Selasa, 24 Februari 2009

Analisis Perbedaan UU No 10 Tahun 1961 dengan UU No 24 Tahun 1997

  1. Pendahuluan

Tanah adalah obyek yang fital dalam kehidupan dan dapat menimbulkan permasalahan dalam masyarakat maupun individu-individu, sehingga untuk menghindari konflik atau permasalahan maka dituangkan dalam peraturan perundang-undangan dan lebih khusus mengenai pendaftaran tanah untuk dapat memperoleh hak atas tanah. Mengenai pendaftaran tanah diatur dalam UU No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Pasal 19.

Pasal 19 UUPA menyebutkan :

  1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

  2. Pendaftaran tanah dalam ayat (1) meliputi :

  • Pengukuran, perpetaan dan pembukuan hak

  • Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak tersebut.

  • Pemberian surat-surat tanda bukti yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

  1. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraan menurut pertimbangan Menteri Agraria.

  2. Dalam peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.

Dan di dalam Pasal 23 UUPA menyebutkan bahwa “Hak Milik demikian juga setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain, harus didaftarkan menurut ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19”. Pasal 32 UUPA menyebutkan “Hak Guna Usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftar menurut ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19”. Pasal 38 menyebutkan “Hak Guna Bangunan termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftar menurut ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19”.

Akan tetapi dalam Pasal-Pasal tersebut diatas terdapat perbedaan. Perbedaannya adalah bahwa Pasal 19 UUPA merupakan perintah undang-undang kepada Pemerintah yang dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mendaftar semua tanah-tanah yang ada di wilayah Republik Indonesia, dengan tujuan untuk menjamin kepastian hukum, atas tanah yang ada. Sedangkan pasal 23, 32 dan 38 UUPA adalah perintah undang-undang kepada setiap pemegang hak milik, pemegang hak guna usaha dan kepada setiap pemegang hak guna bangunan untuk mendaftarkan tanah. Tujuannya adalah untuk mendapatkan kepastian hukum atas tanah yang dimiliki.

Kemudian sesuai dengan perintah Pasal 19 UUPA, perlu adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pendaftaran tanah ini. Atas dasar perintah itu, maka pemerintah menerbitkan PP No 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah. Namun dalam kenyataannya pelaksanaan pendaftaran tanah yang diselenggaran menurut ketentuan PP No 10 Tahun 1961, tidak memuaskan, sehingga akhirnya pemerintah mengganti PP No 10 Tahun 1961 dengan PP No 24 tahun 1997.

Dasar pergantian PP No 10 Tahun 1961 ini dapat dilihat dalam penjelasan PP No 24 Tahun 1997 pada bagian umumnya menyebutkan bahwa : “Dalam kenyataan pendaftaran tanah yang diselenggarakan berdasarkan Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1961 tersebut selama lebih dari 35 tahun, belum cukup memberikan hasil yang memuaskan. Dari sekitar 55 juta bidang tanah hak yang memenuhi syarat untuk didaftar, baru lebih kurang 16,3 juta bidang yang sudah didaftar. Dalam pada itu melalui pewarisan, pemisahan dan pemberian-pemberian hak baru, jumlah tanah yang memenuhi syarat untuk didaftar selama pembangunan jangka panjang kedua diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 75 juta. Hal-hal yang merupakan kendala dalam pelaksanaan pendaftaran tanah, disamping kekurangan anggaran, alat dan tenaga, adalah keadaan objektif tanah-tanahnya sendiri yang selain jumlahnya besar dan tersebar diwilayah yang luas, sebagian besar penguasaannya tidak didukung oleh alat-alat pembuktian yang mudah diperoleh dan dapat dipercaya kebenarannya. Selain itu ketentuan hukum untuk dasar pelaksanaanya dirasakan belum cukup memberikan kemungkinan untuk terlaksananya pendaftaran dalam waktu yang singkat dengan hasil yang lebih memuaskan. Sehubungan dengan itu dalam rangka peningkatan dukungan yang lebih baik pada pembangunan nasional dengan memberikan kepastian hukum di bidang pertanahan, dipandang perlu untuk mengadakan penyempurnaan pada ketentuan yang mengatur pendaftaran tanah, yang pada kenyataannya tersebar pada banyak peraturan perundang-undangan”.


  1. Unsur-Unsur yang dipertahankan atau Persamaan.

Walaupun PP No 10 Tahun 1961 telah diganti dengan PP No 24 Tahun 1997, namun PP No 24 tahun 1997 tetap mempertahankan tujuan dan sistem yang digunakan dalam PP No 10 Tahun 1961. Pasal 3 dan 4 PP No 24 tahun 1997 menyebutkan tentang tujuan dari Pendaftaran tanah yaitu :

  1. Untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Untuk itu kepada pemegang haknya diberikan sertipikat sebagai surat tanda buktinya.

  2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh dari data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun yang terdaftar.

  3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi dibidang pertanahan secara baik merupakan dasar perwujudan tertib administrasi dibidang pertanahan. Untuk mencapai tertib administrasi tersebut setiap tanah dan satuan rumah susun termasuk peralihan, pembebanan, dan hapusnya wajib didaftar.

  4. Di samping itu pendaftaran tanah juga dimaksudkan untuk terciptanya suatu informasi mengenai bidang–bidang tanah sehingga pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah dengan mudah dapat memperoleh data yagn diperlukan dalam mengadakan perbuatan–perbuatan hukum mengenai bidang–bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah didaftar. Terselenggaranya Pendaftaran tanah secara baik merupakan dasar dari perwujudan tertib administrasi dibidang peertanahan. Tertib administrasi maksudnya bahwa seluruh berkas – berkas dari Kantor Pertanahan tersebut harus sudah tersimpan dengan baik dan teratur sehingga mudah mencari data yang diperlukan, terbukti dari adanya sejumlah buku-buku yang tersedia dalam menunjang Pendaftaran tanah tersebut.

Apa yang diatur dalam pasal 3 dan 4 PP No 24 tahun 1997 dan merupakan penyempurnaan karena dalam PP No 10 tahun 1961 tidak dicantumkan sebab pada hakikatnya sudah ditetapkan dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) pasal 19.

Dan sistem publikasi yang digunakan adalah sistem negatif, tetapi mengandung unsur positif, karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat serta sistem pendaftaran yang digunakan adalah sistem pendaftaran hak (registration of titles) dan bukan sistem pendaftaran akta hal itu tampak dengan adanya buku tanah sebagai dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang dihimpun disajikan serta diterbitkannya sertifikat sebagai surat tanda bukti hak yang didaftar (diatur dalam PP No 10 tahun 1961 dan PP No 24 Tahun 1997 pasal 29).

Demikian juga tentang pelaksanaan pendaftaran tanah tetap dilaksanakan. Pelaksanaan Pendaftaran tanah meliputi kegiatan untuk pertama kali (initial registeration) dan pemeliharaan data Pendaftaran tanah (maintenance)di atur dalam pasal 11 PP No 24 Tahun 1997.

Pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan Pendaftaran yang dilakukan terhadap objek Pendaftaran tanah yang belum didaftar berdasarkan PP No 10 tahun 1961 dan PP No 24 Tahun 1997. Dalam peraturan ini Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui Pendaftaran tanah secara sistematik dan sporadik dalam Pasal 13.

  1. Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan Pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua objek Pendaftaran tanah yang belum didaftar di dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/keseluruhan. Pendaftaran tanah secara sistematik diselenggarakan atas prakarsa Pemerintah

  2. Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan Pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai suatu atau beberapa objek Pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/ kelurahan secara individual atau massal. Pendaftaran tanah secara sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan yaitu pihak yang berhak atas objek Pendaftaran tanah yang bersangkutan atau kuasanya.

Sehubungan dengan kegiatan pendaftaran tanah dan pemberian sertifikat tanah oleh Pemerintah, maka dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 16 Tahun 1975 (PMDN No. 16/1975), tentang kegiatan pendaftaran tanah dan pemberian sertifikat dalam pengukuran desa demi desa menuju desa lengkap sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 yang telah diganti dengan PP No. 24 Tahun 1997. Pelaksanaan lebih lanjut dari Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 16 tahun 1975 dan PP No 10 Tahun 1961, maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/kepala Badan Pertahanan Nasional No. 3 Tahun 1995 yaitu untuk melaksanakan pendaftaran secara sistematis baik tanah yang bersertifikat maupun yang belum bersertifikat.

Adapun rangkaian kegiatan Pendaftaran tanah ini diatur dalam Pasal 12 PP No 24 tahun 1997, yakni :

  1. kegiatan Pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi :

  1. pengumpulan dan pengolahan data fisik.

  2. pembuktian hak dan pembukuannya.

  3. penerbitan sertipikat.

  4. penyajian data fisik dan data yuridis.

  5. penyimpanan daftar umum data dokumen

  1. kegiatan pemeliharaan data Pendaftaran meliputi :

  1. Pendaftaran, peraturan dan pembebanan hak.

  2. Pendaftaran perubahan data Pendaftaran tanah lainnya.

Dalam Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah, dibentuk tim Ajudikasi dalam rangka rekonstruksi sistem administrasi pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sistematik berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional, dan yang menanda tangani adalah sekretaris utama. Dalam Pasal 8 ayat 1 PP No 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah menyatakan Panitia Ajudikasi dalam melaksanakan pendaftaran secara sistematik dibentuk oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Selanjutnya dalam Pasal 48 ayat 1, menyatakan Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik yang dilaksanakan dalam program Pemerintah dan Satgas yang membantunya dibentuk oleh Menteri untuk setiap gampong/kelurahan yang sudah ditetapkan sebagai lokasi pendaftaran tanah secara sistematik. Seperti hal di dalam PP No 10 tahun 1961 akan tetapi tidak disebutkan nama hanya struktur, tugas dan kewenangannya sama.

Peraturan Pemerintah khususnya pasal 19 PP No.10 tahun 1961 bahwa "setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akte yang diibuat oleh dan dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria. Secara lebih rinci, wewenang PPAT (pejabat pembuat akta tanah) itu diatur dalam pasal 2 PP No.37 Tahun 1998 tentang Jabatan PPAT sebagai pelaksana dari PP No 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah. PPAT mempunyai wewenang melakukan perbuatan hukum :

    1. jual beli.

    2. tukar menukar.

    3. Hibah.

    4. pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng).

    5. pembagian hak bersama.

    6. pemberian HGB/hak pakai atas tanah hak milik.

    7. pemberian hak tanggungan.

    8. pemberian kuasa hak tanggungan.



  1. Perbedaan atau Penyempurnaan Pendaftaran Tanah.

Penyempurnaan yang terdapat dalam PP No 24 Tahun 1997, meliputi penegasan berbagai hal yang belum jelas dalam PP No 10 tahun 1961, antara lain :

Tentang Pengertian Pendaftaran Tanah, pada Pasal 1 ayat 1 PP No 24 tahun 1997 memberikan definisi tentang Pendaftaran tanah sebagai berikut “serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang–bidang tanah dan satuan–satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang–bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak–hak tertentu yang memberinya”. Dan kemudian dalam Pasal 13 ayat 1 PP No 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa “Pendaftaran Tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui Pendaftaran Tanah secara sistematis dan Pendaftaran Tanah secara sporadik”.

Dalam Pasal 2 PP No 24 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa “Pendaftaran Tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman, terjangkau, mutahkir dan terbuka”.

Asas sederhana dalam Pendaftaran Tanah adalah agar ketentuan-ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama kepada pemegang hak atas tanah.

Asas aman dalam Pendaftaran Tanah ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa Pendaftaran Tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai dengan tujuan Pendaftaran Tanah itu sendiri.

Asas terjangkau dimaksud adalah keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan Pendaftaran Tanah harus bisa dijangkau oleh pihak yang memerlukan, dan hal ini telah ditegaskan sebelumnya pada Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 yang mengatakan bahwa : “Dalam Peraturan Pemerintah Diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 diatas dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut”.

Asas mutakhir dimaksud, yakni dalam hal kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan keseimbangan dalam pemeliharaan datanya. Untuk itu perlu diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi dikemudian hari.

Asas mutakhir ini menurut dipeliharanya data Pendaftaran Tanah secara terus menerus dan berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan yang nyata di lapangan, untuk itu sangat dianjurkan agar dalam hal pelaksanaan prosedur perolehan sertipikat hak atas tanah pada kegiatan pengumpulan data fisik dan data yuridis memanfaatkan teknologi modern, sehingga proses pengumpulan data fisik dan data yuridis dalam kegiatan Pendaftaran Tanah lebih efektif dan efisien untuk memberi pelayanan perlindungan hukum terhadap pemegang sertifikat hak atas tanah.

Asas terbuka ini dimaksudkan agar setiap individu khususnya bagi pemegang sertifikat hak atas tanah berhak mendapatkan informasi ataupun keterangan mengenai data fisik dan data yuridis hak atas tanahnya setiap saat di Kantor Pertanahan sesuai dengan satuan wilayah obyek tanah tersebut berada.

Sesuai dengan definisi Pendaftaran Tanah pada Pasal 1 ayat 1 PP No 24 Tahun 1997 tersebut, maka menurut pendapat A.P. Parlindungan bahwa tugas dari Pendaftaran Tanah tersebut adalah Pendaftaran yang berkesinambungan, dalam arti bahwa setiap data fisik dan data yuridis tetap harus up to date dengan pencatatan setiap perubahan yang terjadi.

Perbedaan pendaftaran tanah untuk tanah pertanian dan non-pertanian tidak lagi di cantumkan dalam PP No 24 Tahun 1997, masih mencampur-adukkan perbuatan hukum peralihan hak atas tanah pertanian dan non-pertanian. Hal ini logis karena sistem pendaftaran tanah yang berlaku adalah pendaftaran hak, hanya pendaftaran subyek dan obyek haknya, belum merupakan pendaftaran tanah yang sebenarnya, belum mengkaitkannya dengan sistem pemanfaatan dan pengusahaan ruang secara keseluruhan (pendaftaran tanah yang komprehensif).

Objek Pendaftaran tanah ini telah dituangkan secara eksplisit dalam PP No 24 Tahun 1997 Pada Pasal 9, yang menyatakan bahwa :

    1. Objek Pendaftaran Tanah meliputi :

  1. bidang–bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai.

  2. tanah hak pengelolaan.

  3. tanah wakaf.

  4. hak milik atas satuan rumah susun.

  5. hak tanggungan.

  6. tanah Negara.

    1. Dalam hal tanah negara sebagai objek Pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf F, Pendaftarannya dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah negara dalam daftar tanah. Khusus mengenai tanah negara yang juga didaftar, maka Pendaftarannya dilakukan dengan membukukan bidang tanah yang merupakan tanah negara dalam daftar, namun dalam hal ini tanah tersebut tidak diterbitkan sertifikat hak atas tanahnya.

Dan dalam objek Pendaftaran Tanah tidak menyinggung tanah pertanian yang sifatnya sementara, seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan Hak Sewa tanah pertanian. Sementara, hak-hak "sementara" ini masih berperan penting dalam kehidupan rakyat tani, yang masih banyak perjanjian diadakan dalam bentuk tidak tertulis berdasarkan kepercayaan. Padahal data dan informasi tersebut seharusnya sangat penting sebagai dasar untuk pengambilan strategi kebijakan pertanian dan kebijakan lainnya, misal kebijakan lapangan kerja, untuk kesejahteraan rakyat.

Hak Gadai tanah pertanian merupakan obyek pendaftaran tanah menurut PP No 10 Tahun 1961, namun tidak lagi menurut PP No 24 Tahun 1997. Tiadanya sistem khusus pendaftaran tanah pertanian ini, menjadikan kebijakan Land Reform sebagai sesuatu yang "kosong", tidak konsisten, tidak rasional, jauh dari konstruktif. Bagaimana dapat mengontrol berlakunya asas-asas UUPA yang harus dihormati, seperti asas tanah pertanian harus dikerjakan secara aktif, asas larangan pemerasan terhadap pihak yang lemah, dan sebagainya, jika data dan informasi subyek dan obyeknya saja tidak jelas. Seperti pada sistem gadai tanah pertanian yang sudah berlangsung 7 tahun atau lebih harus dikembalikan kepada yang empunya, tanpa kewajiban untuk membayar uang tebusan, karena pemegang gadai tanah pertanian dianggap sudah cukup menikmati manfaat dari tanah gadai, jauh melebihi bunga yang layak dari uang yang diterima oleh yang empunya tanah (pasal 7 UU No. 56 /Perpu/ 1960, dikenal dengan Undang Undang Land Reform/UULR); Apakah ditaati aturan mengenai perjanjian bagi hasil, yang dilaksanakan secara tertulis dihadapan Kepala dari desa atau daerah yang setingkat dengan itu, tempat letak tanah yang bersangkutan (Kepala Desa) dengan dipersaksikan oleh dua orang, masing-masing dari pihak penggarap dan pemilik tanah, kemudian perjanjian tersebut disyahkan oleh camat/ kepala Kecamatan yang bersangkutan atau pejabat yang setingkat dengan itu. Kepala desa mempunyai kewajiban mengumumkan dalam kerapatan desa mengenai semua perjanjian usaha bagi hasil setelah kerapatan terakhir.

Dalam hal tanah Negara dalam PP No 24 tahun 1997 termasuk obyek yang diatur sedangkan dalam PP No.10 tahun 1961 pasal 14, termasuk obyek tapi tidak diatur secara rinci dan bisa dibuatkan sertifikat. Untuk pendaftaran tanah hak guna usaha, hak pengelolaan, hak tanggungan dan tanah Negara satuan wilayah tata usaha pendaftarannya adalah Kabupaten/Kotamadya dalam pasal 10 PP No.24 tahun 1997.

Peralihan hak milik atas tanah diatur dalam Pasal 20 ayat 2 UUPA yaitu hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. K. Wantjik Saleh memberikan pengertian tentang kata “beralih” adalah suatu peralihan hak yang dikarenakan pemilik hak telah meninggal dunia maka haknya dengan sendiri menjadi beralih kepada ahli warisnya. Dalam pasal 20 menguraikan 2 (dua) bentuk peralihan hak milik atas tanah, yaitu :

    1. Beralih artinya berpindahnya hak milik atas tanah dari pemilik kepada pihak lain dikarenakan suatu peristiwa hukum. Dengan meninggalnya pemilik tanah, maka hak miliknya secara hukum berpindah kepada ahli warisnya sepanjang ahli waris memenuhi syarat subjek hak milik. A. Pitlo merumuskan bahwa warisan adalah kekayaan yang ditinggalkan oleh simati. Peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris itu didasarkan pada aturan hukum yang berlaku. Beralihnya hak milik atas tanah yang telah bersertifikat harus didaftarkan kekantor pertanahan setempat dengan melampirkan surat keterangan kematian pemilik tanah yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, surat keterangan ahli waris yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, bukti identitas para ahli waris, sertifikat tanah yang pertama atau terdahulu. Maksud pendaftaran peralihan hak milik atas tanah ini adalah untuk dicatat dalam buku tanah dan dilakukan perubahan nama pemegang hak dari pemilik tanah kepada para ahli warisnya. Prosedural pendaftaran peralihan hak karena beralihnya hak milik atas tanah diatur dalam Pasal 24 PP No. 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah jo. Pasal 111 dan Pasal 112 Permen Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 tahun 1997 tentang ketentuan pelaksana PP No. 24 tahun 1997.

    2. Dialihkan atau Pemindahan Hak Dialihkan artinya berpindahnya hak milik atas tanah dari pemilik kepada orang lain dikarenakan adanya suatu perbuatan hukum. Misalnya perbuatan hukum yaitu: jual beli, tukar menukar, hibah, penyertaan atau pemasukan dalam bentuk modal, dan lelang. Berpindahnya hak milik atas tanah karena dialihkan atau pemindahan hak harus dibuktikan dengan akta tanah yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah atau disebut PPAT, kecuali tehadap objek itu dilakukan lelang yang dibuktikan dengan berita acara lelang dibuat oleh Pejabat dari kantor lelang. Perpindahan hak milik atas tanah ini harus didaftarkan kekantor pertanahan setempat dimana objek berada, untuk dicatat dalam buku tanah dan dilakukan perubahan nama sertifikat dari pemilik. Prosedur pemindahan hak milik atas tanah karena jual beli, tukar menukar, hibah, penyertaan atau pemasukan modal diatur dalam Pasal 37 sampai dengan Pasal 40 PP No. 24 tahun 1997 jo. Pasal 97 sampai dengan Pasal 106 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 tahun 1997. Prosedur pemindahan hak atas tanah karena lelang diatur dalam Pasal 41 PP No. 24 tahun 1997 jo. Pasal 107 sampai dengan Pasal 110 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 tahun 1997.

Peralihan Hak Karena Pewarisan dalam PP No.10 tahun 1961 ditetapkan jangka waktu dilakukan pendaftaran dan ada biaya dalam pendaftaran peralihan hak, sedangkan dalam PP No.24 tahun 1997 ada pengecualian terdapat dalam pasal 61 ayat 3, yang membebaskan pendaftaran peralihan hak dari pembayaran biaya pendaftaran bilamana dilakukan dalam waktu 6 bulan sejak tanggal meninggalnya pewaris.

Dalam PP No.24 tahun 1997, surat ukur adalah dokumen yang memuat data fisik suatu bidang tanah dalam bentuk peta dan uraian yang diambil datanya dari peta pendaftaran atau surat ukur merupakan dokumen yang mandiri di samping peta pendaftaran, sedangkan dalam PP No.10 tahun 1961 surat ukur merupakan bagian dari sertifikat dan merupakan petikan dari peta pendaftaran. Menurut PP No.24 tahun 1997, sertifikat hak atas tanah, hak pengelolaan, dan wakaf bisa berupa satu lembar dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang diperlukan, sedangkan dalam PP No.10 tahun 1961 pasal 13, sertifikat terdiri atas salinan buku tanah yang memuat data yuridis dan surat ukur yang memuat data fisik hak yang bersangkutan yang dijilid menjadi satu dalam suatu sampul dokumen. Dalam PP No.10 tahun 1961 pasal 17, mengenal sertifikat sementara dan mempunyai kekuatan sebagai sertifikat, sedangkan dalam PP No.24 tahun 1997 tidak mengenal sertifikat sementara. Dalam sertifikat pengganti/baru yang membedakannya hanya mengenai prosedur, dalam PP No.24 tahun 1997 prosedurnya lebih sederhana,misalnya mengenai pengumuman yang hanya cukup sekali sedangkan dalam PP No.10 tahun 1961 sebanyak 2 kali.

Guna menjamin kepastian hukum di bidang penguasaan dan pemilikan tanah faktor kepastian letak dan batas setiap bidang tanah tidak dapat diabaikan. Karena itu masalah pengukuran dan pemetaan serta penyediaan peta berskala besar untuk keperluan penyelenggaraan pendaftaran tanah merupakan hal yang tidak boleh diabaikan dan merupakan bagian yang penting yang perlu mendapat perhatian yang serius dan seksama, bukan hanya dalam rangka pengumpulan data penguasaan tanah tetapi juga dalam penyajian data penguasaan/pemilikan tanah dan penyimpanan data tersebut. Perkembangan teknologi pengukuran dan pemetaan, seperti cara penentuan titik melalui Global Positioning System (GPS) dan komputerisasi pengolahan, penyajian dan penyimpanan data, pelaksanaan pengukuran dan pemetaan dapat dipakai di dalam pendaftaran tanah. Untuk mempercepat pengukuran dan pemetaan bidang tanah yang harus didaftar penggunaan teknologi modern, seperti Global Positioning System (GPS) dan komputerisasi pengolahan dan penyimpanan data perlu dimungkinkan yang pengaturannya diserahkan kepada Menteri. Dalam hal ini PP No.24 tahun 1997 sudah menggunakan teknologi atau media elektronik(modern) dan mempunyai kekuatan pembuktian, sedangkan dalam PP No.10 tahun 1961 masih bersifat konvensional.

Pasal 52 UUPA Nomor 5 Tahun 1960 telah mengamanatkan penegakan hukum dan bidang pendaftaran tanah dapat dikenakan sanksi pidana atas perbuatan-perbuatan tertentu. Peraturan pelaksanaan dari ketentuan ini dirumuskan dalam PP No 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran tanah. PP ini menggariskan kebijakan kriminalisasi yang dirumuskan dalam Pasal 42 sampai Pasal 44. Kebijakan kriminalisasi dalam PP No.10 Tahun 1961 dengan tegas menentukan bahwa sanksi pidana terhadap pelanggaran batas-batas dari suatu bidang tanah dinyatakan dengan tanda-tanda batas menurut ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Agraria. Pelanggaran atas pembuatan akta tentang memindahkan hak atas tanah, memberikan suatu hak baru atas tanah, atau hak tanggungan tanpa ditunjuk oleh Menteri Agraria dipidana dengan hukum kurungan selama-lamanya tiga (3) bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya sepuluh ribu rupiah. Disamping itu juga dilarang Kepala desa menguatkan perjanjian mengenai tanah yang sudah dibukukan jika :

  1. permintaan itu tidak disertai dengan sertifikat tanah yang bersangkutan.

  2. tanah yang menjadi objek perjanjian ternyata masih dalam perselisihan.

  3. tidak disertai surat-suart tanda pembayaran biaya pendaftarannya.

Pelanggaran terhadap hal tersebut dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga (3) bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya sepuluh ribu rupiah (Rp10.000).

Kebijakan kriminalisasi dalam PP No 10 Tahun 1961 ini ternyata tidak lagi dijumpai dalam PP No 24 Tahun 1997. Hal ini berarti kebijakan kriminalisasi dalam pendaftaran tanah telah berubah menjadi dekriminalisasi atas perbuatan-perbuatan tertentu yang telah dirumuskan sebagai tindak pidana di bidang pendaftaran tanah, tetapi telah berubah menjadi pelanggaran yang bersifat administratif. Meskipun PP No. 24 Tahun 1997 tidak mengatur tentang sanksi pidana terhadap pelanggaran yang terjadi dalam pendaftaran tanah dan penerbitan sertifikat, tetapi tidak berarti kesalahan dalam pendaftaran tanah yang menyangkut adanya unsur-unsur kehilapan/kelalaian, penipuan dan paksaan dalam pembuatan data fisik dan data yuridis tidak bisa dijangkau oleh KUHP.




  1. Penutup

Pendaftaran Tanah diatur dalam Pasal 19 UUPA yang kemudian diatur dalam PP No 10 Tahun 1961 dan dirubah oleh PP No 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran Tanah yang merupakan aturan pelaksana dari UUPA, bertujuan untuk memberikan kepastian hukum. Untuk lebih memberikan kepastian hukum maka diadakan perubahan. Dalam perubahan tersebut ada hal-hal yang tetap dipertahankan atau persamaan dan perbedaan atau disempurnakan.

Dalam perubahan tersebut memang bagus sebab ada penyempurnaan, akan tetapi tidak sesempurna yang diharapkan karena seharusnya perubahan itu untuk pasal-pasal yang tidak relevan perlu penyempurnaan dan jika ada belum diatur maka ditambah, yang terjadi adalah pasal-pasal yang sudah sesuai dengan kebutuhan dan untuk memberi efek jerah malah tidak di cantumkan lagi dan tidak ditambahkan dalam PP No 24 Tahun 1997, yaitu :

  1. Dalam pelaksanaannya tidak terdapat sanksi yang konkrit dan hanya bersifat administratif.

  2. Kebijakan mengenai pendaftaran tanah sudah tidak sesuai dengan situasi yang sekarang.

  3. Landreform sudah tidak seperti yang diharapkan.

  4. Lemahnya komitmen di bidang politik pertanahan.

  5. Data dan info masih sangat minim.

Untuk itu perlu adanya perubahan dan penyempurnaan lagi untuk lebih memberikan kepastian hukum tapi tetap memperhatikan kebutuhan dalam masyarakat.














Daftar Pustaka


Effendi Perangin, 1986. Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi

Hukum. CV. Rajawali. Jakarta

Harsono, Boedi, 1997, Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaannya Hukum Agraria

Indonesia, Jilid 1, Djambatan, Jakarta.

ANALISIS YURIDIS HAK PEMILIKAN ATAS TANAH (Studi Kasus Di Gampong Alue

Naga Kecamatan Syiah Kuala – Kota Banda Aceh) diterbitkan oleh Divisi Informasi dan Dokumentasi – The Aceh Institute. www.acehinstitute.org.

Syafruddin Kalo, KEBIJAKAN KRIMINALISASI DALAM PENDAFTARAN HAK-HAK

ATAS TANAH DI INDONESIA : SUATU PEMIKIRAN. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Agraria pada Fakultas Hukum, diucapkan di hadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatera Utara, Kampus USU, 2 September 2006.


Perundang-Undangan

Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960.

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah.

Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.


Internet

www.google.com

www.acehinstitute.org

www.hukumonline.com


Tidak ada komentar: