Rabu, 05 September 2012
CANGA : Our Ancestors Are Sea-Pirates
Hingga abad ke-19, Asia Tenggara merupakan pusat perdagangan dunia selain Fenesia. Dan sejarahwan mencatat, bahwa siapapun yang menguasai selat Malaka, dia mencengkeram Fenesia. Maraknya perdagangan memunculkan kelompok-kelompok perompak yang berperan sebagai sebuah sub-sistem dari kegiatan perdagangan.
Perairan-perairan yang menjadi sasaran operasi bajak laut antara lain perairan Manado, Kepulauan Sulawesi Tenggara, pantai timur Sulawesi, Nusa Tenggara, pantai utara Jawa Timur, serta Maluku.Membahas perompakan di kepulauan Nusantara berarti berbicara tentang bajak laut Mangindanao, Dayak Laut dan Tobelo. Kelompok-kelompok bajak laut tersebut menjadikan kepulauan Nusantara sebagai episentrum pembajakan dunia di abad ke-19.
Bajak laut Mangindanao berasal dari Philipina bagian selatan dan terdiri dari orang-orang Iranun (Lanun), Sulu, Balangingi (Samal) dan Tausog (juga sering dilafalkan Toasug). Tapi yang paling terkenal dari kelompok ini adalah Iranun atau Lanun. Orang Iranun berasal dari danau Ranao di pulau Mindanao, yang karena letusan gunung berapi kemudian bermigrasi ke kepulauan Sulu. Mereka adalah kelompok bajak laut yang memiliki sejarah yang panjang. Keberhasilan mereka dalam pembajakan di laut antara lain dikarenakan mereka adalah kelompok yang terorganisasi secara baik dan memiliki sponsorship yang kuat dari para datu Tausog. Orang-orang kaya Tausog menyediakan persenjataan dan perahu, kemudian menampung budak hasil tangkapan untuk kemudian dipasarkan di Jolo, pasar budak terbesar di kepulauan Sulu. Wilayah operasi bajak laut Mangindanao mencakup Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Sumatera, Malaya, Siam dan para sejarahwan meyakini mereka juga beraksi sampai ke teluk Benggala.
Dayak Laut adalah nama yang diberikan oleh orang barat kepada kelompok penjelajah sungai dari Sarawak. Di kalangan orang Dayak, mereka disebut Orang Iban. Walaupun disebut Dayak Laut, mereka sebenarnya tidak memiliki tradisi maritim dan keterlibatan mereka dalam perompakan adalah karena kerja sama dengan bajak laut Mangindanao.
Orang Tobelo adalah penduduk rimba Halmahera disekitar Danau Lina yang kemudian berpindah ke pantai timur Halmahera Utara setelah lenyapnya orang Moro dari daerah tersebut. Sedangkan sebutan “bajak laut Tobelo” sebenarnya mengacu pada kelompok perompak Tobelo dan Galela. Keterlibatan orang Tobelo dan Galela dalam pembajakan di laut bisa ditelusuri hingga akhir abad ke-18. Ketika pangeran Nuku dari Tidore mencetuskan pemberontakan, ia berhasil mempersatukan berbagai kekuatan maritim di bagian timur Indonesia, antara lain orang Maba, Patani, Weda, Gebe, Raja Ampat, Biak dan orang-orang Tobelo-Galela yang bermukim di wilayah kesultanan Tidore. Untuk membiayai pemberontakan, mereka melakukan pembajakan dan penangkapan budak serta menyerang kapal dagang dan berbagai kepentingan Ternate dan Belanda di berbagai tempat. Kelompok ini dalam catatan Belanda disebut “Papua Zeerover”, bajak laut Papua. Aktifitas kelompok ini mencakup daerah Ambon, Buru, Seram, kepulauan Aru-Kei, Tanimbar, Sula, Banggai dan Sulawesi Utara.
Untuk mengatasi kelompok bajak laut tersebut, Belanda dan Ternate mengirim sejumlah ekspedisi. Tahun 1780 Belanda mengirim ekspedisi langsung ke jantung para bajak laut. Tim ekspedisi ini terdiri dari 59 tentara Eropa, 22 orang Makassar, 57 orang Bali di bawah pimpinan Captain Heinrich dan penerjemah van Dijk serta kurang lebih 3.000 orang Tobelo dan Galela di bawah pimpinan Letnan Maffa Mira.
Tanggal 20 November 1780, negeri Wossi dan Maba diserang dan berhasil dihancurkan keesokan harinya. Serangan ke Patani tanggal 17 Desember gagal sebab orang-orang Tobelo dan Galela menolak untuk menyerang karena persoalan penjatahan makanan. Pertempuran secara sporadis terus berlangsung di laut, dan tanggal 26 April Patani diserang dan dibakar. Pangeran Nuku dan pengikutnya melarikan diri ke Papua. Selama beberapa tahun orang-orang Tobelo dan Makeang dilibatkan dalam pasukan gabungan Ternate dan Belanda untuk memburu Nuku dan pengikutnya.
Pukulan berat terhadap para bajak laut menyebabkan banyak dari mereka yang menyerah dan mengalihkan kesetiaanya kepada Belanda dan Ternate. Masa tersebut merupakan masa yang paling berat dari perjuangan Nuku. Tapi tahun 1792 merupakan titik balik bagi Nuku setelah ia berhasil membentuk aliansi dengan orang Tobelo, Galela dan Tobaru. Bergabungnya orang-orang Tobelo, Galela dan Tobaru dalam barisan Nuku berhasil mengembalikan motivasi dari mantan pengikut Nuku yang sudah memihak Ternate dan Belanda untuk kembali berjuang di pihak Nuku.
Awal mula keterlibatan orang Tobelo dalam pembajakan digambarkan sebagai berikut :
“Delapan kampung orang Tobelo terletak di pedalaman di tepi sebuah danau. Mereka dikenal sebagai orang-orang yang “kejam dan mematikan”, dan hanya orang-orang Galela dan Tobaru yang berani mengunjungi mereka. Mereka digambarkan memiliki banyak sekali emas dan perak – beberapa dari mereka menggunakan tiga, empat bahkan lima gelang emas atau perak sekaligus. Sumber Belanda mengungkapkan bahwa Sultan Sibori Amsterdam pernah membujuk 600 pejuang Tobelo dengan banyak emas dan perak untuk ikut serta dalam perang melawan VOC pada tahun 1779-1781.
Orang-orang Gamrange (Maba dan Patani), orang Seram Timur dan pemimpin-pemimpin Tidore berperan dalam pembentukan aliansi dengan Tobelo. Aliansi ini dilaporkan terjadi pada tahun 1792. Alferis Hassan dari Tidore melaporkan bahwa sebuah paduakang (jenis kapal) telah merapat di Morotai dengan membawa lima orang Seram Timur serta beberapa orang Maba dan Patani dan mereka telah melakukan upacara tukar-menukar hadiah dengan delapan penduduk Tobelo-tai dan Kao. Orang-orang Seram Timur dan pemimpin-pemimpin Gamrange menghadiahkan dua ekor merpati, sebuah pedang dan tombak kepada anak perempuan Afir, seorang Kapita Laut dari Tobelo. Setelah upacara tukar-menukar hadiah, empat puluh kora-kora disiapkan untuk ekspedisi pembajakan ke Manado”
Dengan demikian aksi para bajak laut terus berlanjut dan bersama Inggris mereka merupakan kekuatan utama yang mengantar Nuku menduduki takhta Tidore dan kemudian menundukkan kekuatan gabungan Ternate - Belanda.
Pada awal abad ke-19 mulai muncul kelompok bajak laut Tobelo yang menjalin kerja sama dengan bajak laut Mangindanao. Para bekas pengikut Nuku yang menyingkir ke Seram Timur bersama raja Jailolo Muhammad Asgar banyak yang bergabung dengan kelompok bajak laut tersebut karena tanah yang kurang subur di Seram Timur tidak mampu mendukung keberadaan kelompok tersebut dan menyebabkan kekurangan pangan. Para bekas pengikut Nuku tersebut terdiri dari kebanyakan orang-orang Halmahera Timur dan orang-orang Tobelo.
Dengan demikian, sejarah maritim di Indonesia Timur mencatat kemunculan kelompok bajak laut Tobelo, dan belakangan muncul pula bajak laut Galela dengan Seram Timur sebagai salah satu jalur transit sekaligus pemukiman para bajak laut.
Wilayah operasi bajak laut Tobelo mencakup wilayah yang luas, dari perairan Flores di selatan hingga Toli-Toli di utara Sulawesi. Dari kepulauan Maluku hingga pantai utara Jawa Timur. Untuk mendukung operasinya, para bajak laut membangun beberapa pemukiman seperti Tanah Jampea di depan Selayar, Tobungku di pantai Timur Sulawesi dan Toli-Toli di utara Sulawesi. Perairan Flores merupakan wilayah “operasi bersama” antara bajak laut Tobelo dan Mindanao dari Pilipina Selatan. Tetapi pada tahun 1822 Belanda melakukan sebuah operasi anti bajak laut di pulau Sape yang bukan saja berhasil mengalahkan para bajak laut, tetapi juga mengakhiri kerja sama antara bajak laut Tobelo dan bajak laut Mindanao di wilayah perairan Flores. Kelompok bajak laut Mindanao mem-fokus-kan operasinya di Sulawesi Utara, Kalimantan dan Philipina sedangkan bajak laut Tobelo memfokuskan operasinya di pantai timur Sulawesi.
Perbedaan wilayah operasi membuat perbedaan dalam penyebutan kata bajak laut. Di wilayah yang di dominasi oleh bajak laut Mindanao seperti di wilayah pantai barat Sulawesi, Kalimantan,Sumatera dan Malaya, “Lanun” yang berasal dari kata Iranun merupakan sebutan generik bagi bajak laut. Bagi masyarakat Sulawesi Utara, kata Mangindanao adalah sinonim untuk bajak laut. Penduduk kepulauan Sanger menganggap tabu untuk menyebut kata Mangindanao terutama jika sementara berada di tengah lautan. Dalam “sasahara” (bahasa rahasia) penduduk kepulauan Sanger, kata untuk bajak laut adalah Malanghingin, dari kata Balangingi, kelompok bajak laut Philipina Selatan. Sedangkan bagi penduduk pantai timur Sulawesi yang di dominasi oleh bajak laut Tobelo, kata untuk menyebut bajak laut adalah Tobelo, Pabelo, atau Belo.
Setelah orang Iranun meninggalkan perairan Flores dan pantai timur Sulawesi, orang Tobelo merubah modus operandinya, dari perompakan berskala besar menjadi perompakan dalam kelompok-kelompok kecil tetapi menyebar sehingga sulit terdeteksi dan makin menyulitkan pemerintah Belanda dalam operasinya membasmi para bajak laut. (Kelompok terbesar bajak laut Tobelo yang pernah dicatat tahun 1872 adalah yang terlihat di Teluk Tomini yaitu sejumlah 48 perahu. Kelompok tersebut terdiri dari kumpulan perahu kecil yang masing-masing memuat 10 - 60 pembajak. Perahu-perahu ini diikat menjadi satu dan setelah sampai di lokasi tertentu mereka kemudian menyebar ke berbagai arah untuk melakukan pembajakan dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 40-50 pembajak.) Beberapa aksi bajak laut Tobelo yang terekam dalam catatan pemerintah Belanda bisa dilihat disini.
Tahun 1846 tiga orang pemimpin bajak laut Tobelo tiba di Banggai, dimana mereka disambut sebagai sekutu oleh orang-orang Ternate yang sementara menghadapi pemberontakan bersenjata oleh penguasa Banggai, Raja Agama yang didukung oleh orang-orang Makassar. Para bajak laut yang bahu-membahu dengan tentara Ternate berhasil memadamkamkan pemberontakan tersebut dan Sorani, salah satu pemimpin bajak laut diizinkan bermukim di salah satu pulau di kepulauan Banggai dan melakukan penangkapan budak di wilayah tersebut. Para pembesar Ternate menjadi penadah budak hasil tangkapan para bajak laut.
Sementara itu, sebagian bajak laut Tobelo membangun pemukiman di Toli-Toli, dan dari situ melakukan “operasi bersama” dengan para bajak laut Mindanao, Dayak Laut (Iban), dan kelompok perompak lainnya. Toli-Toli merupakan basis untuk operasi di pantai barat Sulawesi, Sulawesi Utara dan Kalimantan. Sebuah catatan pada tahun 1812 menggambarkan Toli-Toli sebagai “the great piratical establishment”. Kerja sama antara berbagai kelompok bajak laut merupakan hal yang lumrah. Merujuk pada sebuah catatan dari tahun 1830, pulau Tanah Laut, di sebelah selatan pulau Kalimantan, merupakan pemukiman kelompok bajak laut yang terdiri dari orang Iranun, gerombolan Haji Jawa dari Kalimantan, orang-orang Tobelo dan orang Bajau.
Selain merompak dan menangkap budak, para bajak laut ini seringkali berfungsi sebagai mercenary (tentara bayaran). Pada tahun 1820-an, para bajak laut membantu sultan Sulu untuk menaklukkan kesultanan Brunei. Sultan Buton pernah menawarkan 100 orang budak bagi para bajak laut Tobelo yang menetap di Kendari untuk membunuh Vosmaer, seorang Belanda yang mendirikan pos perdagangan di Kendari. Permintaan ini ditolak oleh para pemimpin bajak laut, Dagi-dagi dan Kapita Tobungku karena hubungan baik yang telah terjalin antara para bajak laut dan Vosmaer.
Terkadang para penguasa melakukan pembiaran bagi para bajak laut yang beroperasi di wilayahnya karena para bajak laut dapat berperan untuk melemahkan suku-suku yang memiliki potensi untuk menyaingi kekuatan para sultan. Hal ini terjadi misalnya di Nusa Tenggara di mana para sutan Bima membiarkan suku Manggarai diserang oleh para bajak laut. Dengan demikian para sultan Bima meminjam tangan para bajak laut untuk melemahkan suku yang diragukan kesetiaannya terhadap para sultan. Serangan yang berkelanjutan menyebabkan orang Manggarai yang mulanya bermukim di tepi pantai akhirnya berpindah ke pedalaman.
Motivasi di balik Pembajakan di Laut
Menyimak mobilitas dari para bajak laut, penting untuk menggali motivasi yang mendorong sekelompok orang untuk melakukan berbagai aksi pembajakan di laut yang bukan hanya berbahaya, tetapi juga dilakukan dengan taruhan nyawa.
Bagi orang-orang Iranun, menjadi bajak laut merupakan sesuatu yang sudah mendarah-daging. Mereka adalah kelompok manusia yang merasa “dilahirkan untuk membajak di laut” dan perbudakan merupakan aspek penting dalam struktur sosial orang Iranun. Separuh penduduk kepulauan Sulu adalah budak (disebut oripen atau baniaga) yang dipekerjakan di berbagai bidang, dari penangkapan ikan, sebagai pendayung perahu, sampai pengumpulan sarang burung.
Kelompok Dayak Laut (Iban) merompak dengan satu tujuan : memburu kepala. Harga diri dan kehormatan suatu pemukiman orang Iban sangat tergantung pada jumlah kepala yang berhasil dikumpulkan. Kepala juga penting dalam penyelenggaraan berbagai upacara dari awal masa tanam, panen, upacara kelahiran, kematian dan sebagainya. Setiap tahun ribuan budak hasil tangkapan dari Philipina mengalir ke Jolo, pasar budak terbesar di kepulauan Sulu. Tahun 1845 pemerintah kolonial Spanyol menempatkan Juan Bautista Barrera di Jolo dengan tugas menebus warga Philipina yang tertangkap oleh para bajak laut. Sejumlah catatannya menggambarkan kemarahan karena ketidakmampuannya menebus banyak sekali budak karena seringkali ia kehabisan uang tunai dan barang berharga untuk dibayarkan kepada para bajak laut. Para budak yang tidak ditebus biasanya langsung dikapalkan ke Kalimantan dan diserahkan kepada orang Iban yang membayar dengan teripang dan sarang burung. Mengumpulkan teripang dan sarang burung untuk ditukarkan dengan budak merupakan cara alternatif bagi orang Iban untuk mendapatkan kepala selain dengan merompak dan menyerang pemukiman suku lain.
Banyak sejarahwan sepakat bahwa selain faktor ekonomi, faktor politik merupakan motif bagi orang-orang Tobelo dan Galela untuk terjun dalam kegiatan pembajakan di laut. Menjadi bajak laut merupakan respon bagi tekanan politik para sultan yang secara semena-mena memonopoli dan menetapkan harga berbagai komoditi penting seperti teripang, mutiara, hingga perahu dan beras. Sedangkan pemerintah Belanda dan pedagang Cina memonopoli perdagangan pakaian, peralatan keramik dan barang-barang logam. Menjadi bajak laut merupakan ekspresi ketidakpuasan terhadap para penguasa dan oleh sebab itu para bajak laut seringkali menyerang kapal-kapal dagang milik sultan Ternate.
Faktor lain adalah hasrat bertualang yang dilandasi oleh “spiritualitas Halmahera”, terutama konsep triatomik masyarakat Halmahera yang memandang manusia terdiri dari tiga bagian, roehe (raga), gikiri (roh), dan gurumi (jiwa, semangat, manna, kekuatan batin). Kehormatan seorang Halmahera terletak dalam kekuatan guruminya. Oleh karenanya dilakukan usaha-usaha untuk membangkitkan gurumi seseorang antara lain lewat ritual hokara. Pengalaman menempuh bahaya dan tantangan (seperti dalam kegiatan perompakan) juga dianggap dapat memperkuat gurumi seseorang dan kemenangan-kemenangan dalam menaklukkan musuh dapat membuat seseorang “dipenuhi gurumi”.
Penjinakan Bajak Laut
Selain melakukan operasi bersenjata untuk mengatasi keganasan para bajak laut, pemerintah kolonial juga melakukan usaha-usaha dalam rangka untuk menjinakkan kelompok bajak laut tersebut. Pada dekade 1820-an dan 1830-an beberapa usaha yang kemudian gagal dilakukan untuk mengubah kelompok perompak semi-nomadik menjadi masyarakat nelayan dan petani yang menetap dengan jalan negosiasi dan pemberian lahan. Usaha terbesar ialah di era pengganti Nuku, raja Jailolo Muhammad Asgar, yang diberikan tanah di pantai utara Seram . Disini ribuan pengikut raja Jailolo yang hidup berkelana selama Perang Nuku diharapkan menetap secara permanen. Tanah yang kurang subur menyebabkan kekurangan makanan dan juga diduga karena kontak yang terus-menerus dengan para perompak menyebabkan usaha ini berakhir dalam kegagalan.
Dua usaha yang serupa dalam skala yang lebih kecil dilakukan oleh pemerintah Belanda untuk memukimkan dan menenangkan perompak Tobelo di sekitar Flores. Yang pertama dilakukan oleh Daeng Magasing, bangsawan dari Bonerate yang memiliki hubungan dengan para bajak laut. Dia menggunakan kearifan lokal dan statusnya untuk berhubungan dengan para perompak dan memukimkan mereka di Tanah Jampea. Pulau kecil di Selatan Selayar ini kehabisan penduduk karena serangan yang berkelanjutan. Disini para perompak akan dimukimkan dan diharapkan menjadi petani dan hidup dengan damai dalam perlindungan pemerintah Belanda. Pada tahun 1830, 15 orang pemimpin bajak laut Tobelo menandatangani perjanjian damai yang diperkuat dengan sumpah dengan Daeng Magasing. Tiga tahun kemudian usaha ini gagal karena terbukti bahwa Daeng Magasing sendiri terlibat dalam aksi pembajakan dengan menggunakan suplai yang diberikan oleh Belanda.
Usaha kedua untuk ‘menjinakkan’ orang Tobelo dilakukan oleh petualang Belanda, Jan Nicholas Vosmaer, yang membangun pos perdagangan di pantai timur Sulawesi. Dia didukung oleh pemerintah Belanda. Vosmaer melakukan negosiasi dengan banyak pemimpin perompak Tobelo sama seperti yang pernah dilakukan Daeng Magasing, tapi kematiannya membuat usaha ini harus terhenti di tengah jalan. Seandainya pun dia tetap hidup diragukan jika dia bisa menjinakkan para perompak karena keamanannya sendiri tergantung kepada seorang pemimpin yang terkait dengan bajak laut. Usaha awal untuk mengubah dan memukimkan bajak laut gagal selama Belanda hanya memiliki kontrol yang terbatas di perairan timur dan tidak memiliki daya untuk mencegah kerja sama antara pembajak dan elit politik lokal.
Belanda kemudian menyadari bahwa menekan para perompak memerlukan kerja sama dengan sekutu mereka. Tahun 1853 sultan Ternate mengeluarkan dekrit yang menyerukan orang Tobelo untuk pulang ke Ternate dalam waktu satu tahun atau jika tidak akan diperlakukan sebagai bajak laut oleh Belanda. Banyak orang Tobelo yang mengalir ke Sulawesi Timur untuk melapor ke wakil Ternate tapi dicegat oleh kapal perang Belanda dan langsung diangkut dan dipulangkan ke Ternate. Pada tahun 1870-an dan 1880-an, ekspedisi anti-bajak laut tidak lagi dilakukan dengan kapal-kapal Eropa tapi dengan menggunakan perahu kora-kora yang bisa memasuki perairan dangkal dan mampu bermanuver untuk mengejar kapal-kapal kecil. Para penguasa lokal dan para bangsawan dikenakan denda yang berat jika diketahui menjalin hubungan dengan bajak laut Tobelo dan perompak lainnya.
Larangan perdagangan budak oleh pemerintah Belanda juga menurunkan motivasi para perompak karena budak merupakan komoditas yang paling berharga. Larangan terhadap perbudakan lebih dulu diberlakukan di Indonesia Timur ketimbang di daerah lain mengingat akutnya penangkapan budak di wilayah tersebut. Perompakan di perairan Nusantara juga berakhir sebagai dampak dari perkembangan teknologi dengan berkembangnya transportasi dengan kapal uap yang mampu bergerak dengan cepat dalam melakukan pengejaran terhadap para bajak laut. Tahun 1866 Belanda melakukan operasi pengejaran di perairan Flores dengan menggunakan kapal uap dengan didukung ribuan prajurit kesultanan Bima. Operasi tersebut merupakan pukulan berat bagi para bajak laut.
Pada akhir abad ke-19, gangguan bajak laut yang dilakukan orang Tobelo-Galela berkurang secara drastis, kemudian berakhir. Orang Tobelo tidak banyak menyisakan jejak di wilayah-wilayah tempat mereka beraksi sebagai perompak karena sebagian besar kembali pulang ke Halmahera, tetapi mereka meninggalkan reputasi mengerikan sebagai bajak laut tangguh yang belum lekang hingga saat ini.
(dari berbagai sumber)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar