Selasa, 17 Februari 2009

Perbedaan Okupasi dengan Profesi


Profesi
Istilah profesi adalah suatu hal yang berkaitan dengan bidang tertentu atau jenis pekerjaan (occupation) yang sangat dipengaruhi oleh pendidikan dan keahlian, sehingga banyak orang yang bekerja tetapi belum tentu dikatakan memiliki profesi yang sesuai. Dengan keahlian saja yang diperoleh dari pendidikan kejuruan, juga belum cukup untuk menyatakan suatu pekerjaan dapat disebut profesi. Tetapi perlu penguasaan teori sistematis yang mendasari praktek pelaksanaan, dan penguasaan teknik intelektual yang merupakan hubungan antara teori dan penerapan dalam praktek. Maka orientasi utama profesi adalah untuk kepentingan masyarakat dengan menggunakan keahlian yang dimiliki. Akan tetapi tanpa disertai suatu kesadaran diri yang tinggi, profesi dapat dengan mudahnya disalahgunakan oleh seseorang seperti pada penyalahgunaan profesi seseorang dibidang komputer misalnya pada kasus kejahatan komputer yang berhasil mengcopy program komersial untuk diperjualbelikan lagi tanpa ijin dari hak pencipta atas program yang dikomersialkan itu. Sehingga atas dasar itu perlu diperoleh pemahaman atas etika profesi dengan memahami pula rumusannya dalam bentuk kode etik profesi tersebut.
Istilah profesi dan profesional berasal dari kata Latin ‘professio’, yang berarti suatu deklarasi publik dengan suatu kekuatan janji. Professi adalah kelompok yang memaklumkan secara umum bahwa anggotanya akan berlaku dalam cara tertentu dan bahwa profesi maupun masyarakat boleh menindak mereka yang tidak memenuhi ikrar itu. Profesi membaktikan dirinya kepada masyarakat sebagai suatu peranti masyarakat (social benefit) dan masyarakat menyambut profesi tersebut, dengan harapan dapat memenuhi tujuan sosial yang penting. Pada mulanya profesi yang menjadi perintis adalah dokter, ahli hukum, pendidik dan ulama.
Ciri dari suatu profesi adalah :
kompeten dalam suatu jenis batang ilmu pengetahuan dan keterampilan.
memikul tugas dan tanggung jawab terhadap individu dan masyarakat yang dilayaninya.
berhak untuk melatih, menerima, mendisiplin dan memberhentikan anggota yang gagal memelihara kompetensinya atau menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
Pekerjaan (Occupation).
Silang pendapat mengenai beda profesi dengan okupasi hingga saat ini masih terus berlangsung dengan argunentasi masing-masing. Namun, Hughes1 berpendapat bahwa pertanyaan terpenting bukanlah apa suatu pekerjaan dapat dikatakan profesi, tetapi adalah sejauh mana pekerjaan itu menunjukkan ciri-ciri profesionalisasi. Tergantung kriteria apa yang dipakai untuk menetapkan suatu profesi, maka akan terdapat banyak variasi pada waktu dan tempat yang berbeda, sehingga dapat dikatakan bahwa profesi itu laksana gerakan sosial. ‘ Profesi merekrut jenis-jenis orang tertentu, mereka mengembangkan ideologi yang luhur dengan nilai-nilai yang melampaui tingkat individu, dan mereka sering ‘membentuk’ seorang anggota baru untuk masuk kedalam lingkungan mereka.’ Profesi sejati berorientasi pada pekerjaan yang terbaik, berarti semakin tinggi profesionalismenya. Kode etik dan ideologinya tidak terbatas pada lingkup kerjanya, namun memasuki kehidupan pribadinya sehingga tercermin dalam status dan gaya hidup yang universal didalam segala aspek kehidupan. Seorang dokter atau rohaniawan misalnya senantiasa berada ‘on-call’ atau dalam ‘tugas’, dengan dedikasi 24 jam sehari, 7 hari seminggu sepanjang usianya. Peran dalam pekerjaannya itu bersifat menyeluruh dengan membawa implikasi bahwa keanggotaan dalam kelompok okupasi itu menuntut perlunya pertemuan antar anggota untuk menetapkan gaya hidup yang dapat diterima dan komprehensif, antara lain kode etik profesi (professional code of conduct).
Dengan demikian akan lebih bermanfaat membahas tema sentral dari sesuatu pekerjaan ketimbang mempersoalkan bedanya profesi dengan okupasi. Semua pekerjaan mengembangkan kulturnya tersendiri, terminologi, aturan-aturan, cara belajar dan disposisi. Banyak pekerjaan yang membentuk asosiasi atau kelompok pekerja tempat mereka bernaung, yang mengesahkan suatu posisi tertentu dalam struktur pekerjaan dan selanjutnya mencerminkan hubungannya dengan struktur sosial yang lebih luas. Suatu studi di Inggris oleh Hickson & Thomas2 menunjukkan bahwa semakin tua usia suatu okupasi, umumnya semakin tinggi tingkat pencapaiannya dalam faktor-faktor yang mencerminkan profesionalisasi. Apabila di Eropa Barat semakin jelas nampak kecenderungan untuk meningkatnya pengaruh profesionalisasi kedalam setiap pekerjaan, maka di negara-negara sosialis di Eropa Timur, istilah profesi dengan okupasi masih dicampur adukkan dan tidak memiliki batasan yang jelas. Kita di Indonesia juga masih berada pada posisi antara kedua kutub tersebut, kendati sudah ada tanda-tanda bahwa semakin mendesaknya arus profesionalisasi kedalam setiap jenis pekerjaan. Upaya legislasi profesi kesehatan yang saat ini sedang digarap gencar melalui UU Praktek Kedokteran, serta rancangan yang serupa bagi perawat serta profesi lain-lain menunjukkan bahwa Indonesia sungguh-sungguh hendak mengejar ketertinggalannya dari negara-negara lain.
Perbedaan profesi dari usaha memang tidak terlalu jelas, karena seorang profesional dapat menjalankan usaha dan hidup dari bisnis itu. Namun, ada suatu perbedaan yang penting : seorang tenaga profesional memiliki tugas fidusiari terhadap mereka yang dilayaninya. Hal ini berarti bahwa profesional itu mempunyai suatu tugas dan beban khusus untuk menjamin bahwa keputusan dan tindakan yang diambilnya adalah untuk kesejahteraan pasien atau klien itu, meskipun akan merugikan profesional itu. Maka profesi memiliki kode etik yang tegas menyatakan kewajiban yang mutlak sebagai konsekwensi tugas fidusiari ini. Masalah-masalah etis sering muncul bila terjadi konflik antara kewajiban atau tanggung jawab fidusiari ini dengan tujuan-tujuan pribadinya.
Profesionalisme.
Pakar-pakar sosiologi sejak lama masih memperdebatkan dua pendekatan yaitu pertama, pembedaan antara profesi dengan non-profesi, dan kedua, proses menuju profesionalisasi yang terjadi pada beberapa okupasi. Untuk membedakan profesi dengan non-profesi yang diperlukan adalah mengisolasi ciri-ciri atau variabel khusus yang dapat menjadi faktor pembeda. Walaupun sifatnya factorial, tidak dapat dihindarkan kemungkinan munculnya profesi-profesi baru dari satu profesi atau hilangnya suatu profesi. Sedangkan disisi lain, proses profesionalisasi didasarkan pada sejumlah asumsi tentang sifat-sifat suatu profesi, terutama yang menunjukkan adanya suatu proses pendewasaan atau perkembangan profesi itu.
Menurut Barber3 ada empat ciri yang esensial dari perilaku professional, yakni : a). berdasarkan ilmu pengetahuan bermutu tinggi yang standard dan sistematik, b). orientasi utama kepada kepentingan publik ketimbang interes pribadi, c). adanya pengendalian diri yang sungguh-sungguh melalui kode etik yang dihayati dalam proses sosialisasi kerja dan melalui hubungan sukarela yang diorganisasi dan diselenggarakan oleh pakar dalam pekerjaan itu sendiri, dan d). adanya suatu sistem reward, moneter dan kehormatan, yang pada dasarnya merupakan simbol pencapaian prestasi.
Profesionalisme adalah suatu paham yang mencitakan dilakukannya kegiatan-kegiatan kerja tertentu dalam masyarakat, berbekalkan keahlian yang tinggi dan berdasarkan rasa keterpanggilan serta ikrar (fateri/profiteri) untuk menerima panggilan tersebut untuk dengan semangat pengabdian selalu siap memberikan pertolongan kepada sesama yang tengah dirundung kesulitan ditengah gelapnya kehidupan (Wignjosoebroto, 1999). Dengan demikian seorang profesional jelas harus memiliki profesi tertentu yang diperoleh melalui sebuah proses pendidikan maupun pelatihan yang khusus, dan disamping itu pula ada unsur semangat pengabdian (panggilan profesi) didalam melaksanakan suatu kegiatan kerja. Hal ini perlu ditekankan benar untuk membedakannya dengan kerja biasa (occupation) yang semata bertujuan untuk mencari nafkah dan/ atau kekayaan materiil-duniawi. Lebih lanjut Wignjosoebroto [1999] menjabarkan profesionalisme dalam tiga watak kerja yang merupakan persyaratan dari setiap kegiatan pemberian "jasa profesi" (dan bukan okupasi) ialah :
bahwa kerja seorang profesional itu beritikad untuk merealisasikan kebajikan demi tegaknya kehormatan profesi yang digeluti, dan oleh karenanya tidak terlalu mementingkan atau mengharapkan imbalan upah materiil.
bahwa kerja seorang profesional itu harus dilandasi oleh kemahiran teknis yang berkualitas tinggi yang dicapai melalui proses pendidikan dan/atau pelatihan yang panjang, ekslusif dan berat.
bahwa kerja seorang profesional diukur dengan kualitas teknis dan kualitas moral harus menundukkan diri pada sebuah mekanisme kontrol berupa kode etik yang dikembangkan dan disepakati bersama didalam sebuah organisasi profesi.
Ketiga watak kerja tersebut mencoba menempatkan kaum profesional (kelompok sosial berkeahlian) untuk tetap mempertahankan idealisme yang menyatakan bahwa keahlian profesi yang dikuasai bukanlah komoditas yang hendak diperjual-belikan sekedar untuk memperoleh nafkah, melainkan suatu kebajikan yang hendak diabdikan demi kesejahteraan umat manusia. Kalau didalam pengamalan profesi yang diberikan ternyata ada semacam imbalan (honorarium) yang diterimakan, maka hal itu semata hanya sekedar "tanda kehormatan" (honour) demi tegaknya kehormatan profesi, yang jelas akan berbeda nilainya dengan pemberian upah yang hanya pantas diterimakan bagi para pekerja upahan saja.
Siapakah atau kelompok sosial berkeahlian yang manakah yang bisa diklasifikasikan sebagai kaum profesional yang seharusnya memiliki kesadaran akan nilai-nilai kehormatan profesi dan statusnya yang sangat elitis itu? Apakah dalam hal ini profesi keinsinyuran bisa juga diklasifikasikan sebagai bagian dari kelompok ini? Jawaban terhadap kedua pertanyaan ini bisa mudah-sederhana, tetapi juga bisa sulit untuk dijawab. Terlebih-lebih bila dikaitkan dengan berbagai macam persoalan, praktek nyata, maupun penyimpangan yang banyak kita jumpai didalam aplikasi pengamalan profesi di lapangan yang jauh dari idealisme pengabdian dan tegak nya kehormatan diri (profesi). Pada awal pertumbuhan "paham" profesionalisme, para dokter dan guru khususnya mereka yang banyak bergelut dalam ruang lingkup kegiatan yang lazim dikerjakan oleh kaum padri maupun juru dakhwah agama dengan jelas serta tanpa ragu memproklamirkan diri masuk kedalam golongan kaum profesional. Kaum profesional (dokter, guru dan kemudian diikuti dengan banyak profesi lainnya) terus berupaya menjejaskan nilai-nilai kebajikan yang mereka junjung tinggi dan direalisasikan melalui keahlian serta kepakaran yang dikembangkan dengan berdasarkan wawasan keunggulan. Sementara itu pula, kaum profesional secara sadar mencoba menghimpun dirinya dalam sebuah organisasi profesi (yang cenderung dirancang secara eksklusif) yang memiliki visi dan misi untuk menjaga tegaknya kehormatan profesi, mengontrol praktek-praktek pengamalan dan pengembangan kualitas keahlian/ kepakaran, serta menjaga dipatuhinya kode etik profesi yang telah disepakati bersama.
Etik, etos dan kode etik
Menurut Paul F. Camenisch (1983) seperti dikutip K. Bartens4 profesi adalah suatu moral community (masyarakat moral) yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama. Anggota-anggota profesi disatukan oleh latar belakang pendidikan yang sama dan bersama-sama mempunyai keahlian yang tidak dimiliki oleh orang lain, sehingga memperoleh kewenangan-kewenangan sendiri, dan oleh karena itu mempunyai tanggung jawab yang khusus. Untuk mengimbangi atau memelihara kepercayaan klien akan kewenangan yang begitu penting, ada kode etik profesi, yaitu suatu pedoman tertulis yang mengatur tentang norma-norma berperilaku. Kode Etik berbeda dengan etos, karena kode etik menimba kekuatannya dari ethos, namun sebaliknya kode etik menegakkan dan memperkokoh etos. Juga kode etik berbeda dengan etika medis yang merupakan suatu usaha yang sistematis untuk menerangkan etos secara ilmiah dan menguraikan pandangan serta norma-norma yang berlaku dalam seluruh bidang penyembuhan. Demikian pula, kode etik berbeda dengan peraturan perundang-undangan yang dibuat Pemerintah, meskipun dalam kode etik ditemukan hal-hal yang juga diatur oleh peraturan perundang-undangan. Tetapi ada hal-hal yang oleh peraturan hukum positif tersebut tidak dianggap sebagai pelanggaran, dan diatur secara seksama dalam kode etik.
Kode etik dapat dilihat sebagai produk etika terapan, karena merupakan penerapan dari pemikiran etis atas suatu wilayah tertentu, yaitu profesi. Akan tetapi kode etik tidak menggantikan pemikiran etis, dan suatu kode etik dapat direvisi atau dirubah.
Salah satu syarat agar dapat berfungsi dengan semestinya, kode etik harus dibuat oleh profesi itu sendiri, sehingga benar-benar dijiwai oleh cita-cita dan nilai-nilai yang hidup dalam kalangan profesi tersebut. Disamping itu pelaksanaan kode etik memerlukan pengawasan terus-menerus, dengan dibentuknya semacam lembaga seperti Majelis Kehormatan Etik.
1 E.C.Hughes,’Professions’, Daedalus (1963).
2 D.J.Hickson and M.W.Thomas,’Professionalization in Britain: a Preliminary Measurement’, Sociology, 3,1(January 1990, 48).
3 B.Barber,’ Some Problems in the Sociology of Professions,’ Daedalus, 92,4 (1963).
4 K.Bertens, Etika, Jakarta: Gramedia 1993

Tidak ada komentar: