Rabu, 05 September 2012

CANGA II

Pada abad ke-19, beberapa perairan penting di Indonesia dihantui oleh perompakan-perompakan yang dilakukan para bajak laut. Aksi-aksi para bajak laut ini sangat memusingkan Pemerintah Kolonial Belanda dan angkatan lautnya. Perairan-perairan yang menjadi sasaran operasi bajak laut antara lain perairan Manado, Kepulauan Sulawesi Tenggara, pantai timur Sulawesi, Nusa Tenggara, pantai utara Jawa Timur, serta Maluku. Sampai paruh pertama abad ke-19 ini, pelaku perompakan terutama terdiri dari orang-orang Filipina Selatan, yakni orang Balangigi, Mindanao dan Sulu.

J.A. Muller19 melaporkan bahwa Komandan kapal Willem I, Wolterbeek Muller, mengalami musibah karam kapalnya ketika tengah mengejar bajak laut “Maluku.” Tetapi, para bajak laut tersebut ternyata orang Mindanao yang perahunya dilengkapi dengan senjata api.

Bajak laut Mindanao yang terkenal ketika itu adalah gerombolan yang dipimpin Syarif Takala. Gerombolan ini beroperasi di sekitar pantai timur Kalimantan dan Sulawesi Utara. Pada 1835, Syarif Takala tertangkap di Batu Putih oleh kapal perang Heldin, dan bersamanya ikut diringkus anak buahnya yang baru selesai beroperasi di Sungai Berau. Ketika ditangkap, Syarif Takala baru saja menikahi puteri Sultan Paji Alam dari Kesultanan Panjang.

Disamping gerombolan Syarif Takala, ada gerombolan bajak laut Filipina terkenal lainnya pimpinan Dato Kaiya, yang juga berhasil diringkus Belanda. Baik Syarif  Takala maupun Dato Kaiya diseret ke pengadilan kemudian dihukum.

Setelah tertangkapnya kedua pentolan bajak laut Filipina itu, perompakan di perairan Kalimantan mereda untuk sementara waktu. Tetapi, dengan ketatnya patroli angkatan laut di kawasan tersebut, para bajak laut Filipina Selatan memindahkan daerah operasinya ke perairan Nusa Tenggara – Flores, Bima dan sekitarnya – serta Kepulauan Maluku.

Sekitar pertengahan abad ke-19, gerombolan perompak Filipina selatan mendapat saingan baru: gerombolan bajak laut Tobelo-Galela. Pada 1850, angkatan laut Belanda melaporkan bahwa Kepulauan Bawean di pantai utara Jawa Timur diserang oleh tidak kurang dari 15 perahu bajak laut. Perahu-perahu yang digunakan para perompak cukup besar dan dikayuh puluhan orang – tiap perahu memuat sekitar 60 orang – serta dilengkapi meriam, senjata api, dan amunisi.

Perahu-perahu bajak laut itu mendarat di perkampungan ketika kaum lelakinya tengah berlayar untuk berdagang. Rumah-rumah penduduk dibakar setelah harta bendanya dirampok.Sementara perempuan dan anak-anak ditangkap untuk dijadikan budak belian. Patroli angkatan laut yang dikirim ke tempat kejadian melaporkan bahwa perompakan dilakukan oleh bajak laut domestik, bukan perompak Filipina Selatan.

Pada 1852, angkatan laut juga melaporkan terjadinya serangkaian aksi perompakan di perairan Flores dan Sumbawa. Dari para perompak yang berhasil ditangkap, diketahui bahwa para bajak laut itu berasal dari Tobelo, selain sebagiannya berasal dari Filipina Selatan.Laporan-laporan tahun selanjutnya mengungkapkan bahwa muncul pula bajak laut yang berasal dari Galela. Bahkan, secara insidental, ditemukan pula orang-orang Loloda, Patani dan Gebe yang terlibat dalam aksi-aksi perompakan.

Karena aksi-aksi perompakan yang dilakukan para bajak laut asal Tobelo dan Galela begitu meresahkan, Pemerintah Belanda mendekati para sultan Maluku dan meminta bantuan mereka – terutama Sultan Ternate dan Bacan yang kawulanya termasuk orang Tobelo dan Galela – untuk menanggulanginya. Tetapi, upaya ini tidak segera menunjukkan hasil. Bahkan, para perompak, selain menyerang daerah-daerah seperti Banggai, Buton, dan Tombuku, beroperasi di depan mata para sultan sendiri, seperti di Bacan, Obi, Sanana dan Seram. Pulau-pulau yang berdekatan dengan Tidore dan Ternate, semisal Moti, Makian, dan Mare, tidak luput dari sasaran operasi para bajak laut Tobelo dan Galela.

Salah satu pemimpin bajak laut Tobelo yang sangat ditakuti adalah Laba, yang pada 1855 tertangkap sedang bersembunyi di kampungnya di Tobelo. Residen Ternate, Stierling, setelah menerima informasi bahwa Laba berada di Gamhoku, Tobelo, segera mengirim kapal perang Visivius dan menuntut penyerahan Laba yang berada dalam perlindungan penduduk Gamhoku.

Tetapi, penduduk kampung ini menolak tuntutan tersebut. Akibatnya, Stierling memerintahkan kapal perangnya menembaki dan membakar kampung Gamhoku. Setelah kampung itu rata dengan tanah, penduduknya dipindahkan dari Gamhoku (“kampung yang terbakar”) ke Gamsungi (“kampung baru”), yang kemudian menjadi ibukota Kecamatan Tobelo hingga sekarang.Laba sendiri tertangkap dan diseret ke pengadilan di Ternate, serta dijatuhi hukuman pengasingan ke Bengkulu dan meninggal di tempat pengasingannya itu.

Dari laporan angkatan laut Belanda yang didasarkan pada wawancara dengan para perompak yang tertangkap maupun tawanan para bajak laut yang dibebaskan, diketahui bahwa hampir semua gerombolan bajak laut ketika itu dipimpin oleh orang Tobelo atau Galela.

Gerombolan-gerombolan perompak ini beroperasi dengan menggunakan perahu-perahu yang dapat mengangkut puluhan pendayung dan ratusan pembajak. Disamping itu, perahu-perahunya dipersenjatai dengan meriam dan senjata api. Bila kepergok kapal patroli Belanda, mereka melakukan perlawanan dan sering terjadi tembak-menembak dengan kapal-kapal Belanda itu.

Dalam melakukan aksinya, para bajak laut Tobelo-Galela tidak diskriminatif. Pada Nopember 1874, perahu Sultan Buton dirompak dan sultan sendiri ikut bertempur menghadapi para perompak Galela. Para bajak laut Tobelo merompak perahu Sultan Banggai dalam perjalanannya ke Ternate, ketika ia akan beraudiensi dengan Sultan Ternate. Semua isi perahu dikuras habis, termasuk sejumlah upeti yang akan dipersembahkan kepada Sultan Ternate. Pada tahun yang sama, perompak Tobelo berhasil menguras sebuah kapal niaga di Seram.

Tetapi, dalam perompakan di pantai timur Sulawesi, misalnya, aparat Kesultanan Ternate yang ditempatkan di Banggai juga turut terlibat. Utusan Ternate dan Sekretaris Kerajaan Banggai, keduanya orang Ternate, merupakan penadah hasil rompakan. Mereka juga menjadi “sole agent” pembelian budak hasil tangkapan para perompak Tobelo-Galela.

Berkenan dengan bajak laut Tobelo-Galela ini, A.B. Lapian antara lain mencatat:


  1. Bahwa angka-angka yang dilaporkan Pemerintah Belanda mungkin masih berada jauh di bawah angka sesungguhnya, baik dalam jumlah perahu maupun yang menjadi pelakunya, serta yang menjadi korban sebagai budak.
  2. Penamaan kampung Gamhoku dan Gamsungi, dengan demikian, muncul belakangan, pasca penembakan dan pembakaran yang dilakukan Belanda. Nama kampung Gamhoku sebelum kebakaran tidak begitu jelas.Daerah operasi para perompak itu sangat luas. Pada masa puncaknya, wilayah yang dijangkau para bajak laut sampai ke Laut Jawa. Bahkan, dengan bekerjasama dengan orang-orang Filipina Selatan, wilayah operasi mereka mungkin lebih luas lagi.
  3. Atas dasar hal-hal tersebut, orang-orang Tobelo-Galela yang menjadi bajak laut itu menunjukkan kemampuan mereka mengorganisasikan diri dalam suatu kekuatan yang tangguh menghadapi angkatan laut Belanda.
  4. Kemampuan managemen dan logistik serta kepemimpinan yang piawai dan pengetahuan navigasi serta pelayaran yang luas, dengan demikian, dimiliki para bajak laut Tobelo – Galela.

Untuk menanggulangi ulah bajak laut asal Tobelo-Galela, pada 1878 Said Muhammad, seorang keturunan Arab yang bermukim di Makian, mengorganisasi sebuah badan anti bajak laut yang beranggotakan 125 orang. Kelompok ini mengejar dan menangkap para bajak laut yang ditemukannya. Pada tahun pertama setelah badan ini berdiri, Said Muhammad dan anak buahnya berhasil menangkap 140 bajak laut Tobelo-Galela, yang langsung digiring ke Ternate.

Keberhasilan kelompok Said Muhammad turut berperanserta dalam mengurangi aksi-aksi perompakan, terutama di Kepulauan Bacan dan Sanana-Taliabu. Disamping itu, Sultan dan Residen Ternate mengeluarkan peraturan bersama yang mewajibkan semua perahu orang Galela dan Tobelo memiliki pas jalan apabila hendak berlayar. Perahu yang tidak memiliki pas jalan dianggap sebagai perahu bajak laut.

Pada akhir abad ke-19, gangguan bajak laut yang dilakukan orang Tobelo-Galela berkurang secara drastis, kemudian berakhir. Menurut van Fraassen, berakhirnya aksi perompakan ini secara alami dikarenakan mulai berkembangnya pelayaran kapal-kapal laut.


Gubernur Jenderal Turun-tangan Membasmi Pembajakan
Gubernur jenderal Hindia Belanda, Pahud, mengunjungi Ternate pada Januari tahun 1861. Setiba di Ternate, ia melakukan perundingan dengan Sultan Ternate dan Tidore. Agenda pokok yang dirundingkan adalah usaha-usaha preventif yang harus diambil untuk mencegah kawula kedua kesultanan itu melakukan perompakan, dan bantuan untuk mengatasinya, terutama untuk kasus-kasus pembajakan yang tejadi di Maluku.

Sementara itu, setelah mengetahui bahwa para bajak laut kebanyakan terdiri dari orang Tobelo dan Galela, Pemerintah Hindia Belanda mencoba mendekati Sultan Ternate untuk mengatasinya, karena Tobelo dan Galela berada dalam wilayah hukum Kesultanan Ternate.

Sultan Muhammad Arsyad berjanji akan mengatasinya, seperti telah disebutkan di atas. Bersama Residen Ternate, Sultan kemudian men geluarkan peraturan bahwa semua perahu orang Tobelo dan Galela yang hendak berlayar harus memiliki surat ijin berlayar yang dbubuhi cap Sultan dan Residen. Yang tidak memiliki surat ijin atau pas jalan akan diperlakukan sebagai bajak laut dan ditindak tegas.

Keluarnya peraturan tersebut cukup efektif dalam menurunkan angka perompakan yang melibatkan orang Tobelo-Galela. Pada tahun 1862, misalnya, hanya ditemukan satu perahu Tobelo yang yang melakukan perompakan di pulau Buru, dan beberapa tahun berikutnya tidak terdengar lagi adanya pembajakan yang dilakukan orang Tobelo dan Galela. Baru pada bulan Pebruari 1868, terjadi pembajakan yang dilakuan orang Tobelo terhadap perahu Binongko di Buano, Seram Barat. Dalam kejadian ini, isi perahu ludes dirampok dan awaknya dibunuh.

Pada 1861, Pemerintah Belanda menempatkan satu regu tentara, terdiri dari 6 prajurit pribumi dan seorang kopral Belanda, di Dodinga untuk mengawasi lalu lintas antara Bobaneigo dan Dodinga. Lalu lintas di daerah itu mulai ramai sebagai rute perdagangan darat antara Halmahera dan Ternate. Detasemen tentara tersebut menempati Benteng Dodinga, yang kini tidak ada bekasnya lagi karena digunakan untuk membangun jalan.

Barangkali atas desakan Belanda, Kesultanan Ternate dalam tahun ini melakukan pemecatan terhadap Sangaji Tobelo, Manis. Ia dipecat berkenan dengan maraknya aksi pembajakan di laut yang dilakukan orang Tobelo dan Galela. Demikian pula, Sangaji Galela dipecat dengan alasan yang sama.



 
 http://www.facebook.com/notes/adrian-noel/canga-ii/10151075235129502

Tidak ada komentar: