Hingga abad ke-19, Asia Tenggara
merupakan pusat perdagangan dunia selain Fenesia. Dan sejarahwan
mencatat, bahwa siapapun yang menguasai selat Malaka, dia mencengkeram
Fenesia. Maraknya perdagangan memunculkan kelompok-kelompok perompak
yang berperan sebagai sebuah sub-sistem dari kegiatan perdagangan.
Perairan-perairan
yang menjadi sasaran operasi bajak laut antara lain perairan Manado,
Kepulauan Sulawesi Tenggara, pantai timur Sulawesi, Nusa Tenggara,
pantai utara Jawa Timur, serta Maluku.Membahas perompakan di kepulauan
Nusantara berarti berbicara tentang bajak laut Mangindanao, Dayak Laut
dan Tobelo. Kelompok-kelompok bajak laut tersebut menjadikan kepulauan
Nusantara sebagai episentrum pembajakan dunia di abad ke-19.
Bajak
laut Mangindanao berasal dari Philipina bagian selatan dan terdiri dari
orang-orang Iranun (Lanun), Sulu, Balangingi (Samal) dan Tausog (juga
sering dilafalkan Toasug). Tapi yang paling terkenal dari kelompok ini
adalah Iranun atau Lanun. Orang Iranun berasal dari danau Ranao di pulau
Mindanao, yang karena letusan gunung berapi kemudian bermigrasi ke
kepulauan Sulu. Mereka adalah kelompok bajak laut yang memiliki sejarah
yang panjang. Keberhasilan mereka dalam pembajakan di laut antara lain
dikarenakan mereka adalah kelompok yang terorganisasi secara baik dan
memiliki sponsorship yang kuat dari para datu Tausog. Orang-orang kaya
Tausog menyediakan persenjataan dan perahu, kemudian menampung budak
hasil tangkapan untuk kemudian dipasarkan di Jolo, pasar budak terbesar
di kepulauan Sulu. Wilayah operasi bajak laut Mangindanao mencakup
Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Sumatera, Malaya, Siam dan para sejarahwan
meyakini mereka juga beraksi sampai ke teluk Benggala.
Dayak
Laut adalah nama yang diberikan oleh orang barat kepada kelompok
penjelajah sungai dari Sarawak. Di kalangan orang Dayak, mereka disebut
Orang Iban. Walaupun disebut Dayak Laut, mereka sebenarnya tidak
memiliki tradisi maritim dan keterlibatan mereka dalam perompakan adalah
karena kerja sama dengan bajak laut Mangindanao.
Orang
Tobelo adalah penduduk rimba Halmahera disekitar Danau Lina yang
kemudian berpindah ke pantai timur Halmahera Utara setelah lenyapnya
orang Moro dari daerah tersebut. Sedangkan sebutan “bajak laut Tobelo”
sebenarnya mengacu pada kelompok perompak Tobelo dan Galela.
Keterlibatan orang Tobelo dan Galela dalam pembajakan di laut bisa
ditelusuri hingga akhir abad ke-18. Ketika pangeran Nuku dari Tidore
mencetuskan pemberontakan, ia berhasil mempersatukan berbagai kekuatan
maritim di bagian timur Indonesia, antara lain orang Maba, Patani, Weda,
Gebe, Raja Ampat, Biak dan orang-orang Tobelo-Galela yang bermukim di
wilayah kesultanan Tidore. Untuk membiayai pemberontakan, mereka
melakukan pembajakan dan penangkapan budak serta menyerang kapal dagang
dan berbagai kepentingan Ternate dan Belanda di berbagai tempat.
Kelompok ini dalam catatan Belanda disebut “Papua Zeerover”, bajak laut
Papua. Aktifitas kelompok ini mencakup daerah Ambon, Buru, Seram,
kepulauan Aru-Kei, Tanimbar, Sula, Banggai dan Sulawesi Utara.
Untuk
mengatasi kelompok bajak laut tersebut, Belanda dan Ternate mengirim
sejumlah ekspedisi. Tahun 1780 Belanda mengirim ekspedisi langsung ke
jantung para bajak laut. Tim ekspedisi ini terdiri dari 59 tentara
Eropa, 22 orang Makassar, 57 orang Bali di bawah pimpinan Captain
Heinrich dan penerjemah van Dijk serta kurang lebih 3.000 orang Tobelo
dan Galela di bawah pimpinan Letnan Maffa Mira.
Tanggal 20
November 1780, negeri Wossi dan Maba diserang dan berhasil dihancurkan
keesokan harinya. Serangan ke Patani tanggal 17 Desember gagal sebab
orang-orang Tobelo dan Galela menolak untuk menyerang karena persoalan
penjatahan makanan. Pertempuran secara sporadis terus berlangsung di
laut, dan tanggal 26 April Patani diserang dan dibakar. Pangeran Nuku
dan pengikutnya melarikan diri ke Papua. Selama beberapa tahun
orang-orang Tobelo dan Makeang dilibatkan dalam pasukan gabungan Ternate
dan Belanda untuk memburu Nuku dan pengikutnya.
Pukulan
berat terhadap para bajak laut menyebabkan banyak dari mereka yang
menyerah dan mengalihkan kesetiaanya kepada Belanda dan Ternate. Masa
tersebut merupakan masa yang paling berat dari perjuangan Nuku. Tapi
tahun 1792 merupakan titik balik bagi Nuku setelah ia berhasil membentuk
aliansi dengan orang Tobelo, Galela dan Tobaru. Bergabungnya
orang-orang Tobelo, Galela dan Tobaru dalam barisan Nuku berhasil
mengembalikan motivasi dari mantan pengikut Nuku yang sudah memihak
Ternate dan Belanda untuk kembali berjuang di pihak Nuku.
Awal mula keterlibatan orang Tobelo dalam pembajakan digambarkan sebagai berikut :
“Delapan
kampung orang Tobelo terletak di pedalaman di tepi sebuah danau. Mereka
dikenal sebagai orang-orang yang “kejam dan mematikan”, dan hanya
orang-orang Galela dan Tobaru yang berani mengunjungi mereka. Mereka
digambarkan memiliki banyak sekali emas dan perak – beberapa dari mereka
menggunakan tiga, empat bahkan lima gelang emas atau perak sekaligus.
Sumber Belanda mengungkapkan bahwa Sultan Sibori Amsterdam pernah
membujuk 600 pejuang Tobelo dengan banyak emas dan perak untuk ikut
serta dalam perang melawan VOC pada tahun 1779-1781.
Orang-orang
Gamrange (Maba dan Patani), orang Seram Timur dan pemimpin-pemimpin
Tidore berperan dalam pembentukan aliansi dengan Tobelo. Aliansi ini
dilaporkan terjadi pada tahun 1792. Alferis Hassan dari Tidore
melaporkan bahwa sebuah paduakang (jenis kapal) telah merapat di Morotai
dengan membawa lima orang Seram Timur serta beberapa orang Maba dan
Patani dan mereka telah melakukan upacara tukar-menukar hadiah dengan
delapan penduduk Tobelo-tai dan Kao. Orang-orang Seram Timur dan
pemimpin-pemimpin Gamrange menghadiahkan dua ekor merpati, sebuah pedang
dan tombak kepada anak perempuan Afir, seorang Kapita Laut dari Tobelo.
Setelah upacara tukar-menukar hadiah, empat puluh kora-kora disiapkan
untuk ekspedisi pembajakan ke Manado”
Dengan demikian
aksi para bajak laut terus berlanjut dan bersama Inggris mereka
merupakan kekuatan utama yang mengantar Nuku menduduki takhta Tidore dan
kemudian menundukkan kekuatan gabungan Ternate - Belanda.
Pada
awal abad ke-19 mulai muncul kelompok bajak laut Tobelo yang menjalin
kerja sama dengan bajak laut Mangindanao. Para bekas pengikut Nuku yang
menyingkir ke Seram Timur bersama raja Jailolo Muhammad Asgar banyak
yang bergabung dengan kelompok bajak laut tersebut karena tanah yang
kurang subur di Seram Timur tidak mampu mendukung keberadaan kelompok
tersebut dan menyebabkan kekurangan pangan. Para bekas pengikut Nuku
tersebut terdiri dari kebanyakan orang-orang Halmahera Timur dan
orang-orang Tobelo.
Dengan demikian, sejarah maritim di
Indonesia Timur mencatat kemunculan kelompok bajak laut Tobelo, dan
belakangan muncul pula bajak laut Galela dengan Seram Timur sebagai
salah satu jalur transit sekaligus pemukiman para bajak laut.
Wilayah
operasi bajak laut Tobelo mencakup wilayah yang luas, dari perairan
Flores di selatan hingga Toli-Toli di utara Sulawesi. Dari kepulauan
Maluku hingga pantai utara Jawa Timur. Untuk mendukung operasinya, para
bajak laut membangun beberapa pemukiman seperti Tanah Jampea di depan
Selayar, Tobungku di pantai Timur Sulawesi dan Toli-Toli di utara
Sulawesi. Perairan Flores merupakan wilayah “operasi bersama” antara
bajak laut Tobelo dan Mindanao dari Pilipina Selatan. Tetapi pada tahun
1822 Belanda melakukan sebuah operasi anti bajak laut di pulau Sape yang
bukan saja berhasil mengalahkan para bajak laut, tetapi juga mengakhiri
kerja sama antara bajak laut Tobelo dan bajak laut Mindanao di wilayah
perairan Flores. Kelompok bajak laut Mindanao mem-fokus-kan operasinya
di Sulawesi Utara, Kalimantan dan Philipina sedangkan bajak laut Tobelo
memfokuskan operasinya di pantai timur Sulawesi.
Perbedaan
wilayah operasi membuat perbedaan dalam penyebutan kata bajak laut. Di
wilayah yang di dominasi oleh bajak laut Mindanao seperti di wilayah
pantai barat Sulawesi, Kalimantan,Sumatera dan Malaya, “Lanun” yang
berasal dari kata Iranun merupakan sebutan generik bagi bajak laut. Bagi
masyarakat Sulawesi Utara, kata Mangindanao adalah sinonim untuk bajak
laut. Penduduk kepulauan Sanger menganggap tabu untuk menyebut kata
Mangindanao terutama jika sementara berada di tengah lautan. Dalam
“sasahara” (bahasa rahasia) penduduk kepulauan Sanger, kata untuk bajak
laut adalah Malanghingin, dari kata Balangingi, kelompok bajak laut
Philipina Selatan. Sedangkan bagi penduduk pantai timur Sulawesi yang di
dominasi oleh bajak laut Tobelo, kata untuk menyebut bajak laut adalah
Tobelo, Pabelo, atau Belo.
Setelah orang Iranun
meninggalkan perairan Flores dan pantai timur Sulawesi, orang Tobelo
merubah modus operandinya, dari perompakan berskala besar menjadi
perompakan dalam kelompok-kelompok kecil tetapi menyebar sehingga sulit
terdeteksi dan makin menyulitkan pemerintah Belanda dalam operasinya
membasmi para bajak laut. (Kelompok terbesar bajak laut Tobelo yang
pernah dicatat tahun 1872 adalah yang terlihat di Teluk Tomini yaitu
sejumlah 48 perahu. Kelompok tersebut terdiri dari kumpulan perahu kecil
yang masing-masing memuat 10 - 60 pembajak. Perahu-perahu ini diikat
menjadi satu dan setelah sampai di lokasi tertentu mereka kemudian
menyebar ke berbagai arah untuk melakukan pembajakan dalam
kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 40-50 pembajak.) Beberapa aksi
bajak laut Tobelo yang terekam dalam catatan pemerintah Belanda bisa
dilihat
disini.
Tahun
1846 tiga orang pemimpin bajak laut Tobelo tiba di Banggai, dimana
mereka disambut sebagai sekutu oleh orang-orang Ternate yang sementara
menghadapi pemberontakan bersenjata oleh penguasa Banggai, Raja Agama
yang didukung oleh orang-orang Makassar. Para bajak laut yang
bahu-membahu dengan tentara Ternate berhasil memadamkamkan pemberontakan
tersebut dan Sorani, salah satu pemimpin bajak laut diizinkan bermukim
di salah satu pulau di kepulauan Banggai dan melakukan penangkapan budak
di wilayah tersebut. Para pembesar Ternate menjadi penadah budak hasil
tangkapan para bajak laut.
Sementara itu, sebagian bajak
laut Tobelo membangun pemukiman di Toli-Toli, dan dari situ melakukan
“operasi bersama” dengan para bajak laut Mindanao, Dayak Laut (Iban),
dan kelompok perompak lainnya. Toli-Toli merupakan basis untuk operasi
di pantai barat Sulawesi, Sulawesi Utara dan Kalimantan. Sebuah catatan
pada tahun 1812 menggambarkan Toli-Toli sebagai “the great piratical
establishment”. Kerja sama antara berbagai kelompok bajak laut merupakan
hal yang lumrah. Merujuk pada sebuah catatan dari tahun 1830, pulau
Tanah Laut, di sebelah selatan pulau Kalimantan, merupakan pemukiman
kelompok bajak laut yang terdiri dari orang Iranun, gerombolan Haji Jawa
dari Kalimantan, orang-orang Tobelo dan orang Bajau.
Selain
merompak dan menangkap budak, para bajak laut ini seringkali berfungsi
sebagai mercenary (tentara bayaran). Pada tahun 1820-an, para bajak laut
membantu sultan Sulu untuk menaklukkan kesultanan Brunei. Sultan Buton
pernah menawarkan 100 orang budak bagi para bajak laut Tobelo yang
menetap di Kendari untuk membunuh Vosmaer, seorang Belanda yang
mendirikan pos perdagangan di Kendari. Permintaan ini ditolak oleh para
pemimpin bajak laut, Dagi-dagi dan Kapita Tobungku karena hubungan baik
yang telah terjalin antara para bajak laut dan Vosmaer.
Terkadang
para penguasa melakukan pembiaran bagi para bajak laut yang beroperasi
di wilayahnya karena para bajak laut dapat berperan untuk melemahkan
suku-suku yang memiliki potensi untuk menyaingi kekuatan para sultan.
Hal ini terjadi misalnya di Nusa Tenggara di mana para sutan Bima
membiarkan suku Manggarai diserang oleh para bajak laut. Dengan demikian
para sultan Bima meminjam tangan para bajak laut untuk melemahkan suku
yang diragukan kesetiaannya terhadap para sultan. Serangan yang
berkelanjutan menyebabkan orang Manggarai yang mulanya bermukim di tepi
pantai akhirnya berpindah ke pedalaman.
Motivasi di balik Pembajakan di Laut
Menyimak
mobilitas dari para bajak laut, penting untuk menggali motivasi yang
mendorong sekelompok orang untuk melakukan berbagai aksi pembajakan di
laut yang bukan hanya berbahaya, tetapi juga dilakukan dengan taruhan
nyawa.
Bagi orang-orang Iranun, menjadi bajak laut
merupakan sesuatu yang sudah mendarah-daging. Mereka adalah kelompok
manusia yang merasa “dilahirkan untuk membajak di laut” dan perbudakan
merupakan aspek penting dalam struktur sosial orang Iranun. Separuh
penduduk kepulauan Sulu adalah budak (disebut oripen atau baniaga) yang
dipekerjakan di berbagai bidang, dari penangkapan ikan, sebagai
pendayung perahu, sampai pengumpulan sarang burung.
Kelompok
Dayak Laut (Iban) merompak dengan satu tujuan : memburu kepala. Harga
diri dan kehormatan suatu pemukiman orang Iban sangat tergantung pada
jumlah kepala yang berhasil dikumpulkan. Kepala juga penting dalam
penyelenggaraan berbagai upacara dari awal masa tanam, panen, upacara
kelahiran, kematian dan sebagainya. Setiap tahun ribuan budak hasil
tangkapan dari Philipina mengalir ke Jolo, pasar budak terbesar di
kepulauan Sulu. Tahun 1845 pemerintah kolonial Spanyol menempatkan Juan
Bautista Barrera di Jolo dengan tugas menebus warga Philipina yang
tertangkap oleh para bajak laut. Sejumlah catatannya menggambarkan
kemarahan karena ketidakmampuannya menebus banyak sekali budak karena
seringkali ia kehabisan uang tunai dan barang berharga untuk dibayarkan
kepada para bajak laut. Para budak yang tidak ditebus biasanya langsung
dikapalkan ke Kalimantan dan diserahkan kepada orang Iban yang membayar
dengan teripang dan sarang burung. Mengumpulkan teripang dan sarang
burung untuk ditukarkan dengan budak merupakan cara alternatif bagi
orang Iban untuk mendapatkan kepala selain dengan merompak dan menyerang
pemukiman suku lain.
Banyak sejarahwan sepakat bahwa
selain faktor ekonomi, faktor politik merupakan motif bagi orang-orang
Tobelo dan Galela untuk terjun dalam kegiatan pembajakan di laut.
Menjadi bajak laut merupakan respon bagi tekanan politik para sultan
yang secara semena-mena memonopoli dan menetapkan harga berbagai
komoditi penting seperti teripang, mutiara, hingga perahu dan beras.
Sedangkan pemerintah Belanda dan pedagang Cina memonopoli perdagangan
pakaian, peralatan keramik dan barang-barang logam. Menjadi bajak laut
merupakan ekspresi ketidakpuasan terhadap para penguasa dan oleh sebab
itu para bajak laut seringkali menyerang kapal-kapal dagang milik sultan
Ternate.
Faktor lain adalah hasrat bertualang yang
dilandasi oleh “spiritualitas Halmahera”, terutama konsep triatomik
masyarakat Halmahera yang memandang manusia terdiri dari tiga bagian,
roehe (raga), gikiri (roh), dan gurumi (jiwa, semangat, manna, kekuatan
batin). Kehormatan seorang Halmahera terletak dalam kekuatan guruminya.
Oleh karenanya dilakukan usaha-usaha untuk membangkitkan gurumi
seseorang antara lain lewat ritual hokara. Pengalaman menempuh bahaya
dan tantangan (seperti dalam kegiatan perompakan) juga dianggap dapat
memperkuat gurumi seseorang dan kemenangan-kemenangan dalam menaklukkan
musuh dapat membuat seseorang “dipenuhi gurumi”.
Penjinakan Bajak Laut
Selain
melakukan operasi bersenjata untuk mengatasi keganasan para bajak laut,
pemerintah kolonial juga melakukan usaha-usaha dalam rangka untuk
menjinakkan kelompok bajak laut tersebut. Pada dekade 1820-an dan
1830-an beberapa usaha yang kemudian gagal dilakukan untuk mengubah
kelompok perompak semi-nomadik menjadi masyarakat nelayan dan petani
yang menetap dengan jalan negosiasi dan pemberian lahan. Usaha terbesar
ialah di era pengganti Nuku, raja Jailolo Muhammad Asgar, yang diberikan
tanah di pantai utara Seram . Disini ribuan pengikut raja Jailolo yang
hidup berkelana selama Perang Nuku diharapkan menetap secara permanen.
Tanah yang kurang subur menyebabkan kekurangan makanan dan juga diduga
karena kontak yang terus-menerus dengan para perompak menyebabkan usaha
ini berakhir dalam kegagalan.
Dua usaha yang serupa dalam
skala yang lebih kecil dilakukan oleh pemerintah Belanda untuk
memukimkan dan menenangkan perompak Tobelo di sekitar Flores. Yang
pertama dilakukan oleh Daeng Magasing, bangsawan dari Bonerate yang
memiliki hubungan dengan para bajak laut. Dia menggunakan kearifan lokal
dan statusnya untuk berhubungan dengan para perompak dan memukimkan
mereka di Tanah Jampea. Pulau kecil di Selatan Selayar ini kehabisan
penduduk karena serangan yang berkelanjutan. Disini para perompak akan
dimukimkan dan diharapkan menjadi petani dan hidup dengan damai dalam
perlindungan pemerintah Belanda. Pada tahun 1830, 15 orang pemimpin
bajak laut Tobelo menandatangani perjanjian damai yang diperkuat dengan
sumpah dengan Daeng Magasing. Tiga tahun kemudian usaha ini gagal karena
terbukti bahwa Daeng Magasing sendiri terlibat dalam aksi pembajakan
dengan menggunakan suplai yang diberikan oleh Belanda.
Usaha
kedua untuk ‘menjinakkan’ orang Tobelo dilakukan oleh petualang
Belanda, Jan Nicholas Vosmaer, yang membangun pos perdagangan di pantai
timur Sulawesi. Dia didukung oleh pemerintah Belanda. Vosmaer melakukan
negosiasi dengan banyak pemimpin perompak Tobelo sama seperti yang
pernah dilakukan Daeng Magasing, tapi kematiannya membuat usaha ini
harus terhenti di tengah jalan. Seandainya pun dia tetap hidup diragukan
jika dia bisa menjinakkan para perompak karena keamanannya sendiri
tergantung kepada seorang pemimpin yang terkait dengan bajak laut. Usaha
awal untuk mengubah dan memukimkan bajak laut gagal selama Belanda
hanya memiliki kontrol yang terbatas di perairan timur dan tidak
memiliki daya untuk mencegah kerja sama antara pembajak dan elit politik
lokal.
Belanda kemudian menyadari bahwa menekan para perompak
memerlukan kerja sama dengan sekutu mereka. Tahun 1853 sultan Ternate
mengeluarkan dekrit yang menyerukan orang Tobelo untuk pulang ke Ternate
dalam waktu satu tahun atau jika tidak akan diperlakukan sebagai bajak
laut oleh Belanda. Banyak orang Tobelo yang mengalir ke Sulawesi Timur
untuk melapor ke wakil Ternate tapi dicegat oleh kapal perang Belanda
dan langsung diangkut dan dipulangkan ke Ternate. Pada tahun 1870-an dan
1880-an, ekspedisi anti-bajak laut tidak lagi dilakukan dengan
kapal-kapal Eropa tapi dengan menggunakan perahu kora-kora yang bisa
memasuki perairan dangkal dan mampu bermanuver untuk mengejar
kapal-kapal kecil. Para penguasa lokal dan para bangsawan dikenakan
denda yang berat jika diketahui menjalin hubungan dengan bajak laut
Tobelo dan perompak lainnya.
Larangan perdagangan budak
oleh pemerintah Belanda juga menurunkan motivasi para perompak karena
budak merupakan komoditas yang paling berharga. Larangan terhadap
perbudakan lebih dulu diberlakukan di Indonesia Timur ketimbang di
daerah lain mengingat akutnya penangkapan budak di wilayah tersebut.
Perompakan di perairan Nusantara juga berakhir sebagai dampak dari
perkembangan teknologi dengan berkembangnya transportasi dengan kapal
uap yang mampu bergerak dengan cepat dalam melakukan pengejaran terhadap
para bajak laut. Tahun 1866 Belanda melakukan operasi pengejaran di
perairan Flores dengan menggunakan kapal uap dengan didukung ribuan
prajurit kesultanan Bima. Operasi tersebut merupakan pukulan berat bagi
para bajak laut.
Pada akhir abad ke-19, gangguan bajak
laut yang dilakukan orang Tobelo-Galela berkurang secara drastis,
kemudian berakhir. Orang Tobelo tidak banyak menyisakan jejak di
wilayah-wilayah tempat mereka beraksi sebagai perompak karena sebagian
besar kembali pulang ke Halmahera, tetapi mereka meninggalkan reputasi
mengerikan sebagai bajak laut tangguh yang belum lekang hingga saat ini.
(dari berbagai sumber)
peta jalur operasi dan pemukiman bajak laut Tobelo dan Mindanao
http://www.facebook.com/notes/adrian-noel/canga-our-ancestors-are-sea-pirates/10151327327769502