Selasa, 24 Februari 2009

Daya berlaku UU Pornografi di Indonesia dengan budaya masyarakat yang heterogen

  1. Pendahuluan

Aktifitas manusia dalam masyarakat, dikuasai oleh berbagai norma-norma dan kaidah-kaidah sosial. Didalamnya termasuk norma dan kaidah yang berbentuk aturan hidup, sebagai pedoman (penuntut) manusia dalam berinteraksi ditengah-tengah masyarakat. Aturan hidup ini sebagai hasil penelahan akal budi praktis dari norma moral, kaidah sosial dan gejala-gejala di masyarakat. Norma moral, kaidah sosial dan gejala sosial dalam keberlakuannya, menjadi penuntun bagi manusia dalam berinteraksi antara manusia dengan alam, manusia dengan manusia lainnya (kelompok manusia) dan manusia (warga Negara) dengan negara.1

Kemudian dalam perkembangan keberlakuannya. Berkembang menjadi norma hukum (aturan hukum) setelah diformulasi dan atau dikodifikasi secara formalistik oleh Negara (pemerintah atau penguasa).2 Norma dan kaidah serta gejala sosial yang ada ditengah-tengah masyarakat, tidak secara keseluruhan diformulasikan dalam bentuk aturan tertulis. Aturan yang tidak tertulis (yang tidak dikodifikasi secara positif), tetapi menjadi penuntut hidup dan dipatuhi secara sukarela oleh lapisan masyarakat, berdasarkan nilai moralitas, etika-kesusilaan dan kepatuhan dalam perkembangan peradaban yang ada dan berlaku dalam masyarakat.

Norma atau aturan hukum yang menguasai dan mengatur tata kehidupan masyarakat dalam berinteraksi disebut sebagai tata hukum (baik tertulis maupun tidak tertulis). Hukum berfungsi sebagai penuntun atau pedoman dalam menciptakan tata keteraturan dan ketertiban bagi masyarakat dalam berinteraksi.3 Tata hukum ini berisikan norma-norma (kaidah-kaidah) sebagai petunjuk, acuan, pedoman bagi seluruh anggota masyarakat, baik secara berkelompok maupun individual.

Dalam penerapannya, tata hukum tersebut memuat ketentuan perintah (pemaksaan) dan larangan (pengatur) berikut sanksi. Perintah dan larangan dimaknai sebagai wujud kesepakatan antara warga Negara (masyarakat) dengan pemerintah (penguasa), yang dibentuk atau diciptakan untuk mengatur tata kehidupan sosial masyarakat. Sekaligus perintah dan larangan tersebut dijadikan sebagai pedoman dalam mengimplementasikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban setiap warga Negara dalam kehidupan bernegara.4

Di dalam sistem hukum Civil Law (European Continental), UU berperan dalam pembentukan hukum. Salah satu tujuan pembentukan hukum (UU) adalah untuk menyelesaikan konflik yang terjadi diantara anggota masyarakat (pemutus perselisihan). Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa seiring dengan kemajuan zaman, kehidupan masyarakat pun mengalami perubahan. Oleh karenanya, hukum pun harus mengikuti perubahan atau perkembangan masyarakat agar hukum mampu menjalankan fungsinya tersebut. Artinya, jika hukum tidak diubah sesuai dengan perkembangan masyarakatnya, maka hukum menjadi mati dan tidak mampu mengatasi masalah sosial yang terjadi atau muncul dalam suatu masyarakat.5 Masalah pornografi dan pornoaksi mungkin dulu belum dianggap atau dinilai penting, namun demikian beberapa tahun belakangan ini, seiring dengan semakin berkembangnya teknologi informatika, masalah tersebut telah memberikan dampak sosial yang sangat signifikan terhadap kehidupan masyarakat Indonesia.


  1. Permasalahan

Bagaimana daya berlaku UU Pornografi di Indonesia dengan budaya masyarakat yang heterogen?

  1. pembahasan

Daya berlaku UU Pornografi di Indonesia dengan budaya masyarakat yang heterogen

Dalam peranan hukum untuk mengubah masyarakat, akan dijumpai suatu perbedaan antara pola-pola perilaku yang hidup dalam masyarakat dengan pola-pola yang dikehendaki oleh kaidah-kaidah hukum. Adalah suatu keadaan yang lazim, bahwa kaidah-kaidah hukum disusun dan direncanakan oleh sebagian kecil dari masyarakat yang menamakan dirinya sebagai elit masyarakat tersebut, yang mungkin berbeda kepentingan dan pola-pola perilakunya dengan yang diatur. Lagipula suatu kaidah hukum berisikan patokan perilaku yang kelak diharapkan. Namun hal demikian akan menyebabkan tertinggalnya hukum di belakang perubahan sosial masyarakat.6

Menurut ajaran aliran sociological jurisprudence, hukum harus dilihat atau dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial dan tugas dari ilmu hukum untuk mengembangkan suatu kerangka yang mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal.7 Sociological jurisprudence mengkaji bagaimana norma disesuaikan dengan rasa keadilan masyarakat sehingga ditekankan pada kesebandingan hukum.

Dengan demikian dalam UU Pornografi juga harus memperhatikan unsur kebutuhan sosial guna menciptakan perubahan sosial ke arah yang lebih baik dalam mengatur moral individu dan masyarakat. Disamping itu dalam menetapkan hukum juga harus diperhatikan pola perilaku yang sesuai, artinya dalam pembuatan hukum seharusnya terdapat pengkajian terlebih dahulu mengenai hal-hal yang terkait dengan keberlakuan dan efektifitas aturan tersebut sehingga hukum tidak tertinggal karena tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat pada suatu waktu dan tempat tertentu.

Hukum sebagai perwujudan nilai-nilai mengandung arti, bahwa kehadirannya untuk melindungi dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya. Terjadinya konflik antara nilai-nilai hukum berasal dari interaksi antara nilai-nilai tertentu dengan struktur sosial dimana nilai-nilai itu dijalankan.

Dalam kondisi masyarakat majemuk, seperti Indonesia, hukum modern lebih dikedepankan, sehingga yang akan tersingkir adalah masyarakat tradisional. Namun tentunya demi memenuhi rasa keadilan masyarakat, hukum harus mengadopsi nilai-nilai sosial dari semua kelompok masyarakat yang ada.

Roscou Pound mengatakan bahwa hukum sebagai tool of social engineering, mendorong lembaga-lembaga tertentu dalam membangun kondisi sosial (proses rekayasa sosial), sehingga hukum bisa berfungsi sebagai pendorong terciptanya perilaku-perilaku tertentu. Penggunaan paradigma rekayasa sosial menekankan pada efektivitas hukum yang hanya dapat dilakukan dengan pendekatan sosiologis, yaitu mengamati interaksi antara hukum dengan lingkungan sosialnya. Lebih lanjut Roscou Pound mengatakan bahwa terdapat tiga kepentingan yang sah dilindungi hukum, yaitu kepentingan umum, kepentingan sosial dan kepentingan pribadi.

Dengan demikian dalam penciptaan hukum, berbagai aspek sosial harus diperhatikan demi berlakunya hukum secara efektif., karena pada dasarnya hukum merupakan kaidah-kaidah yang ditetapkan untuk mengatur tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup, sehingga sesuai dengan tujuannya, pengaturan dalam UU Pornografi. Jhering berpendapat bahwa harus ada keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat, karena itu ada nilai-nilai yang harus diperhatikan dalam memproses pembuatan hukum, sehingga sukses tidaknya suatu proses hukum adalah dapat dilihat dari pencapaian keseimbangan antara dua kepentingan tersebut.

Sebenarnya seluruh golongan masyarakat maupun agama menyetujui adanya UU Pornografi atau melarang pornogrofi, akan tetapi yang di permasalahkan atau tidak disetujui adalah substansi atau isi dari UU Pornografi tersebut karena dianggap hanya mengakomodir keinginan satu golongan atau agama tertentu.

Dalam pembentukan UU Pornografi harus memperhatikan seperti yang dikatakan oleh Lawrence Meir Friedman, seorang ahli sosiologi hukum dari Stanford University, yaitu : empat elemen utama dari sistem hukum (legal system), sebagai berikut : struktur hukum (legal structure), isi hukum (legal substance), budaya hukum (legal culture), dan dampak hukum (legal impact). Karena ini akan sangat terkait dengan landasan atau daya berlaku hukum, yaitu :

  1. Daya Berlaku Yuridis, bahwa hukum harus dibentuk oleh lembaga yang berwenang membentuknya. Berdasarkan UUD dan UU No. 10 Tahun 2004, RUU disetujui bersama oleh Presiden dan DPR untuk menjadi UU.

  2. Daya Berlaku Filosofis, bahwa hukum harus sesuai dengan grundsnorm atau cita hukum kita, yaitu : Pancasila.

  3. Daya berlaku sosiologis, artinya hukum harus sesuai dengan nilai-nilai masyarakat.

Pendapat Soerjono Soekanto yang menyebutkan 5 faktor yang mempengaruhi efektivitas hukum, yakni faktor hukum sendiri, penegak hukum, sarana dan fasilitas, masyarakat dan budaya. Permasalahannya bukan hanya persoalan peraturan hukum saja yang dibutuhkan tetapi ada permasalah penegakan hukum atau law enforcement dan budaya yang hidup dalam masyarakat. Selanjutnya jika UU Pornografi ini di berlakukan akibatnya tidak akan bisa berjalan atau ditegakkan karena ada sebagian masyarakat tidak menyetujui UU Pornografi, alasannya karena UU Pornografi tidak mengakomodir seluruh golongan, aspek filosofis dan kebinekaan bermasyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, etnis dan agama. UU dilandasi anggapan bahwa negara dapat mengatur moral serta etika seluruh rakyat Indonesia lewat pengaturan cara berpakaian dan bertingkah laku berdasarkan paham satu kelompok masyarakat saja. Padahal negara Indonesia terdiri diatas kesepakatan ratusan suku bangsa yang beraneka ragam adat budayanya. Ratusan suku bangsa itu mempunyai norma-norma dan cara pandang berbeda mengenai kepatutan dan tata susila.

Montesquieu mengatakan bahwa pikiran-pikiran picik kadang memegangi gagasan untuk menumbangkan hakekat segala sesuatu yang ada untuk merencanakan tatanan sosial-politik yang baru di mana segalanya harus seragam. Selanjutnya, jika sebuah hukum tidak bisa diberlakukan bagi semua orang pada suatu bangsa, maka memberikan toleransi pada keberagaman lebih baik dari pada menjatuhkan tingkat keseragaman yang barang kali secara psikologis menyenangkan namun berbahaya bagi orang-orang yang situasinya tidak sesuai dengan rumusan matematis yang dirancang oleh legislator.8

Yang terakhir, suatu UU semestinya harus mencerminkan keadilan dan kepastian hukum (justice and certainty of law), maka suatu studi mendalam diiringi proses penyusunan yang aspiratif (akomodatif terhadap suara-suara dan kebutuhan dalam masyarakat maupun pemerintah) sudah semestinya dilakukan.


1 Hikmahanto, Kumpulan Artikel Tentang Teori Hukum, Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001, hal 47-48.

2 ibid

3 ibid

4 ibid

5 Satjipto Rahardjo, biarkan hukum mengalir, kompas, 2008, hal 84.

6 , Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Divisi Buku Perguruan Tinggi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

7 Ibid.

8 Montesquieu, 2007, The Spirit of Laws : dasar-dasar ilmu hukum dan ilmu politik diterjemahkan oleh M. Khoiril Anam, Nusamedia, Bandung. Hal 357.

Tidak ada komentar: