Kapitalisme
adalah satu kata yang kerap muncul dalam berbagai ruang. Namun, ternyata–ini
menyedihkan–bagi banyak orang, kapitalisme sekadar kata yang memiliki bunyi.
Maknanya jauh masih di awang sana.
Kapitalisme
Dalam berbagai paparan teoritis, kolonialisme, imperialisme, kapitalisme, dan globalisasi merupakan
fenomena-fenomena yang terkait. Imperialisme berarti politik untuk menguasai
(dengan paksaan) seluruh dunia untuk kepentingan diri sendiri yang dibentuk
sebagai imperium. Menguasai di sini tidak berarti merebut dengan kekuasaan
senjata, tetapi dapat dijalankan dengan kekuatan ekonomi, kultur, agama, dan
ideologi, asalkan dengan paksaan.
Dalam definisi lain, imperialisme
dikatakan sebagai upaya perluasan dengan paksaan wilayah satu negara dengan
melakukan penaklukan teritorial yang menjadi dasar pembentukan dominasi politik
dan ekonomi terhadap negara-negara lain yang bukan merupakan koloninya (http://en.wikipedia .org/wiki/ Imperialism). Dalam semua definisi imperialisme,
ada beberapa konsep yang selalu muncul: perluasan wilayah, penguasaan atau
dominasi dengan paksaan (koersi), dan dominasi politik, budaya, serta ekonomi.
V.I.
Lenin menyatakan bahwa bahwa kapitalisme mencakup kapitalisme monopoli sebagai
imperialisme untuk menemukan bisnis dan sumber daya baru (Lenin, 1916 dalam http://www.marxist.
org). Definisi
Lenin, “the highest stage of capitalism”
mengacu pada saat ketika monopoli kapital finansial mendominasi, memaksa negara
dan korporasi swasta bersaing untuk mengontrol sumber daya alam dan pasar.
Karl Marx juga mengidentifikasi
kolonialisme sebagai salah satu aspek prahistori moda produksi kapitalis.
Selain itu, teori imperialisme Marxist, dan teori dependensi yang terkait,
menekankan pada hubungan ekonomi antarnegara (dan di dalam negara-negara) ,
alih-alih hubungan formal politik dan militer. Dengan begitu, imperialisme
tidak selalu berupa satu hubungan kontrol yang formal satu negara atas negara
lain, melainkan eksploitasi ekonomi satu negara atas negara lain.
Dalam periodisasi yang lazim,
imperialisme dibagi menjadi dua periode. Yang pertama adalah imperialisme kuno
atau (ancient
imperialism), yang intinya adalah prinsip gold, gospel,
dan glory. Imperialisme ini
berlangsung sebelum revolusi industri dan dipelopori oleh Spanyol dan Portugis.
Periode kedua adalah imperialisme modern, yang intinya adalah kemajuan ekonomi.
Imperialisme modern muncul sesudah revolusi industri. Industri besar-besaran
membutuhkan banyak bahan mentah dan pasar yang luas. Para imperialis mencari
jajahan untuk dijadikan sumber bahan mentah dan pasar bagi hasil-hasil industri
kemudian juga sebagai tempat penanaman modal bagi surplus kapitalis (http://id.wikipedia.org/
wiki/Imperialism e).
Unsur selanjutnya adalah kolonialisme.
Kolonialisme merupakan pengembangan kekuasaan sebuah negara atas wilayah dan
manusia di luar batas negaranya, seringkali untuk mencari dominasi ekonomi dari
sumber daya, tenaga kerja, dan pasar wilayah tersebut (http://id.wikipedia .org/wiki/ Kolonialisme). Definisi
kolonialisme menyatakan bahwa kolonialisme merupakan satu praktik dominasi yang
melibatkan subjugasi satu orang terhadap yang lain.
Seperti imperialisme, kolonialisme juga
melibatkan kontrol politik dan ekonomi terhadap satu teritori yang dependen. Kolonialisme
sangat sulit dibedakan dari imperialisme. Satu-satunya perbedaan hanya dapat
dilihat dari etimologi kedua konsep tersebut. Istilah koloni berasal dari kata
Latin colonus, yang berarti
‘petani’. Ini mengingatkan kita pada praktik kolonialisme yang biasanya
melibatkan proses pemindahan populasi ke satu wilayah, di mana mereka akan
tinggal di tempat tersebut secara permanen dan tetap mempertahankan afiliasi
politik dengan negara asalnya. Di sisi lain, imperialisme berasal dari kata
Latin imperium, yang berarti
‘memerintah’. Dengan demikian, imperialisme lebih merupakan cara bagaimana satu
negara menjalankan kekuasaan atas negara lain, apakah melalui pembentukan
koloni, kemakmuran, atau mekanisme kontrol tak langsung (http://plato. stanford.
edi/entries/ colonialism).
Sementara itu, kapitalisme secara umum mengacu pada satu sistem ekonomi yang di dalamnya semua atau sebagian besar alat-alat produksi dimiliki secara privat dan dioperasikan demi keuntungan (http://en.wikipedi a.org/wiki/ Capitalism) . Selain itu, dalam sistem ini, investasi, distribusi, pendapatan, produksi, dan penentuan harga barang-barang dan jasa ditentukan melalui operasi ekonomi pasar. Kapitalisme biasanya melibatkan hak-hak individu dan sekelompok individu yang berperan sebagai “orang-orang legal” atau korporasi-korporasi yang memperdagangkan barang-barang kapital, buruh, dan uang.
Ada
beberapa pengertian lain soal kapitalisme. Yang pertama adalah bahwa kapitalisme
merupakan sebuah sistem yang mulai
terinstitusi di Eropa pada masa abad ke-16 hingga abad ke-19–yaitu di masa
perkembangan perbankan komersial Eropa, di mana sekelompok individu maupun
kelompok dapat bertindak sebagai suatu badan tertentu yang dapat memiliki
maupun melakukan perdagangan benda milik pribadi, terutama barang modal seperti
tanah dan tenaga manusia, pada sebuah pasar bebas di mana harga ditentukan oleh
permintaan dan penawaran, demi menghasilkan keuntungan di mana statusnya
dilindungi oleh negara melalui hak pemilikan serta tunduk kepada hukum negara
atau kepada pihak yang sudah terikat kontrak yang telah disusun secara jelas
kewajibannya baik eksplisit maupun implisit serta tidak semata-mata tergantung
pada kewajiban dan perlindungan yang diberikan oleh kepenguasaan feodal.
Yang kedua, kapitalisme adalah teori
yang saling bersaing yang berkembang pada abad ke-19 dalam konteks Revolusi
Industri, dan abad ke-20 dalam konteks Perang Dingin, yang berkeinginan untuk
membenarkan kepemilikan modal, untuk menjelaskan pengoperasian pasar semacam
itu, dan untuk membimbing penggunaan atau penghapusan peraturan pemerintah
mengenai hak milik dan pasaran. Ketiga, kapitalisme dianggap sebagai suatu
keyakinan mengenai keuntungan dari menjalankan hal-hal semacam itu. Keempat,
kapitalisme adalah suatu sistem ekonomi yang mengatur proses produksi dan
pendistribusian barang dan jasa dengan ciri-ciri: sebagian besar sarana
produksi dan distribusi dimiliki oleh individu; barang dan jasa diperdagangkan
di pasar bebas (free market)
yang bersifat kompetitif; dan modal kapital (baik uang maupun kekayaan lain)
diinvestasikan ke dalam berbagai usaha untuk menghasilkan laba (profit).
Nicholas
Garnham dalam Capitalism and Communication:
Global Culture and the Economics of Information mendefinisikan
kapitalisme sebagai “a mode of social
organization characterized by the domination of exchange relation”.
Lebih jauh lagi, Garnham menegaskan
bahwa hubungan partikular antara yang abstrak dan yang konkret, atau antara
gagasan-gagasan dan hal-hal, yang relevan bagi materialisme historis sebagai
satu moda analisis kapitalisme, berakar pada hubungan nyata antara yang abstrak
(relasi pertukaran) dan yang konkret (pengalaman hidup individu, tenaga kerja,
dsb.) (Garnham, 1990:22).
Ada beberapa elemen kunci yang kerap
disebut dalam pendefinisian kapitalisme: sistem, modal (kapital), kepemilikan
individu, proses produksi, kompetisi, pasar bebas, investasi, dan profit.
Kata-kata kunci ini menjadi faktor determinan dalam implikasi-implikasi praktis
operasi kapitalisme dan itu akan terlihat dalam sejarah panjang perkembangan
kapitalisme.
Pada umumnya para sejarawan ekonomi
sepakat bahwa kapitalisme sebagai moda pengorganisasian kehidupan sosial dan
ekonomi tidak hanya dimulai di satu tempat di dunia, dalam hal ini Eropa Barat
Laut, melainkan sejak tahap sangat awal, ketika masih dalam proses pembentukan
pada abad ke-16, yang melibatkan ekspansi ke luar yang secara bertahap
melintasi wilayah-wilayah yang kian luas di dunia dalam satu jaringan
pertukaran materi. Jaringan pertukaran materi ini seiring waktu berkembang
menjadi pasar dunia bagi barang-barang dan jasa, atau bagi pembagian kerja
internasional (division of labour).
Pada akhir abad ke-19, proyek satu ekonomi dunia yang kapitalistik telah
terbangun dalam arti bahwa lingkup hubungan-hubungan mencakup semua wilayah
geografis dunia (Hoogvelt, 1997: 14).
Abad ke-19 secara khusus mencuat sebagai waktu utama perkembangan pembagian kerja internasional. Diperkirakan bahwa dalam tiap dekade pada abad ke-19, perdagangan dunia tumbuh 11 kali lebih cepat dari produksi dunia, dan pada 1913, saat Perang Dunia I, 33 persen produksi dunia diperdagangkan di luar batas nasional negara-negara (Horvat, 1968:611 dalam Hoogvelt, 1997: 14).
Ini sejalan dengan yang diungkapkan
George Ritzer dalam Modern Sociological
Theory (1996). Ritzer menyatakan bahwa Revolusi Industri yang
terjadi hampir di seluruh masyarakat Barat, terutama pada abad ke-19 dan awal
abad ke-20–bersama berbagai perkembangan yang terkulminasi menjadi transformasi
dunia Barat dari masyarakat agriluktur menjadi satu sistem masyarakat
Industri–memunculkan satu sistem masyarakat di mana muncul birokrasi ekonomi
yang besar untuk melayani banyak kebutuhan industri dan sistem ekonomi kapitalis
yang baru muncul. Sasaran ideal dari sistem kapitalisme ini adalah pasar bebas,
di mana berbagai produk industri dapat ditransaksikan (Ritzer, 1996: 6-7).
Bagian dari dunia yang kini disebut sebagai Dunia Ketiga, yakni Amerika
Selatan, Afrika, Asia–terkecuali Jepang–, berpartisipasi secara penuh dalam
pasar internasional. Pada 1913, Dunia Ketiga menangkap 50 persen pasar dunia
(bandingkan dengan 22 persen saat ini) (Mun, 1928:5 dalam Hoogvelt, 1997:14).
Praktik ekonomi kapitalistik
terinstitusional di Eropa antara abad ke-16 dan ke-19 dan bentuk awal
kapitalisme perdagangan (merchant
capitalism) berkembang pada
Abad Pertengahan. Menurunnya feodalisme pada saat itu mengikis kekangan politis
dan religius tradisional dalam pertukaran-pertukar an kapitalis. Hal-hal yang
menyulitkan terjadinya akumulasi kapital–seperti tradisi dan kontrol,
aturan-aturan aristokrasi, yang mengambil alih kapital melalui denda secara
sewenang-wenang, dan pajak, pada abad ke-18–berhasil diatasi dan kapitalisme
menjadi sistem ekonomi yang dominan di United Kingdom dan pada abad ke-19
kapitalisme menjadi sistem ekonomi dominan di Eropa. Setelah menguasai Eropa,
kapitalisme secara bertahap menyebar dari Eropa, khususnya dari Britania,
melintasi batas-batas politik dan budaya. Pada abad ke-19 dan 20, kapitalisme
menyediakan perangkat-perangkat utama industrialisasi ke sebagian besar penjuru
dunia (http://en.wikipedia .org/wiki/ Capitalism).
Periode awal kapitalisme atau merchant capitalism atau merkantilisme
ini juga disebut sebagai kapitalisme perdagangan. Periode ini dikaitkan dengan
penemuan-penemuan oleh pedagang-pedagang lintasnegara– terutama dari Inggris
dan Negara-Negara Dataran Rendah–, kolonisasi Eropa terhadap Amerika, dan
pertumbuhan pesat perdagangan lintasnegara. Merkantilisme adalah sistem
perdagangan demi profit, meskipun sebagian besar komoditas masih diproduksi
oleh metode produksi nonkapitalis. Di bawah merkantilisme, para pedagang Eropa,
dengan dukungan kontrol, subsidi, dan monopoli negara, mendapatkan keuntungan
dari pembelian dan penjualan barang-barang. Francis Bacon menyatakan bahwa tujuan
merkantilisme adalah “the opening and well-balancing of trade; the
cherishing of manufacturers; the banishing of idleness; the repressing of waste
and excess by sumptuary laws; the improvement and husbanding of the soil; the
regulation of prices…” (Bacon dalam The Seventeenth Century, 1961,
dalam http://en.wikipedia
.org/wiki/ Capitalism).
Para perintis merkantilisme menekankan
pentingnya kekuatan negara dan penaklukan luar negeri sebagai kebijakan utama
dari kebijakan ekonomi. Jika sebuah negara tidak mempunya bahan mentahnya, maka
mereka mesti mendapatkan koloni yang akan menjadi sumber bahan mentah yang
dibutuhkan. Koloni juga akan berperan sebagai pasar barang jadi. Agar tidak
terjadi kompetisi, koloni harus dicegah untuk melaksanakan produksi dan dengan
pihak lain. Dalam situasi ini, terwujudlah pembagian kerja (division of labor) internasional.
Seperti dikatakan oleh Immanuel
Wellerstein, kita menyebut pembagian kerja internasional ini sebagai ekonomi
dunia kapitalis karena kriteria definitifnya adalah produksi barang dan jasa
untuk dijual di pasar yang tujuannya adalah untuk memaksimalkan profit (dalam
Wellerstein, 1979 dalam Hoogvelt, 1997: 14). Dalam pasar kapitalistik, kekuatan
permintaan dan penawaran yang tampaknya netrallah yang menentukan harga satu
produk dan dengan demikian memberi sinyal kepada produsen apakah mereka mesti
melakukan ekspansi produk, mengurangi output, atau mengubah teknik produksi,
mengurangi struktur biaya, dan sebagainya. Dengan kata lain, melalui medium
tangan tak terlihat (invisible hands)
Adam Smith dalam The Wealth of Nations
(1776)–yang telah menjadi menjadi “global
invisible hand” pada akhir abad ke-19–aktivitas manusia
dikoordinasikan secara rapi melintasi batas-batas nasional (Hoogvelt, 1997:
15).
Dari uraian-uraian di atas, terlihat
bahwa ada beberapa hal yang selalu muncul dalam pembahasan kritis soal
kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme. Beberapa karakter tersebut adalah
penguasaan (baik secara koersif atau nonkoersif), eksploitasi (baik terhadap
sumber daya alam dan manusia atau pada pemikiran), keuntungan atau profit (bagi
negara-negara pelaku, yang selalu berasal dari Eropa Barat dan Amerika Utara),
ekonomi (yang menjadi latar belakang pendorong), dan hubungan yang sarat dengan
ketidaksetaraan (satu atau sekelompok diuntungkan dan yang lain dirugikan).
Ketiga konsep tersebut dalam analisis yang fokus pada pendekatan histori maupun
analisis, kerap berkaitan satu sama lain. Itu bisa terlihat dari teori
periodisasi di bawah ini.
Sejumlah ilmuwan yang fokus pada sistem
dunia memunculkan proposisi soal periodisasi perkembangan kapitalisme, yang di
dalamnya karakteristik kapital inti dan hubungannya dengan wilayah periferal
sangat beragam. Perbedaan-perbedaan itu dilihat sebagai satu hasil dialektis
dari kontradiksi- kontradiksi yang ditimbulkan dalam tiap periode interaksi.
Para ilmuwan Neo-Marxist, seperti Samir Amin, Andre Gunder Frank, Ernest
Mandel, Albert Szymanski, dan Harry Magdoff, secara umum mengidentifikasi tahap prakompetitif merkantilis
(1500-1800), tahap kapitalis kompetitif
(1800-1880), tahap monopoli/imperialis
(1880-1960), dan beberapa ilmuwan bahkan mengidentifikasi satu tahap monopoli
imperialis/kapitali s lanjutan (yang dimulai oleh krisis pada
1968).
Dalam tiap periode, periferi
menjalankan fungsi tertentu dalam melayani kebutuhan-kebutuhan esensial
akumulasi di sentral. Namun, kebutuhan-kebutuhan esensial ini berubah akibat
hasil gemilang pelayanan tersebut. Dan karena interaksi dialektis antara core dan periferi memunculkan tingkat
perbedaan perkembangan yang kian meningkat di core dan periferi dalam tiap periode, core dan periferi terpisah kian jauh,
menuju satu titik krisis dalam hubungan tersebut, yang kemudian diatasi dengan
mengubah struktur formalnya dan metode akstraksi surplus dari core ke periferi (Hoogvelt, 1997:
16).
Sementara itu, Ankie Hoogvelt juga
memunculkan periodisasi ekspansi kapitalisme yang berbeda. Periodisasi yang
disebutnya sebagai periodisasi yang dikatakan merupakan periodisasi yang “mengabaikan
variasi geografis yang luas”, Hoogvelt membagi ekspansi kapitalisme menjadi
empat periode. Yang pertama adalah fase
merkantilisme, transfer surplus ekonomi melalui penjarahan dan
perampasan yang disamarkan menjadi perdagangan (1500-1800). Kedua, periode kolonial, transfer surplus
ekonomi melalui syarat-syarat pedagangan yang tak setara yang dilakukan melalui
pembagian kerja internasional yang dilakukan melalui kolonialisme (1800-1950). Yang
ketiga adalah periode neo-kolonial,
transfer surplus ekonomi melalui developmentalism
dan technological rents (1950-70). Yang terakhir adalah pascaimperialisme, transfer surplus
ekonomi dilakukan melalui peonage
(upaya membuat pengutang melakukan segala sesuatu bagi terutang) utang
(1970-saat ini).
Tahap pascaimperialisme, pada akhir
abad ke-20, ditandai dengan pertumbuhan eksplosif perusahaan-perusaha an
transnasional, yang memicu munculnya postimperialism
theory. Para teoris modern business enterprise, seperti
Charles A. Conant, Arthur T. Hadley, Jeremiah W. Jenks, Adolf A. Berle, Jr.,
Peter F. Drucker, dan Alfred D. Chandler, Jr. menyatakan bahwa dalam sejarah
ekonomi Barat, selama akhir abad ke-19 dan setelahnya, korporasi-korporasi
menjelma menjadi organisasi ekonomi yang paling efisien dalam lingkup transportasi,
komunikasi, produksi, distribusi, dan pertukaran yang semakin luas (Becker,
Sklar & Hakim, 1999: 11).
Sementara itu, masih dalam kaitannya
dengan periodisasi kapitalisme, Thomas L. McPhail dalam Global Communication: Theories, Stakeholders, and
Trends (2002) melihat periodisasi kapitalisme itu sebagai bagian
dari analisis makro sistem komunikasi massa, yang antara lain dilakukan oleh
Harold Innis, Marshal McLuhan, Armand Mattelart, Jacques Ellul, dan George
Barnett. Pemaparan periodisasi yang dilakukan McPhail disebut sebagai
pembabakan sejarah atau perkembangan historis tren “pengembangan imperium”,
yang pada dasarnya menggambarkan perkembangan dominasi, yang amat mirip dalam
perkembangan sejarah kapitalisme, kolonialisme, dan imperialisme, terutama dari
perspektif modernisasi (Daniel Larner, Marion Lavy, Neil Smelser, Samuel
Eisenstadt, dan Gabriel Almond), dependensi (Paul Baran, Martin Landsberg, dan
banyak peneliti lain), dan teori sistem dunia (Immanuel Wellerstein) .
McPhail menyatakan bahwa tren pertama
dalam pengembangan imperium adalah melalui penaklukan militer, yang ia sebut
sebagai kolonialisme militer.
Yang kedua adalah penaklukan oleh tentara salib Kristen, yang ia sebut sebagai kolonialisme Kristen. Yang berikutnya
adalah kolonialisme merkantilisme,
yang ia sebut bertahan hingga pertengahan abad ke-20. Satu elemen kunci yang
sangat penting dalam kolonialisme merkantilisme, menurut McPhail, adalah
penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg (ini juga disebutkan oleh Nick Stevenson,
1999:34-35 dan McChesney, Wood, dan Foster, 1998, 51-55) karena hal itu
memungkinkan terjadinya penyebaran pesan secara cepat dan lebih luas.
Berakhirnya PD I dan PD II menandai berakhirnya era kolonialisme militeristik
dan menempatkan negara-negara industri sebagai pemimpin jalur vital perdagangan
dan praktik komersial global. Ini semua membawa dunia pada periode keempat
perkembangan imperium, yakni kolonialisme
elektronik. Periode ini diwarnai oleh ketergantungan less developed countries (LDC’s) pada
Barat, yang terjadi karena ada ketergantungan perangkat keras komunikasi yang
vital dan perangkat lunak yang cuma diproduksi di barat. Selain itu, LDC’s juga
amat bergantung pada Barat dalam hal kebutuhan para insinyur, teknisi, yang
protokol-protokol yang berkaitan dengan informasi, yang semuanya membentuk
sekumpulan norma-norma, niai, nilai, dan ekspektasi asing, yang dalam berbagai
tingkat berbeda mengubah budaya, kebiasaan, nilai-nilai dan proses sosialisasi
domestik. Semua pemaran ini disebut sebagai electronic
colonialism theory (ECT)[1].
Fredric Jameson dan David Harvey, dua
ilmuwan Marxis, mengatakan bahwa modernitas dan pascamodernitas merepresentasikan
dua fase kapitalisme yang berbeda. Jameson menyatakan bahwa pascamodernitas
berhubungan dengan late capitalism
atau satu fase kapitalisme multinasional, “informational”,
dan “consumerist”. Sementara
itu, Harvey mendeskripsikannya sebagai transisi dari Fordism ke akumulasi
fleksibel. Gagasan yang sama juga muncul dalam teori-teori “disorganized capitalism”. Pascamodernitas
dengan demikian berhubungan dengan satu fase kapitalisme di mana produksi massa
barang-barang standar dan bentuk-bentuk pekerjaan yang berkaitan dengan hal
itu, telah digantikan oleh fleksibilitas: bentuk baru produksi.
Ellen
Meiksin Wood dalam “Modernity, Postmodernity, or Capitalism?” dalam Capitalism and the Information Age: The Political
Economy of the Global Communication Revolution (McChesney, Wood,
dan Foster, 1998), menyatakan bahwa periodisasi melibatkan lebih dari sekadar
menelusuri proses perubahan. Memproposisikan
satu pergeseran sama artinya dengan menentukan mana yang esensial dalam
mendefinisikan satu bentuk sosial seperti kapitalisme. Pergeseran epokal
berkaitan dengan transformasi- transformasi dasar dalam beberapa elemen
konstitutif dasar satu sistem. Dengan kata lain, periodisasi kapitalisme
bergantung pada bagaimana kita mendifinisikan sistem ini sejak awal. Dalam hal
ini kita harus memahami bagaimana konsep-konsep modernitas dan pascamodernitas
menjelaskan bagaimana orang menggunakan konsep-konsep itu untuk memahami
kapitalisme. Dalam kesimpulannya, Wood menyatakan bahwa modernitas telah mati,
digantikan oleh kapitalisme.
Apa pun fokus dan penggunaan
istilahnya, baik imperialisme, kolonialisme, maupun kapitalisme, ada beberapa
kesamaan dan warna serta jenis penaklukan dalam periodisasi- periodisasi yang
digambarkan di atas. Secara umum, semua periodisasi dimulai dengan penaklukan
militer yang dilanjutkan dengan perdagangan sekaligus ekspansi geografis. Pada
akhirnya, periodisasi ditutup dengan hilangnya–atau minimnya–peran kekuatan
koersif militer dalam penaklukan dan dominasi.
Era terakhir dalam tiap periodisasi
selalu diwarnai oleh semakin dominannya unsur-unsur komunikasi dan media
komunikasi dalam moda penaklukan, penguasaan, dan dominasi yang lebih halus,
yang melibatkan nilai-nilai, norma-norma, dan hal-hal yang jauh dari kesan
koersif. Bahkan McPhail menyatakan bahwa periode terakhir, kolonialisme
elektronik sebagai satu periode di mana para kolonialis “seeks
mind”, sedangkan kolonialisme masih “sought cheap labor”. Secara implisit, McPhail menyatakan ada
pergeseran fokus dominasi: dari sesuatu yang bersifat kasar, jelas terlihat,
dan fisik menjadi sesuatu yang halus, laten, dan psikis serta mental. Dominasi
pada era ini amat sejalan dengan konsep hegemoni Antonio Gramsci[2].
[1] Electronic colonialism merupakan babak selanjutnya
dalam pembabakan kolonialisme. Lihat Grafis 1.
[2] Lihat juga McChesney, Wood, dan Foster,
1998: 51-65 dan Stevenson, 1999: 93-109)Herman Adriansyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar