Rabu, 05 September 2012

CANGA : Sailing In Dangerous Waters


Bajak laut dan perompakan di perairan Asia Tenggara memiliki akar sejarah yang panjang dan belum tergerus oleh waktu. Hingga tahun 1994, ingatan tentang perompak Tobelo dari abad ke-19 masih dipakai oleh masyarakat di beberapa wilayah Sulawesi Tengah untuk menakuti anak-anak agar patuh . Orang Tobelo,digambarkan sebagai predator tak kenal belas kasihan, aktif di abad ke-19, adalah satu dari banyak kelompok di mana perompakan merupakan sumber yang penting bagi penghidupan di perairan bagian timur Indonesia. Artikel ini menguraikan bagaimana kelompok perompak ini berfungsi sebagai bagian dari sistem politik di Indonesia Timur dan kemudian berakhir dengan ekspansi maritim dari penguasa kolonial di abad ke sembilan belas.

  Kelompok bersenjata yang bersiliweran adalah pemandangan biasa di kepulauan Indonesia bagian timur pada abad 17 dan 18. Mereka aktif bukan saja pada masa perang tetapi juga di masa-masa yang relatif damai. Perompak adalah sebagian dari kelompok yang memiliki mobilitas tinggi dan terkait dengan pembajakan, kegiatan politik, dan perdagangan. Kelompok-kelompk ini juga terkait dengan pusat-pusat kekuasaan di berbagai wilayah  dan khususnya aktif di batas luar suatu kerajaan dan mereka juga sering menjalin hubungan dengan elit penguasa lokal dan menetap untuk waktu yang lama.

Dua pusat kekuasaan yang utama di Indonesia Timur adalah Ternate dan Bone. Lingkungan pengaruh dari keduanya didasarkan pada aliansi dengan vassal (penguasa bawahan) masing-masing dan dengan para pedagang, bangsawan, masyarakat laut dan perompak. Berbeda dengan sistem ideal Belanda yaitu sistem penataan hubungan politik yang terpusat di mana pengusahaan keamanan dan ketertiban serta mediasi merupakan fungsi yang penting, sistem vassal (tributary sistem) terdiri dari rangkain perjanjian perdamaian (non-agression pacts) yang dinegosiasikan secara terpisah antara pusat kekuasaan dengan masing-masing vassal. Sebuah pusat kekuasaan tidak bisa mengontrol pergerakan dan tindakan dari kerajaan bawahan tapi dapat melakukan tindakan militer untuk membalas tantangan atau kelalaian dalam pemberian upeti, yang mana tindakan militer ini melibatkan kelompok perompak dan kerajaan bawahan lainnya.
Bagi sebuah pusat kekuasan, adalah penting untuk mengatur dengan cara-cara yang menjamin bahwa potensi kekerasan tidak akan diarahkan kepada mereka. Dan agar kerajaan bawahan dan para perompak tidak bersekutu melawan mereka.Atas alasan ini, adalah penting untuk mengarahkan kekerasan keluar perbatasan dengan mengizinkan kerajaan bawahan dan para bangsawan  dengan pengikut bersenjatanya untuk melakukan aktifitas kekerasan jauh dari pusat kekuasaan . Pantai timur Sulawesi dengan tiga kerajaan maritimnya yaitu Buton, Tobungku, dan Banggai terletak di antara lingkungan pengaruh Bone dan Ternate. Sebagai konsekuensinya, ketiganya merasakan dampak dari kelompok perompak dari kedua pusat kekuasaan tersebut dan harus mencari perlindungan dari keduanya dengan – dengan hasil  yang fluktuatif.

Pada tahun 1743, sebuah perjanjian dinegosiasikan oleh Ternate untuk menyelesaikan konflik antara dua vassal yaitu Banggai dan Tobungku, sehingga keduanya bisa berpartisipasi dalam ekspedisi militer yang dipimpin oleh Ternate. Ketentuan akhir dari perjanjian ini, menetapkan bahwa Sultan Ternate berhak menerima bagian dari rampasan perang.
Dengan perluasan kekuasaan oleh kekuasaan kolonial pada awal abad ke -19, perompakan dianggap sebagai tindakan kriminal  dan harus dibasmi. Belanda harus berurusan tidak hanya dengan perompakan tetapi juga dengan sistem ekonomi dan politik yang melibatkan para perompak. Perompakan adalah sebuah cara untuk meningkatkan upeti, meningkatkan kekayaan dan membiayai perang yang terjadi dalam skala besar di timur Nusantara pada era Perang Nuku melawan VOC.

Pada dekade 1820-an dan 1830-an beberapa beberapa usaha yang kemudian gagal dilakukan untuk mengubah kelompok perompak semi-nomadik  menjadi masyarakat nelayan dan petani yang menetap dengan jalan negosiasi dan pemberian lahan. Usaha terbesar ialah di era pengganti Nuku, raja Jailolo II, Muhammad Asgar yang diberikan tanah di pantai utara Seram . Disini ribuan pengikut raja Jailolo yang hidup berkelana selama Perang Nuku diharapkan menetap secara permanen. Tanah yang kurang subur menyebabkan kekurangan makanan dan juga diduga karena kontak yang terus-menerus dengan para perompak menyebabkan usaha ini berakhir dalam kegagalan.

Dua usaha yang serupa dalam skala yang lebih kecil dilakukan oleh pemerintah Belanda untuk memukimkan dan menenangkan perompak Tobelo di sekitar Flores, yang juga terdiri dari bekas pengikut Nuku. Yang pertama dilakukan oleh Daeng Magasing, bangsawan dari Bonerate yang memiliki hubungan dengan para bajak laut. Dia menggunakan kearifan lokal dan statusnya untuk berhubungan dengan para perompak dan memukimkan mereka di Tanah Jampea. Pulau kecil di Selatan Selayar ini kehabisan penduduk karena serangan yang berkelanjutan. Disini para perompak akan dimukimkan dan diharapkan menjadi petani dan hidup dengan damai dalam perlindungan pemerintah Belanda. Pada tahun 1830, 15 orang pemimpin bajak laut Tobelo menandatangani perjanjian damai yang diperkuat dengan sumpah dengan Daeng Magasing. Tiga tahun kemudian usaha ini gagal karena terbukti bahwa Daeng Magasing sendiri terlibat dalam aksi pembajakan dengan menggunakan suplai yang diberikan oleh Belanda.

Usaha kedua untuk ‘menjinakkan’ orang Tobelo dilakukan oleh petualang Belanda, Jan Nicholas Vosmaer, yang membangun pos perdagangan di pantai timur Sulawesi. Dia didukung oleh pemerintah Belanda. Vosmaer melakukan negosiasi dengan banyak pemimpin perompak Tobelo sama seperti yang pernah dilakukan Daeng Magasing, tapi kematiannya membuat usaha ini harus terhenti di tengah jalan. Seandainya pun dia tetap hidup diragukan jika dia bisa menjinakkan para perompak karena keamanannya sendiri tergantung kepada seorang pemimpin yang terkait dengan bajak laut. Usaha awal untuk mengubah dan memukimkan bajak laut gagal selama Belanda hanya memiliki kontrol yang terbatas di perairan timur dan tidak memiliki daya untuk mencegah kerja sama antara pembajak dan elit politik lokal.
Pemberantasa bajak laut merupakan salah satu pembenaran utama bagi ekspansi penguasa kolonial di perairan timur Indonesia di paruh kedua abad ke-19.

Efek samping yang tidak diharapkan dari operasi pemberantasan bajak laut di sekitar Flores adalah peningkatan perompakan di pantai timur Sulawesi.

Tahun 1846, tiga pemimpin bajak laut Tobelo dan para pengikutnya tiba di Banggai dimana mereka disambut sebagai sekutu oleh para bangsawan Ternate yang sedang menghadapi pemberontakan oleh penguasa lokal (era ini Banggai diperintah oleh Raja Agama.Karena keterlibatan para bajak laut Tobelo, maka perang untuk memadamkan pemberontakan tersebut dinamakan “Perang Tobelo”). Tahun berikutnya perang dimenangkan oleh Ternate dan para bajak laut, dan orang Tobelo kemudian merompak di sepanjang pantai wilayah tersebut dan berbagi hasil jarahan dengan para bangsawan Ternate yang menjadi pelindung mereka terhadap Belanda. Para bangsawan Ternate juga menjadi penadah bagi budak hasil tangkapan para bajak laut Tobelo.

Belanda kemudian menyadari bahwa menekan para perompak memerlukan kerja sama dengan sekutu mereka. Tahun 1853 sultan Ternate mengeluarkan dekrit yang menyerukan orang Tobelo untuk pulang ke Ternate dalam waktu satu tahun atau jika tidak akan diperlakukan sebagai bajak laut oleh Belanda. Banyak orang Tobelo  yang mengalir ke Sulawesi Timur untuk melapor ke wakil Ternate tapi dicegat oleh kapal perang Belanda dan langsung di angkut dan dipulangkan ke Ternate. Pada tahun 1870-an dan 1880-an, ekspedisi anti-bajak laut tidak lagi dilakukan dengan kapal-kapal Eropa tapi dengan menggunakan perahu kora-kora yang bisa memasuki perairan dangkal dan mampu bermanuver untuk mengejar kapal-kapal kecil. Para penguasa lokal dan para bangsawan dikenakan denda yang berat jika diketahui menjalin hubungan dengan bajak laut Tobelo dan perompak lainnya. Perompak Tobelo terakhirdi angkut dari timur Sulawesi pada tahun 1880-an. Sebagai dampak langsungnya, terjadi pemukiman kembali di pesisir pantai Sulawesi, kebangkitan perdagangan lokal, dan booming dalam produksi kopra. Perairan timur Sulawesi akhirnya ditenangkan bagi penguasa kolonial.

Artikel di IIAS Newsletter edisi 36 Maret 2005
Didasarkan pada disertasi Phd Esther Velthoen di Murdoch University tahun 2002 dengan judul “Contested Coastlines : Diaspora,Trade and Colonial Expansion in Eastern Sulawesi 1680-1905”

Terjemahan Edward Djawa

peta aktifitas Canga

 http://www.facebook.com/notes/adrian-noel/canga-sailing-in-dangerous-waters/10151046582369502

Tidak ada komentar: