatnya
saja.
Ada beberapa pengertian tentang wakaf antara
lain:
Pengertian wakaf menurut mazhab syafi’i dan hambali
adalah seseorang menahan
hartanya untuk bisa dimanfaatkan di segala bidang kemaslahatan dengan tetap
melanggengkan harta tersebut sebagai taqarrub kepada Allah ta’alaa
Pengertian wakaf menurut mazhab hanafi adalah
menahan harta-benda sehingga
menjadi hukum milik Allah ta’alaa, maka seseorang yang mewakafkan sesuatu
berarti ia melepaskan kepemilikan harta tersebut dan memberikannya
kepada Allah untuk bisa memberikan manfaatnya kepada manusia secara tetap dan kontinyu, tidak
boleh dijual, dihibahkan, ataupun diwariskan
Pengertian wakaf menurut imam Abu Hanafi adalah
menahan harta-benda atas
kepemilikan orang yang berwakaf dan bershadaqah
dari hasilnya atau menyalurkan manfaat dari harta tersebut kepada orang-orang
yang dicintainya. Berdasarkan definisi dari Abu Hanifah ini, maka harta tersebut
ada dalam pengawasan orang yang berwakaf (wakif) selama ia
masih hidup, dan
bisa diwariskan kepada ahli warisnya jika ia sudah meninggal baik untuk dijual
ayau dihibahkan. Definisi ini berbeda dengan definisi yang dikeluarkan oleh Abu
Yusuf dan
Muhammad, sahabat Imam Abu Hanifah itu sendiri
Pengertian wakaf menurut mazhab maliki adalah
memberikan sesuatu hasil
manfaat dari harta, dimana harta pokoknya tetap/lestari atas kepemilikan pemberi
manfaat tersebut walaupun sesaat
Pengertian wakaf menurut peraturan pemerintah no. 28
tahun 1977 adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan
sebagian harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya
untuk selama-lamanya. Bagi kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya
sesuai dengan ajaran agama Islam.
Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa
wakaf itu termasuk salah satu diantara macam pemberian, akan tetapi hanya boleh
diambil manfaatnya, dan bendanya harus
tetap utuh. Oleh karena itu, harta yang layak untuk diwakafkan adalah harta yang
tidak habis dipakai dan umumnya tidak
dapat dipindahkan, mislanya tanah, bangunan dan sejenisnya.
Utamanya untuk kepentingan umum, misalnya untuk masjid, mushala, pondok
pesantren, panti asuhan, jalan umum, dan
sebagainya.
Hukum wakaf sama dengan amal jariyah. Sesuai dengan
jenis amalnya maka berwakaf bukan sekedar berderma (sedekah) biasa, tetapi lebih
besar pahala dan
manfaatnya terhadap orang yang berwakaf. Pahala yang diterima mengalir terus
menerus selama barang atau benda yang diwakafkan itu masih berguna dan bermanfaat.
Hukum wakaf adalah sunah. Ditegaskan dalam hadits:
اِذَا مَاتَ
ابْنَ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ
عِلْمٍ يَنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدِ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ (رواه مسلم)
Artinya: “Apabila anak Adam meninggal dunia maka
terputuslah semua amalnya, kecuali tiga (macam), yaitu sedekah jariyah (yang
mengalir terus), ilmu yang dimanfaatkan, atu anak shaleh yang
mendoakannya.” (HR Muslim)
Harta yang diwakafkan tidak boleh dijual, dihibahkan
atau diwariskan. Akan tetapi, harta wakaf tersebut harus secara terus menerus
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum sebagaimana maksud orang yang
mewakafkan. Hadits Nabi yang artinya: “Sesungguhnya Umar telah mendapatkan
sebidang tanah di Khaibar. Umar bertanya kepada Rasulullah SAW; Wahai Rasulullah
apakah perintahmu kepadaku sehubungan dengan tanah tersebut? Beliau menjawab:
Jika engkau suka tahanlah tanah itu dan sedekahkan
manfaatnya! Maka dengan petunjuk beliau itu, Umar menyedekahkan tanahnya dengan
perjanjian tidak akan dijual tanahnya, tidak dihibahkan dan tidak pula
diwariskan.” (HR Bukhari dan
Muslim)
2. Syarat dan Rukun
Wakaf
a.
Syarat Wakaf
Syarat-syarat harta yang diwakafkan sebagai
berikut:
1)
Diwakafkan untuk selama-lamanya, tidak terbatas waktu tertentu (disebut
takbid).
2)
Tunai tanpa menggantungkan pada suatu peristiwa di masa yang akan
datang. Misalnya, “Saya wakafkan bila dapat keuntungan yang lebih besar dari
usaha yang akan datang”. Hal ini disebut tanjiz
3)
Jelas mauquf alaih nya (orang yang diberi wakaf) dan bisa dimiliki
barang yang diwakafkan (mauquf) itu
b.
Rukun Wakaf
1)
Orang yang berwakaf (wakif),
syaratnya;
a.
kehendak sendiri
b.
berhak berbuat baik walaupun non Islam
2)
sesuatu (harta) yang diwakafkan (mauquf),
syartanya;
a.
barang yang dimilki dapat dipindahkan dan tetap zaknya,
berfaedah saat diberikan maupun dikemudian hari
b.
milki sendiri walaupun hanya sebagian yang diwakafkan atau
musya (bercampur dan tidak dapat
dipindahkan dengan bagian yang lain
3)
Tempat berwakaf (yang berhaka menerima hasil wakaf itu), yakni orang
yang memilki sesuatu, anak dalam kandungan tidak syah.
4)
Akad, misalnya: “Saya wakafkan ini kepada masjid, sekolah orang yang
tidak mampu dan
sebagainya” tidak perlu qabul (jawab) kecuali yang bersifat pribadi (bukan
bersifat umum)
3. Harta yang
Diwakafkan
Wakaf meskipun tergolong pemberian sunah, namun tidak
bisa dikatakan sebagai sedekah biasa. Sebab harta yang diserahkan haruslah harta
yang tidak habis dipakai, tapi bermanfaat secara terus menerus dan tidak boleh
pula dimiliki secara perseorangan sebagai hak milik penuh.
Oleh karena itu, harta yang diwakafkan harus berwujud barang yang tahan lama dan bermanfaat
untuk orang banyak, misalnya:
a.
sebidang tanah
b.
pepohonan untuk diambil manfaat atau hasilnya
c.
bangunan masjid, madrasah, atau jembatan
Dalam Islam, pemberian semacam ini termasuk sedekah
jariyah atau amal jariyah, yaitu sedekah yang pahalanya akan terus menerus
mengalir kepada orang yang bersedekah. Bahkan setelah meninggal sekalipun,
selama harta yang diwakafkan itu tetap bermanfaat. Hadits nabi
SAW:
اِذَا مَاتَ
ابْنَ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ
عِلْمٍ يَنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدِ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ (رواه مسلم)
Artinya: “Apabila anak Adam meninggal dunia maka
terputuslah semua amalnya, kecuali tiga (macam), yaitu sedekah jariyah (yang
mengalir terus), ilmu yang dimanfaatkan, atu anak shaleh yang
mendoakannya.” (HR Muslim)
Berkembangnya agama Islam seperti yang kita
lihatsekarang ini diantaranya adalah karena hasil wakaf dari kaum muslimin.
Bangunan-bangunan masjid, mushala (surau), madrasah, pondok pesantren, panti
asuhan dan
sebaginya hampir semuanya berdiri diatas tanah wakaf. Bahkan banyak pula
lembaga-lembaga pendidikan Islam, majelis taklim, madrasah, dan pondok-pondok
pesantren yang kegiatan operasionalnya dibiayai dari hasil tanah
wakaf.
Karena itulah, maka Islam sangat menganjurkan bagi
orang-orang yang kaya agar mau mewariskan sebagian harta atau tanahnya guna
kepentingan Islam. Hal ini dilakukan atas persetujuan bersama serta atas
pertimbangan kemaslahatan umat dan dana yang lebih
bermanfaat bagi perkembangan umat.
4. Pelaksanaan Wakaf di
Indonesia
a.
Landasan
1.
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah
Milik
2.
Peraturan Menteri dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 tentang Tata Cara
Pendaftaran Tanah mengenai Perwakafan Tanah Milik
3.
Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 Tentang Peraturan Pelasanaan
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah
Milik
4.
Peraturan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam No. Kep/P/75/1978
tentang Formulir dan Pedoman
Peraturan-Peraturan tentang Perwakafan Tanah Milik
b.
Tata Cara Perwakafan Tanah
Milik
1.
Calon wakif dari pihak
yang hendak mewakafkan tanah miliknya harus datang dihadapan Pejabat Pembantu
Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) untuk melaksanakan ikrar wakaf.
2.
Untuk mewakafkan tanah miliknya, calon wakif harus
mengikrarkan secara lisan, jelas dan tegas kepada
nadir yang telah disyahkan dihadapan PPAIW yang mewilayahi tanah wakaf.
Pengikraran tersebut harus dihadiri saksi-saksi dan menuangkannya
dalam bentuk tertulis atau surat
3.
Calon wakif yang tidak
dapat datang di hadapan PPAIW membuat ikrar wakaf secara tertulis dengan
persetujuan Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten atau Kotamadya yang
mewilayahi tanah wakaf. Ikrar ini dibacakan kepada nadir dihadapan PPAIW yang
mewilayahi tanah wakaf serta diketahui saksi
4.
Tanah yang diwakafkan baik sebagian atau seluruhnya harus merupakan
tanah milik. Tanah yang diwakafkan harus bebas dari bahan ikatan, jaminan,
sitaan atau sengketa
5.
Saksi ikrar wakaf sekurang-kurangnya dua orang yang telah dewasa, dan sehat akalnya.
Segera setelah ikrar wakaf, PPAIW membuat Ata Ikrar Wakaf
Tanah
c.
Surat yang Harus Dibawa dan Diserahkan oleh
Wakif kepada
PPAIW sebelum Pelaksananaan Ikrar Wakaf
Calon wakif harus membawa
serta dan
menyerahkan kepada PPAIW surat-surat berikut.
1.
sertifikat hak milik atau
sertifikat sementara pemilikan tanah (model E)
2.
Surat Keterangan Kepala Desa yang diperkuat oleh camat setempat yang
menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak
tersangkut suatu perkara dan dapat
diwakafkan
3.
Izin dari Bupati atau Walikota c.q. Kepala Subdit Agraria
Setempat
d.
Hak dan Kewajiban
Nadir
Nadir adalah kelompok atau bandan hukum
Indonesia yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan
benda wakaf
1.
Hak
Nadir
- Nadir berhak menerima penghasilan dari hasil tanah wakaf yang biasanya ditentukan oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten atau Kotamadya. Dengan ketentuan tidak melebihi dari 10 % ari hasil bersih tanah wakaf
- Nadir dalam menunaikan tugasnya dapat menggunakan fasilitas yang jenis dan jumlahnya ditetapkan oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten atau Kotamadya.
2.
Kewajiban
Nadir
Kewajiban nadir
adalah mengurus dan mengawasi harta
kekayaan wakaf dan hasilnya,
antara lain:
- menyimpan dengan baik lembar kedua salinan Akta Ikrar Wakaf
- memelihara dan memanfaatkan tanah wakaf serta berusaha meningkatkan hasilnya
- menggunakan hasil wakaf sesuai dengan ikrar wakafnya.
5. Mengganti Barang
Wakaf
Prinsip-prinsip wakaf diatas adalah pemilikan terhadap
manfaat suatu barang. Barang asalnya tetap, tidak boleh diberikan, dijual atau
dibagikan. Barang yang diwakafkan tidak boleh diganti atau dijual. Persoalannya
akan jadi lain jika barang wakaf itu sudah tidak dapat dimanfaatkan, kecuali
dengan memperhitungkan harga atau nilai jual setelah barang tersebut dijual.
Artinya, hasil jualnya dibelikan gantinya. Dalam keadaan demikian , mengganti
barang wakaf dibolehkan. Sebab dengan cara demikian, barang yang sudah rusak
tadi tetap dapat dimanfaatkan dan tujuan wakaf
semula tetap dapat diteruskan, yaitu memanfaatkan barang yang diwakafkan
tadi.
Sayyidina Umar r.a. pernah memindahkan masjid wakah di
Kuffah ke tempat lain menjadi masjid yang baru dan lokasi bekas
masjid yang lama dijadikan pasar. Masjid yang baru tetap dapat dimanfaatkan.
Juga Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tujuan pokok wakaf adalah kemaslahatan. Maka
mengganti barang wakaf tanpa menghilangkan tujuannya tetap dapat dibenarkan
menurut inti dan
tujuan hukumnya.
6.
Pengaturan Wakaf
Tujuan wakaf dapat tercapai dengan baik, apabila
faktor-faktor pendukungnya ada dan berjalan.
Misalnya nadir atau pemelihara barang wakaf. Wakaf yang diserahkan kepada badan
hukum biasanya tidak mengalami kesulitan. Karena mekanisme kerja, susunan
personalia, dan
program kerja telah disiapkan secara matang oleh yayasan penanggung
jawabnya.
Pengaturan wakaf ini sudah barang tentu berbeda-beda
antara masing-masing orang yang mewakafkannya meskipun tujuan utamanya sama,
yaitu demi kemaslahatan umum. Penyerahan wakaf secara tertulis diatas materai
atau denagn akta notaris adalah cara yang terbaik pengaturan wakaf. Dengan cara
demikian, kemungkinan penyimpangan dan penyelewengan
dari tujuan wakaf semula mudah dikontrol dan diselesaikan.
Apalagi jika wakaf itu diterima dan dikelola oleh
yayasan-yayasan yang telah bonafide dan profesional,
kemungkinan penyelewengan akan lebih kecil.
A.
Hikmah Wakaf
Hikmah wakaf adalah sebagai berikut:
- Melaksanakan perintah Allah SWT untuk selalu berbuat baik. Firman Allah SWT:
(lihat Al-Qur’an onlines di google)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah
kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah
kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS Al Hajj :
77)
- Memanfaatkan harta atau barang tempo yang tidak terbatas
Kepentingan diri sendiri sebagai pahala sedekah jariah
dan untuk
kepentingan masyarakat Islam sebagai upaya dan tanggung jawab
kaum muslimin. Mengenai hal ini, rasulullad SAW bersabda dalam salah satu
haditsnya:
مَنْ لاَ
يَهْتَمَّ بِاَمْرِ الْمُسْلِمِيْنَ فَلَيْسَ مْنِّى (الحديث)
Artinya: “Barangsiap yang tidak memperhatikan urusan
dan
kepentingan kaum muslimin maka tidaklah ia dari golonganku.”
(Al Hadits)
- Mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi
Wakaf biasanya diberikan kepada badan hukum yang
bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan. Hal ini sesuai dengan kaidah usul
fiqih berikut ini.
مَصَالِحِ
الْعَامِّ مُقَدَّمُ عَلى مَصَالِحِ الْجَاصِّ
Artinya: “Kemaslahatan umum harus didahulukan
daripada kemaslahatan yang khusus.”
Adapun manfaat wakaf bagi orang yang menerima atau
masyarakat adalah:
-
- dapat menghilangkan kebodohan
- dapat menghilangkan atau mengurangi kemiskinan
- dapat menghilangkan atau mengurangi kesenjangan sosial
- dapat memajukan atau menyejahterakan umat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar